Lima kota di Jakarta masuk zona merah dan kasus positif Covid-19 melonjak, tetapi tidak diketahui penyebabnya. Penanganan reaktif, belum ada pencegahan secara signifikan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar/Helena Fransisca
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Dalam dialog daring yang digelar Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Rabu (29/7/2020), Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Dewi Nur Aisyah, menjelaskan selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi selama periode 4 Juni-26 Juli terjadi peningkatan kasus positif di DKI Jakarta.
Pada periode itu, diketahui ada 3.567 kasus. Sebanyak 28 persen kasus ini merupakan hasil dari upaya aktif menemukan kasus. Selebihnya, menurut Dewi, penambahan kasus positif karena ada penelusuran dan pengawasan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Dari analisis data kluster terlihat adanya transmisi lokal di permukiman. Kontribusi kasus dari komunitas sebesar 39 persen. Setelah penelusuran kontak, terlihat arah ke transmisi lokal di permukiman. Ada 283 kluster komunitas dengan 1.178 kasus. Pasien kluster ini bertemu dalam satu tempat yang sama.
Lalu di perkantoran, sudah ada 90 kluster dengan total 459 kasus. Angka kasus di perkantoran bertambah hampir sepuluh kali lipat dari sebelum masa PSBB. Sebelum masa PSBB hanya ada 43 kasus. Setelah PSBB transisi kasus menjadi 459 orang. Kluster perkantoran juga beragam, ada dari kementerian, badan/lembaga, kantor di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, kepolisian, BUMN, sampai swasta.
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito, menyampaikan, situasi di wilayah DKI itu perlu mendapatkan perhatian. Ia meminta pemerintah daerah memperhatikan kondisi wilayah secara serius.
”Terlihat pada 19 Juli, ada 33 persen atau dua wilayah, yaitu Jakarta Pusat dan Jakarta Barat dengan risiko tinggi, dinamai zona merah. Pada 26 Juli, sudah lima kota di Jakarta dengan risiko tinggi. Pada 21 Juni, ada satu daerah tidak terdampak, yaitu Kepulauan Seribu, sekarang risiko sedang,” kata Wiku saat konferensi pers di Media Center Satgas Nasional, Graha BNPB, Jakarta, Selasa (28/7).
Penanganan penyebaran virus korona baru di DKI Jakarta seperti teori memencet balon. ”Disebut teori memencet balon karena kasus terus bermunculan, tetapi tak diketahui penyebabnya. Tindak lanjut penanganan masih reaktif, belum ada pencegahan secara signifikan,” kata dosen dan peneliti di Program Studi Perencanaan Kota dan Realestat Universitas Tarumanagara, Jakarta, Suryono Herlambang.
Ia menjabarkan teori itu seperti menekan penyebaran Covid-19 di wilayah permukiman padat, tetapi kemudian muncul kluster di pasar tradisional. Ketika kluster pasar ditekan, muncul kasus baru di perkantoran, demikian seterusnya. Belum ada metode yang bisa mengepung penyebaran virus dan menekannya agar berkurang.
”Kami belum menemukan pola ataupun mendengar penjelasan dari pemerintah pusat dan daerah alasan mengapa wilayah-wilayah tertentu memiliki jumlah kasus lebih tinggi atau naik cepat,” ujar Suryono.
Antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fadjar Thufail, memaparkan, kenaikan kasus ini mengkhawatirkan. Akan tetapi ini wajar mengingat budaya Indonesia yang guyub dan masih bergantung pada figur otoritas. Berkumpul seperti arisan, nongkrong, hingga beribadah bersama sudah mendarah daging.
”Di masa darurat seperti ini, ketergantungan warga pada figur otoritas menjadi keuntungan. Perlu ketegasan dari pusat, tidak hanya gubernur dan bupati atau wali kota,” tuturnya.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Jakarta Fify Mulyani meminta warga patuh pada protokol kesehatan. ”Perlindungan pertama tetap bermasker, menjaga jarak, dan jika bisa tinggal di rumah,” katanya.