Antisipasi Frustrasi Pekerja akibat PSBB Proporsional
Pemberlakuan kembali PSBB, dikhawatirkan mengakibatkan gelombang kedua PHK. Karena itu, harus ada penjaminan kesejahteraan bagi pekerja.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan kembali pembatasan sosial berskala besar atau PSBB secara proporsional, yaitu pengetatan di semua sektor kegiatan masyarakat, dikhawatirkan mengakibatkan gelombang kedua pemutusan hubungan kerja serta merumahkan pekerja tanpa upah. Harus ada penjaminan kesejahteraan pekerja agar tidak muncul konflik sosial akibat keputusasaan warga.
”PSBB proporsional ini membuat pekerja shock karena dilakukan mendadak. Pendekatan ini semestinya didiskusikan terlebih dulu dengan serikat pekerja maupun para pengusaha,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (10/9/2020).
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan pada PSBB pertama pada Maret hingga Mei membuat angka pengangguran di Ibu Kota bertambah 11,2 persen berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Sektor jasa terkena imbas yang paling besar karena mayoritas pekerjaannya memerlukan tatap muka.
Salah satu contohnya ialah usaha restoran dan kafe yang selama PSBB proporsional hanya diizinkan melayani pembelian untuk dibungkus. Artinya, pekerja yang diperlukan hanya di bidang produksi. Para pramusaji, pramuniaga, dan kasir tidak dibutuhkan sehingga dirumahkan.
Timboel menuturkan, permasalahan yang terbesar ialah munculnya kluster penularan Covid-19 di perkantoran. Akan tetapi, hal ini harus dilihat dari fakta bahwa perkantoran kini banyak melakukan tes cepat, tes reaksi berantai polimerase (PCR), dan tes usap sehingga banyak kasus positif yang ketahuan di perusahaan. Padahal, penularan belum terjadi di kantor tersebut karena bisa terjadi di permukiman maupun tempat-tempat umum.
”Kantor-kantor sudah membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan Covid-19 meskipun dalam penerapannya beragam. OPSI menerima informasi dari para pekerja bahwa banyak kantor yang bulan Mei ketika kembali dibuka ketat melaksanakan protokol kesehatan kini mengendur,” tuturnya.
Tidak ada petugas yang menegur ketika karyawan tidak memakai masker dengan benar dan di kantin pengaturan tempat duduk yang menjaga jarak ketika makan sudah diabaikan. Semestinya, lanjut Timboel, kantor-kantor ini yang diawasi secara ketat dan dievaluasi serta jika perlu diberi sanksi. Jangan sampai kantor-kantor yang taat protokol dan berjerih payah menerapkannya juga turut menanggung akibat.
Hal serupa juga dilakukan di restoran, kafe, pusat jajanan kaki lima, mal, dan permukiman. Unit-unit usaha yang terbukti bisa melaksanakan komitmen bermasker, menjaga jarak, mengecek suhu tubuh, dan sering mencuci tangan diharapkan bisa terus beroperasi.
”Permasalahannya adalah tidak ada transparansi pemantauan di perkantoran, mulai dari jadwal pemeriksaan rutin, jumlah kantor yang taat protokol, jumlah kantor yang bandel, dan jenis pembenahan yang dilakukan,” kata Timboel.
Menurut dia, karena pemerintah telanjur menerapkan sistem pukul rata, yang harus dilakukan sekarang ialah memastikan para pekerja yang kehilangan nafkah menerima bantuan. Tidak hanya bantuan sosial berupa paket sembilan kebutuhan pokok, tetapi juga bantuan yang lebih bervariasi.
Salah satunya ialah bantuan subsidi upah (BSU) Rp 600.000 per bulan. Data untuk para penerima jangan hanya mengandalkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, melainkan menghimpun data terkini dari organisasi pekerja serta perusahaan.
Pengawasan perkantoran merupakan tantangan karena pemerintah, baik pusat maupun daerah, kekurangan sumber daya manusia. Salah satu contohnya ialah di Suku Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Energi Jakarta Selatan yang mengawasi 25.700 perusahaan. Oleh sebab itu, pemerintah daerah mengandalkan laporan pelanggaran dari masyarakat, baru melakukan inspeksi mendadak (Kompas, 7/8/2020).
”Petugas kami untuk pemeriksaan rutin hanya mampu mendatangi tiga perusahaan setiap hari karena untuk pemantauan memerlukan waktu yang lama memastikan semua aspek perlindungan terpenuhi,” kata Kepala Suku Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Energi Jakarta Selatan Sudradjad.
Belum transparan
Peneliti Center for Metropolitan Studies (Centropolis) Pusat Kajian Real Estat dan Perkotaan Universitas Tarumanagara, Jakarta, Suryono Herlambang, mengkritisi belum transparannya laporan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai perkembangan penularan Covid-19. Tidak hanya angka kumulatif yang perlu diungkap, tetapi juga titik-titik yang menjadi tempat penularan baru.
”Tanpa penjelasan di kelurahan atau kantor atau pasar mana dan siapa penyebabnya, kita tidak akan tahu pola pergerakan virus korona baru ini. Wilayah mana yang paling rentan dan kelompok masyarakat apa yang membutuhkan perhatian khusus? Selain itu, data mengenai evaluasi pembatasan sosial berskala lokal di skala kelurahan hingga kecamatan pun tidak jelas. Padahal, berbagai pihak ingin dan bisa turut membantu pemerintah menanggulangi Covid-19 asalkan data dibuka,” ujarnya.