Di antara opsi sulit antara pengetatan atau pelonggaran aktivitas di DKI, pemerintah wajib mengawasi lebih ketat dunia usaha dan mobilitas warga. Atau, kembali ke PSBB total.
Oleh
Aguido Adri/Stefanus Ato/Mh Samsul Hadi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Untuk kedua kalinya, masa Pembatasan Sosial Berskala Besar Transisi diterapkan di wilayah DKI Jakarta. Lagi-lagi data statistik yang menggambarkan pelambatan kenaikan kasus penularan Covid-19 setelah PSBB ketat dijadikan acuan, sebagaimana kebijakan sebelumnya pada awal Juni lalu.
Penambahan kasus positif korona dan kasus aktif (pasien dirawat di rumah sakit dan isolasi mandiri) harian terpantau mendatar atau stabil sejak PSBB ketat 13 September 2020. Tujuh hari terakhir muncul tanda awal penurunan kasus positif harian, meskipun masih tinggi.
Atas dasar perkembangan itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan Ibu Kota kembali menerapkan PSBB transisi, saat sejumlah pembatasan dilonggarkan, di antaranya mengijinkan sektor usaha berproduksi dengan kapasitas pekerja 50 persen, tidak lagi 25 persen. Lalu, bisnis kuliner juga diijinkan makan di tempat dengan protokol kesehatan ketat.
"Kami perlu tegaskan bahwa kedisiplinan harus tetap tinggi, sehingga mata rantai penularan tetap terkendali dan tidak harus melakukan emergency brake kembali," kata Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan, Minggu (11/10/2020).
Data lain yang dijadikan pertimbangan kembali ke PSBB transisi adalah data yang disusun Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, bahwa awal September (pembatasan ketat diputuskan), angka reproduksi penularan (Rt) Jakarta 1,14. Saat ini turun jadi 1,07. Angka 1 mengacu pada risiko 1 orang menulari 1 orang lainnya.
Akhir Mei lalu, ketika Pemprov DKI Jakarta secara berani mengambil kebijakan PSBB transisi untuk pertama kalinya, angka Rt-nya 0,99.
Seiring pelonggaran pengawasan yang ditandai pembubaran posko-posko pemeriksaan dan pembiaran kerumunan, sejak Juni hingga medio September 2020, kasus infeksi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, kembali melonjak di Ibu Kota dan daerah sekitar. Kluster penularan bermunculan di perkantoran dan permukiman. Kamar perawatan hampir penuh.
Lebih ketat
Data statistik sepatutnya dijadikan pertimbangan kebijakan. Namun, pengalaman juga jadi pelajaran penting. Atas dasar itu, DKI Jakarta sepatutnya melanjutkan PSBB total yang ketat. Bukan justru balik ke PSBB transisi.
“Memang ada tren melandai, tapi risiko masih tinggi. Data Pemprov DKI belum meyakinkan. Seharusnya sabar dulu mengeluarkan aturan PSBB, jangan kembali ke PSBB transisi. Kebijakan pengetatan masih dibutuhkan,” kata Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah.
Periode 26 September sampai 9 Oktober 2020, masih ada tren peningkatan kasus positif Covid-19 sebesar 22 persen dan kasus aktif naik 4 persen. Namun, tren penularan itu melandai dibanding periode 29 Agustus sampai 11 September dan 12-25 September.
Pergerakan penduduk saat PSBB total sebulan terakhir turun signifikan di tempat rekreasi, taman, dan permukiman. Di pasar, kantor dan pabrik, serta transportasi publik sempat menurun, tetapi naik lagi seminggu terakhir. Selain itu, ada penurunan proporsi temuan kasus pada kluster perkantoran seminggu terakhir.
Walakin, ada peningkatan temuan kasus pada kluster keluarga/pemukiman. Karena itu, kepatuhan protokol kesehatan di lingkungan rumah dan penguatan RT/RW harus dipastikan. Ini yang tak mudah.
