DKI Siapkan Sanksi Progresif untuk Pelanggar yang Membandel
Sanksi progresif berlaku bagi pihak yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 lebih dari satu kali di Jakarta. Regulasi sedang dalam tahap finalisasi dan segera diumumkan dalam waktu dekat.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Pengendara sepeda motor tidak memakai masker saat melintas di Jalan Haji Abdul Muis, Jakarta Pusat, Selasa (18/8/2020). Selama pandemi Covid-19, masker harus terus digunakan selama beraktivitas di luar rumah.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan regulasi terkait dengan sanksi progresif bagi pihak yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 secara berulang. Hal ini dibuat untuk menimbulkan dampak jera yang lebih masif bagi pelanggar protokol kesehatan.
Kepala Biro Hukum DKI Jakarta Yayan Yuhanah menyebutkan, sanksi progresif itu tertuang dalam peraturan gubernur (pergub) terbaru yang akan dipublikasi dalam waktu dekat. Dia mengatakan, pergub tersebut masih dalam proses finalisasi.
”Ya, sanksi progresif tertuang dalam bentuk pergub. Saat ini aturan sedang dalam proses finalisasi. Pasti akan segera diumumkan apabila selesai dalam waktu dekat,” ujar Yayan kepada Kompas, Selasa (18/8/2020).
Sanksi progresif itu akan memaksa pelanggar untuk membayar dua kali lipat nilai denda awal. Sanksi berlipat mulai dihitung apabila seseorang diketahui melakukan pelanggaran protokol kesehatan untuk kedua kalinya. Penghitungan sanksi progresif berlaku untuk individu ataupun perusahaan yang melanggar protokol kesehatan.
Dengan begitu, sejumlah denda administratif dapat dikenakan dua kali lipat kepada pelanggar protokol kesehatan. Denda untuk pesepeda motor yang melanggar lebih dari satu kali, misalnya, dapat dikenakan mulai dari Rp 200.000. Jumlah ini mengacu pada Pasal 14 Pergub DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Sanksi Pelanggaran dalam Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Covid-19.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin menjelaskan, sanksi progresif kemungkinan berlaku juga untuk hukuman sosial. Dalam sanksi sosial, bisa jadi durasi kerjanya menjadi dua kali lipat. ”Sanksi bisa juga berlaku untuk mereka yang memilih kerja sosial. Misalnya, durasi kerja bersih-bersih bagi pelanggar protokol kesehatan dibuat menjadi dua kali lipat. Harus tetap ada efek agar para pelanggar jera,” ucapnya.
Dalam pelaksanaan sanksi progresif, Arifin menyebut Pemprov DKI tengah menggodok semacam aplikasi ponsel yang turut memudahkan pelacakan individu yang melanggar protokol kesehatan lebih dari satu kali. Aplikasi tersebut sedang dikerjakan oleh Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik DKI Jakarta.
Pengojek daring tidak pakai masker saat melintas di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (18/8/2020). Selama pandemi Covid-19, masker harus terus digunakan selama beraktivitas di luar rumah.
Abai protokol kesehatan
Pengamatan Kompas, sejumlah warga di Jakarta tampak masih melanggar protokol kesehatan Covid-19. Kawasan Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, masih kerap dilalui pengendara sepeda motor tanpa masker. Sekitar delapan dari sepuluh pesepeda motor yang tidak pakai masker di jalan adalah pengojek daring.
Iyudh (34), pengojek daring yang tengah menunggu di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, kadang melepas masker saat sibuk mendapat order. ”Kadang-kadang kalau agak sibuk memang jadi lupa, lalu tidak sempat pakai masker. Tapi saya pastiin, sekat pembatas di punggung tidak pernah lepas saat ngangkut penumpang,” tuturnya.
Selain Iyudh, ada juga Hikmawan Tachir (29) yang tidak pakai masker saat ditemui di Jalan Kebon Sirih. Dalam perjalanannya menuju wilayah Senen, Hikmawan tidak memakai masker karena menempuh jarak pendek dari Pasar Tanah Abang. ”Saya pikir karena jarkanya dekat, jadi sekali jalan sajalah,” sebutnya.
Di tengah sejumlah pengabaian protokol kesehatan, kasus Covid-19 per 17 Agustus di Jakarta telah mencapai 30.092 orang. Masih ada sekitar 9.165 pasien positif yang dirawat. Sementara rerata pasien positif dari total kasus yang diperiksa (positivity rate) selama sepekan terakhir mencapai 9,6 persen. Angka tersebut belum terhitung aman apabila mengikuti standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni di bawah 5 persen.
Selain itu, berdasarkan data Satpol PP DKI Jakarta per 13 Agustus silam, jumlah pelanggar protokol kesehatan mencapai 2.300 pelanggaran setiap hari. Sepekan sebelum itu, jumlah pelanggaran mencapai 2.600 per hari. Arifin merinci, total nilai denda yang masuk dari semua jenis pelanggaran per 13 Agustus mencapai sekitar Rp 3,1 miliar.
Dua warga yang tengah berboncengan sepeda motor tidak memakai masker selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta, Selasa (14/7/2020). Situasi lonjakan kasus harian yang sempat terjadi juga tidak menjadi kewaspadaan bagi sejumlah warga kini.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menuturkan, pemerintah provinsi berupaya menjalankan Pergub Nomor 41 Tahun 2020 setegas mungkin. Apabila memang sanksi sosial serta sanksi denda administratif tidak juga mempan, tidak tertutup kemungkinan akan berlaku juga sanksi pidana bagi pihak pelanggar.
”Pak Gubernur sudah mengeluarkan Pergub Nomor 41 Tahun 2020 tentang sanksi untuk berbagai kalangan pelanggar, antara lain sanksi administratif berupa teguran, penutupan sementara, dan pencabutan izin. Lalu untuk individu, ada sanksi sosial, sanksi denda, dan sanksi pidana. Ke depan, bisa saja bagi para pelanggar PSBB yang berulang dan membahayakan nyawa orang kita terapkan berupa sanksi pidana,” ucap Ahmad Riza dalam siaran Kompas TV di Balai Kota Jakarta, 15 Agustus 2020.
Ahmad Riza menuturkan, sanksi pidana yang dimaksud termasuk dalam sanksi pidana ringan. ”Bukan kejahatan, melainkan pelanggaran. Sanksi ini diatur pidana kurungan paling lama tiga bulan,” ujarnya.
Terkait dengan itu, pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mendukung berlakunya aturan sanksi progresif. Sanksi jenis ini, menurut dia, bisa menjadi jenjang peringatan bagi warga sebelum menerapkan sanksi pidana.
”Sanksi progresif bisa jadi teguran untuk pihak pelanggar sebelum dikenai sanksi pidana. Jadi, ada semacam jenjang pelanggaran. Kalau sekali melanggar, dikenai sanksi denda atau sosial sesuai pergub saat ini. Lalu, kalau ketahuan melanggar lagi, baru dikenai sanksi progresif. Kalau ketahuan sampai tiga kali, mungkin baru dikenai sanksi pidana,” kata Trubus.