Pro dan Kontra Warga Menanggapi Rencana Penerapan Sanksi Progresif
Pro dan kontra mewarnai rencana penerapan sanksi progresif bagi pelanggar protokol kesehatan terkait Covid-19. Terlepas dari itu, warga mesti memahami regulasi dibuat demi mencegah potensi penularan yang lebih masif.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menempuh berbagai upaya agar warga patuh terhadap protokol kesehatan terkait Covid-19. Setelah berbulan-bulan menerapkan sanksi sosial dan denda administratif bagi pelanggar protokol kesehatan, pemerintah berencana menerapkan sanksi progresif.
Sanksi progresif berarti sanksi yang dikenakan kepada warga akan berlipat ganda sesuai dengan jumlah pelanggaran yang ada. Adapun payung hukum sanksi tersebut berbentuk peraturan gubernur (pergub) yang sedang dalam tahap penyelesaian.
Walakin, warga menanggapi beragam terkait kemunculan regulasi ini. Pendapat pro dan kontra bermunculan dari berbagai kalangan, terutama yang menyinggung soal kepatuhan sosial.
Rahmat Sugiyanto (35), pekerja di Cikini, Jakarta Pusat, menilai penerapan sanksi progresif penting untuk mengingatkan siapa pun tentang protokol kesehatan Covid-19. Sebab, sering kali dia melihat orang lupa dan mengabaikan penggunaan masker. Padahal, semua orang bisa saja menjadi pembawa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
”Saya pikir penting untuk mengingatkan semua orang tentang prinsip menghindari bahaya. Yang saya tahu, sejauh ini cara paling efektif adalah menjaga jarak dan pakai masker. Kalau banyak yang sembrono terhadap protokol kesehatan, misalkan di kafe atau naik ojek, saya biasanya ngehindarin area-area itu, sih,” ucap Rahmat saat ditemui selepas jam makan siang.
Ramdhan Dibrata (32), pegawai perbankan di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, juga mendukung berlakunya sanksi progresif bagi pelanggar protokol kesehatan. Menurut dia, di masa krisis seperti ini, orang yang berakal sehat semestinya menghindari bahaya penularan Covid-19. Dengan tidak pakai masker dan memegang berbagai benda sembarangan, risiko penularan tentu semakin tinggi.
”Kalau orang itu mikir atau berakal sehat, minimal mereka bepergian pakai masker, lha. Sekarang kayaknya petugas satpol PP sudah di mana-mana, masak orang itu enggak pakai masker. Kesannya nantangin petugas banget,” ujarnya.
Meski demikian, dalam setiap perhentian lampu lalu lintas, selalu saja terselip pengendara yang melanggar protokol kesehatan. Sebagian orang itu kerap mengabaikan instruksi pakai masker, terutama saat berkendara sepeda motor. Sebagian dari mereka juga bebas melenggang di jalanan, lolos dari pantauan petugas.
Kawasan Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, masih kerap dilalui pengendara sepeda motor tanpa masker. Sekitar delapan dari 10 pesepeda motor yang tidak pakai masker di jalan adalah pengojek daring.
Iyudh (34), pengojek daring yang tengah menunggu di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, kadang melepas masker saat sibuk mendapat order. ”Kadang-kadang kalau agak sibuk memang jadi lupa, lalu tidak sempat pakai masker. Tapi, saya pastiin, sekat pembatas di punggung tidak pernah lepas saat ngangkut penumpang,” tuturnya.
Selain Iyudh, ada juga Hikmawan Tachir (29) yang tidak pakai masker saat ditemui di Jalan Kebon Sirih. Dalam perjalanannya menuju wilayah Senen, Hikmawan tidak memakai masker karena menempuh jarak pendek dari Pasar Tanah Abang. ”Saya pikir karena jaraknya dekat, jadi sekali jalan saja lha,” sebutnya.
Baik Iyudh maupun Hikmawan tidak mendukung sanksi progresif. Hikmawan menuturkan, regulasi tersebut tidak berpihak kepada pekerja harian yang beraktivitas setiap hari.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menuturkan perlunya suatu regulasi yang tegas untuk menciptakan kepatuhan sosial di tengah pandemi Covid-19. Kemunculan sanksi progresif, menurut dia, adalah upaya untuk mewujudkan kepatuhan itu.
Cara-cara tegas sebaiknya dipadukan dengan menanamkan edukasi terkait risiko. Sebab, sebagian pelanggar mungkin belum juga memahami faktor risiko penularan Covid-19. ”Pemahaman terhadap risiko itu pun perlu ditanamkan agar mereka tidak berbuat lagi,” jelas Trubus.
Trubus juga menyarankan perlunya sanksi pidana, seperti yang tercantum dalam Pergub DKI Jakarta No 41/2020 tentang Sanksi Pelanggaran dalam Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Covid-19. Pasal 17 pergub itu menyebutkan pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggar PSBB sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ada baiknya kalau sanksi berlaku secara berjenjang sesuai dengan seberapa sering seseorang melanggar protokol kesehatan. Misalkan, seseorang yang melanggar satu kali akan dikenai sanksi sosial atau denda. Ketika melanggar dua kali, maka diterapkan sanksi berlipat. Baru saat melanggar lebih dari dua kali, sanksi pidana bisa dikenakan kepada si pelanggar.
”Penerapan sanksi secara berjenjang seperti itu memperhatikan faktor kesantunan publik. Santun dalam artian bahwa si pelanggar memahami kalau sudah melanggar berkali-kali dan menyadari kalau mereka salah karena turut membahayakan orang lain,” ujar Trubus.
Terkait itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut selama ini pemerintah provinsi belum menggunakan sanksi pidana kepada pelanggar protokol kesehatan. Namun, apabila memang sanksi sosial dan sanksi denda administratif tidak juga mempan, tidak menutup kemungkinan akan berlaku juga sanksi pidana bagi pihak pelanggar. ”Sanksi ini diatur pidana kurungan paling lama tiga bulan,” ujarnya di Balai Kota DKI Jakarta, 15 Agustus 2020.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin menekankan, petugas bersama aparat penegak hukum lainnya berupaya untuk mengingatkan tentang pentingnya protokol kesehatan. Adanya denda administrasi pun sebenarnya dibuat untuk menimbulkan efek jera.
Berdasarkan data Satpol PP DKI Jakarta per 13 Agustus silam, jumlah pelanggar protokol kesehatan mencapai 2.300 pelanggaran setiap hari. Sepekan sebelum itu, jumlah pelanggaran mencapai 2.600 per hari. Arifin merinci, total nilai denda yang masuk dari semua jenis pelanggaran per 13 Agustus mencapai sekitar Rp 3,1 miliar.
Dengan jumlah sebanyak itu, butuh upaya-upaya masif untuk mengingatkan warga tentang pentingnya protokol kesehatan. Penegakan sanksi juga harus dilakukan dengan tegas. Tanpa itu, sanksi progresif sekalipun tidak akan banyak berguna.