Belum Sempat Bangkit, Pengusaha Kuliner Kembali Dibayangi Krisis
Angin segar selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi di Jakarta rupanya tidak bertiup lama bagi pedagang makanan. Mereka bersiap mengalami paceklik pendapatan lagi.
JAKARTA, KOMPAS — Belum sempat bangkit dari keterpurukan, pengusaha kuliner kembali dibayangi ancaman krisis menyusul rencana penerapan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB jilid kedua di Jakarta pada Senin (14/9/2020). Meski begitu, mereka tetap akan menaati aturan pemerintah.
Pemberlakuan kembali PSBB di DKI Jakarta membuat Khoirul (46), pemilik Rumah Makan Mbak Dewi di Kota Bambu Selatan, Jakarta Barat, gelisah. Pasalnya, sudah dua hari ini pembeli di rumah makannya kembali sepi. Padahal, dua pekan sebelumnya, penjualan mengalami peningkatan.
”Saya hitung-hitung 14 hari lalu rasanya sudah mulai menggeliat. Eh, sekarang malah ada PSBB lagi,” katanya saat ditemui di rumah makannya, Jumat (11/9/2020).
Baca juga : Karantina atau Tidak, Warteg Akan Terus Ada untuk Warga Jakarta
Sehari-hari, Khoirul dibantu oleh istrinya, Dewi (40), untuk berjualan. Mereka menyewa sebuah kios berukuran 6 meter x 3 meter di Jalan KS Tubun. Selain menjual makanan khas Jawa Timuran di kios, mereka juga berjualan bakso di halaman depan.
Rumah makan tersebut memiliki empat meja makan panjang berukuran sekitar 2 meter. Di setiap meja terdapat dua kursi plastik. Berdasarkan pantauan pada Jumat pukul 11.00-11.30, hanya ada satu pembeli di rumah makan tersebut.
”Karyawan-karyawan di kantor sebelah saja sudah bersiap untuk bekerja dari rumah. Pada siap-siap pulang ke kampung mereka,” ujarnya.
Kendati hati kecil Khoirul merasa berat menerima kebijakan PSBB, ia akan tetap menaati aturan pemerintah. Mulai Senin, ia tidak akan menyediakan fasilitas makan di tempat dan hanya mengandalkan pembeli yang membungkus makanan.
Artinya, Khoirul juga harus siap menerima pendapatan harian yang pas-pasan seperti pada PSBB jilid pertama. ”PSBB pertama saya kehilangan sekitar 80 persen pendapatan," ungkapnya.
Saat itu, Khoirul mengaku harus mati-matian untuk bertahan. Ia sampai harus mengajukan pinjaman sebesar Rp 60 juta ke bank. Di sisi lain, ia beruntung mendapatkan bantuan dari kerabat istrinya sebesar Rp 2,5 juta selama dua kali.
”Makanya ini saya bingung. Enggak mungkin minta lagi ke saudara. Angsuran di bank juga masih jalan,” lanjutnya.
Baca juga : Karyawan Bawa Bekal, Pedagang Makanan Terjungkal
Normalnya, Khoirul dan istri bisa mengantongi pendapatan Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per hari. Saat PSBB pertama, mereka hanya bisa mendapatkan Rp 250.000 per hari. Sementara selama dua pekan sebelum pengumuman PSBB jilid kedua, mereka mulai bisa mengantongi Rp 600.000 per hari.
Pria yang sudah 20 tahun menekuni usahanya tersebut juga beruntung karena selama ini ia tidak mempekerjakan karyawan di rumah makannya. Hal itu menjadi salah satu alasannya bisa bertahan di tengah gempuran krisis.
”Banyak teman saya yang gulung tikar karena mereka enggak sanggup membayar karyawan,” ucapnya sambil menunjuk salah satu kios rumah makan padang tidak jauh dari rumah makannya.
Penerapan PSBB kembali diambil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. DKI menganjurkan kepada pemilik rumah makan untuk menyediakan layanan pesan antar selama PSBB ini.
Banyak teman saya yang gulung tikar karena mereka enggak sanggup membayar karyawan.
Khoirul mengatakan sudah bekerja sama dengan penyedia jasa layanan pesan antar makanan sejak tahun lalu. Rupanya, hal tersebut tidak serta-merta memberikan pengaruh.
”Sampai sekarang pesanan yang masuk dari online sedikit sekali. Saya juga heran kenapa. Padahal, setiap bulan harus bayar Rp 70.000 ke operator,” tuturnya.
Tempat nongkrong
Sementara itu, Nunung (40), pemilik Warmindo di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, kebingungan dengan adanya PSBB jilid kedua. Sebab, selama PSBB transisi saja, ia kerap diingatkan oleh petugas satpol PP karena para pembelinya kerap berkerumun.
