DKI Jakarta Diminta Benahi Kelemahan PSBB Sebelumnya
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu belajar dari kelemahan pada pelaksanaan PSBB ketat terdahulu. Aspek yang tidak boleh dilupakan adalah menjamin kebutuhan pokok warga tetap terpenuhi selama PSBB.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta patut melihat kelemahan pada pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB yang sudah diterapkan sebagai modal menerapkannya kembali pada pekan depan. Penegakan aturan serta bantuan bagi warga kurang mampu masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahardiansyah, Jumat (11/9/2020), mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bisa belajar dari sejumlah kelemahan pada pelaksanaan PSBB ketat di awal pandemi merebak. PSBB awal itu menunjukkan sejumlah kelemahan pada pengawasan. ”Masih banyak aktivitas warga di 11 sektor yang diperbolehkan tanpa menerapkan protokol kesehatan,” ujar Trubus di Jakarta.
Selain itu, persoalan bantuan sosial (bansos) yang tidak tepat sasaran mesti diperbaiki pada saat PSBB ketat kembali diberlakukan. Sebab, pada saat itu kegiatan masyarakat sangat dibatasi. Masyarakat yang tidak bisa mencari penghasilan karena terimbas ketentuan PSBB membutuhkan bantuan dari pemerintah.
Sejumlah masalah muncul terkait pembagian bansos pada PSBB awal dahulu. Salah satu persoalan mendasar yang muncul terkait data penerima bansos yang masih memuat nama-nama ganda. Saat itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengakui ada kekeliruan data di dalam daftar 1,2 juta keluarga penerima bansos (Kompas, 23/4/2020).
Kekhawatiran itu terkait penyaluran bansos yang diutarakan sejumlah warga yang ditemui Kompas. Ismail (43), warga Kedoya, Jakarta Barat, mengatakan, penerapan kembali PSBB ketat bakal membuat pendapatannya sebagai pedagang soto merosot jauh. Kondisi itu ia alami saat PSBB terdahulu, yakni pendapatan kotornya dalam sehari anjlok hingga Rp 150.000.
Sebagian besar pelanggan atau pembeli dagangan Ismail merupakan karyawan areal perkantoran di wilayah Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Saat PSBB ketat diterapkan, para pembeli berkurang drastis. Sebelum PSBB ketat diterapkan, ia bisa memperoleh pendapatan kotor hingga Rp 400.000 sehari.
Ismail mengatakan, ia pernah mendapat bansos tiga hingga empat kali saat PSBB awal. Namun, bansos itu tidak rutin dia peroleh. ”Bansos saya tidak tentu dapatnya. Kalau ketua RT (rukun tetangga) nyuruh ngambil, ya saya ambil bansosnya,” ujar Ismail.
Selain berharap mendapat bansos secara rutin, ia juga meminta pemerintah DKI Jakarta mengizinkan pedagang kaki lima seperti dirinya tetap bisa berjualan.
Hal serupa disampaikan Muhtadi (51), warga Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Saat PSBB ketat berlaku, dagangannya seketika sepi pembeli. Sebelum PSBB ketat diterapkan, ia bisa menjual 40 porsi ketoprak sehari. Ketika Pemprov DKI memutuskan PSBB ketat pertama kali pada April lalu, pendapatannya anjlok. Ia hanya bisa menjual 10-15 piring ketoprak sehari.
Muhtadi juga pernah bersitegang dengan petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP) karena diminta tinggal di rumah dan tidak berjualan saat PSBB ketat. Ia tetap memaksa berjualan karena belum memperoleh bansos dan kondisi keuangan keluarganya tengah menipis akibat tidak ada pemasukan selama PSBB ketat berlaku.
”Makanya, kalau semisal PSBB lagi kayak dulu, saya berharap bisa dapat bansos rutin. Dulu pernah dapat beberapa kali dari Pemprov DKI, tetapi tidak tentu. Kadang dapat, kadang enggak,” ujarnya.
Pemprov DKI Jakarta belum dapat dikonfirmasi terkait upaya atau antisipasi yang akan dilakukan untuk menjamin warga kurang mampu bisa tetap terjamin kebutuhan pokoknya selama PSBB ketat kembali diberlakukan. Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Irmansyah tidak merespons pertanyaan Kompas. Demikian pula Kepala Bidang Perlindungan Jaminan Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Ika Yuli Rahayu yang tidak bisa dihubungi. Pesan singkat pun tidak mendapat respons.