Keputusan PSBB transisi justru kian menyulitkan Pemprov DKI Jakarta menekan angka kasus positif, terutama dalam pengawasan ketat protokol kesehatan di perkantoran, tempat usaha, lingkungan sosial, dan keluarga. Soal pengawasan jadi sorotan karena tak maksimal.
“Sekali lagi yang saya soroti adalah implementasi aturan yang harus terlaksana jika PSBB transisi berjalan. Memang ada kebijakan 50 persen pengunjung, tapi apakah ada yang menjamin taat? Bagaimana pengawasannya?” kata Trubus.
Itu pula yang disoroti epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono. Saat PSBB transisi fase I, ketentuannya sama, kapasitas 50 persen pekerja. Namun, banyak pelanggaran dan muncul kluster-kluster. "Sekarang, kapasitas maksimal di kantor yang 50 persen itu harus dipatuhi betul," kata dia.
Kondisi kian berisiko pasca unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang melibatkan massa besar tanpa protokol kesehatan. Pemprov DKI atau pemerintah, kata Trubus, seharusnya menelusuri dan melakukan tes usap massal setelah demontrasi. "Setelah itu baru memikirkan kebijakan PSBB transisi,” lanjut dia.
Tes dan pelacakan
Pelonggaran PSBB dalam situasi tidak ideal seperti saat ini, kata Pandu, wajib dibarengi peningkatan surveilans, berupa tes, pelacakan, dan isolasi. Masyarakat dan pelaku usaha diminta berkontribusi mematuhi protokol kesehatan.
Di Seoul, Korea Selatan, misalnya, seiring rencana pelonggaran aktivitas sosial, mengutip dari kantor berita Yonhap, pemerintah mengimbau warga di Seoul dan sekitarnya menghindari kumpulan dan kegiatan massa. Festival, konser, dan pamera wajib mematuhi pembatasan jumlah tamu: satu orang per empat meter persegi.
"Pelonggaran akan meningkatkan risiko penularan. Jadi, harus cepat diidentifikasi agar tak terjadi penularan lagi. Masyarakat juga harus benar-benar patuh pada 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan). Kalau tidak, suatu ketika bisa terjadi pengetatan lagi," katanya.
Pengetatan ini juga disorot Anies agar tidak terulang. Pada PSBB transisi kali ini, pendataan pengunjung dan karyawan pada sektor yang dibuka diminta dipatuhi untuk memudahkan analisis epidemiologi, khususnya pelacakan kontak erat kasus positif. Informasi yang harus tersedia, yaitu nama, nomor telepon, dan nomor induk kependudukan.
Pemprov DKI, lanjut Anies lagi, akan melacak kasus secara masif. Di sisi lain, tes, isolasi, dan kapasitas penanganan RS ditingkatkan.
Terkait PSBB transisi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang, menyambut optimistis. "Setidaknya ekonomi Jakarta mulai bergairah sekalipun masih dalam batasan 50 persen, karena usaha jasa seperti hotel, restoran, kafe, rumah makan, dan lainnya dapat beroperasi kembali. Rasa optimisme ini tentu dengan harapan jangan kembali ke PSBB yang diperketat,” kata dia.
Ia pun berharap pemerintah tidak lengah mengawasi, sosialisasi, dan menindak tegas, termasuk sidak berkala. Bagi pengusaha, PSBB transisi ini pertaruhan agar angka penyebaran Covid 19 tak semakin naik.
Menurut Sarman, neraca keuangan pengusaha kian mengkawatirkan. Kewajiban bulanan tak lagi seimbang dengan pemasukan. Jika PSBB diperketat terlalu panjang, tak menutup kemungkinan banyak pengusaha gulung tikar dan pengangguran bertambah.
“Pelaku usaha berharap momentum Natal dan Tahun Baru meningkatkan daya beli atau konsumsi rumah tangga, sehingga menopang pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2020 ke arah positif,” lanjut Sarman.