”Soalnya enggak mungkin pada bungkus. Pasti beli dan nongkrong di sini. Mereka, kan, niatnya beli kopi atau mi instan,” ujarnya.
Pada Jumat siang, terlihat dua orang sedang membeli kopi di Warmindo milik Nunung. Kedua orang itu duduk berhadapan. Padahal, sangat mungkin bagi keduanya untuk menjaga jarak mengingat bangku yang mereka duduki memiliki panjang lebih dari 2 meter.
Hampir setiap malam, Warmindo milik Nunung menjadi tempat nongkrong favorit bagi sekumpulan warga hingga larut malam. Lokasi warungnya tepat di pinggir Jalan Kemanggisan Utama yang menghubungkan kawasan Tanah Abang dengan Kebon Jeruk. Karena strategis itulah, banyak pengunjung datang.
Tidak hanya itu. Warmindo milik Nunung pun jadi mudah terpantau oleh petugas satpol PP. ”Saya sering ngingetin anak-anak itu kalau ada razia. Biasanya mereka pergi dulu. Nanti balik lagi kalau sudah aman,” katanya.
Baca juga : DKI Jakarta Matangkan Detail Regulasi Sebelum Kembali pada PSBB Ketat
Nunung menyadari, di masa PSBB jilid kedua nanti, petugas satpol PP pasti akan bertindak lebih tegas. Namun, ia tidak punya pilihan selain harus kucing-kucingan dengan petugas meskipun sering merasa ketakutan.
Seperti pada Jumat siang itu, saat terdengar suara sirene mobil polisi yang melintas di Jalan Kemanggisan Utama. Nunung langsung beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari warung. Rupanya, itu adalah suara dari mobil polisi yang sedang mengiringi rombongan pernikahan.
”Takut kalau ada suara-suara begitu. Pernah dulu langsung disuruh tutup karena banyak yang nongkrong di sini. Meja dan kursi makan ini juga dibalik,” ujarnya.
Meski sudah kucing-kucingan dengan petugas satpol PP, Nunung mengaku pendapatan masih seret. Biasanya, setiap bulan ia bisa mengantongi Rp 5 juta. Uang itu biasanya dipotong untuk membayar kontrakan Rp 2 juta. Namun, beberapa kali pendapatannya hanya cukup untuk membayar kontrakan.
”Apalagi sekarang kontrakan naik dari Rp 25 juta jadi Rp 28 juta per tahun. Padahal, kontrakan lain di sekitar sini pada turun,” kata wanita yang sudah berjualan di Warmindo selama dua tahun ini.
Sementara Widi (42), pemilik Warteg Bahari di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, juga mengaku berat menghadapi PSBB jilid kedua. Ia mengatakan akan tetap membuka wartegnya selama 24 jam.
”Selama ini memang banyak yang makan di sini. Mulai Senin hanya menerima yang bungkus,” katanya.
Widi berharap, PSBB jilid kedua tidak akan berlangsung berbulan-bulan. Sebab, hal itu bisa membuatnya pulang ke Tegal, Jawa Tengah, seperti pada PSBB jilid pertama lalu.
”Waktu itu sempat jualan beberapa hari, tapi sepi. Akhirnya pas bulan puasa pulang Tegal,” ucapnya.
Pedagang pasar terpukul
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri menilai, pemberlakuan PSBB jilid kedua membuat para pedagang terpukul. Mereka berharap agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membantu membangkitkan kembali perekonomian para pedagang pasar.
Menurut dia, selama pandemi Covid-19, pedagang pasar di DKI Jakarta mengalami penurunan omzet sebesar 60-70 persen. Untuk itu, Ikappi meminta kepada Pemprov DKI Jakarta agar menjadikan pasar tradisional sebagai pusat fondasi perekonomian daerah sehingga perekonomian di pasar bisa terus tumbuh.
Ikappi tidak merekomendasikan adanya zonasi seperti yang dilakukan pada PSBB pertama. Sebab, hal ini justru membuat perekonomian pedagang sulit. Mereka mendorong agar Pemprov DKI Jakarta memberikan stimulus kepada pedagang sehingga tetap bisa bertahan.
”Kami juga mendorong agar penyemprotan disinfektan dilakukan secara berkala dan bertahap agar penularan atau penyebaran Covid-19 di pasar tradisional tidak terjadi,” kata Mansuri dalam keterangan tertulis.
Terkait pelaksanaan PSBB, Ikappi mendorong agar pengelola pasar di DKI Jakarta menyiapkan sekat plastik di kios-kios untuk melindungi pedagang sekaligus pembeli. Hal ini sudah dilakukan di beberapa pasar dan hasilnya cukup efektif.