Pengguna KRL Meningkat, Aturan Jam Kerja Didorong Diperketat
Hari pertama penerapan PSBB transisi di wilayah Jakarta membuat pengguna KRL dari Stasiun Bogor meningkat tajam. Tanpa pengaturan jam masuk-pulang karyawan, kondisi ini akan terus terjadi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Hari pertama penerapan pembatasan sosial berskala besar transisi di wilayah DKI Jakarta membuat jumlah pengguna kereta rel listrik dari Stasiun Bogor meningkat tajam. Pemerintah Kota Bogor berharap perusahaan di DKI Jakarta dapat mengatur lebih ketat jam kerjanya agar tidak terjadi penumpukan penumpang di stasiun.
Berdasarkan pantauan pada Senin (8/6/2020) pagi, para pengguna KRL mulai memadati Stasiun Bogor sejak pukul 05.00. Kepadatan ini terjadi karena adanya pembatasan jumlah penumpang dan pemberlakuan jaga jarak fisik yang diterapkan pihak PT Kereta Commuter Indonesia (KCI).
Petugas stasiun memberlakukan jaga jarak fisik bagi penumpang sejak di pintu masuk atau mesin tapping. Butuh waktu 15 hingga 60 menit bagi pengguna KRL hingga menuju peron kereta. Petugas juga kerap memberikan imbauan melalui pengeras suara kepada pengguna KRL untuk menjaga jarak aman.
Kepadatan ini bahkan masih terjadi hingga pukul 09.00. Namun, setelah kepadatan terurai, masyarakat mulai tertib dengan senantiasa menjaga jarak aman antara satu penumpang dan penumpang lain. Semua pengguna KRL dari Stasiun Bogor juga terlihat mengenakan masker.
Andri Aisyahbana (25), salah seorang pengguna KRL asal Tanah Sareal, Bogor, mengaku kembali menggunakan KRL setelah dua bulan lebih tidak memakai jasa transportasi tersebut akibat pandemi Covid-19. Ia juga terpaksa menggunakan KRL kembali karena perusahaan tempatnya bekerja di Jakarta Pusat telah mewajibkan karyawannya masuk ke kantor.
”Saya menunggu hampir 30 menit untuk masuk ke peron karena ada kebijakan jaga jarak. Saya cukup khawatir akan penyebaran Covid-19 di stasiun dan kereta. Namun, tidak ada transportasi lain yang lebih efektif dan efisien selain KRL untuk sampai ke kantor saya,” tuturnya.
Saya menunggu hampir 30 menit untuk masuk ke peron karena ada kebijakan jaga jarak. Saya cukup khawatir akan penyebaran Covid-19 di stasiun dan kereta.
Hal senada diungkapkan Dani Bagus (36), pengguna KRL asal Menteng, Bogor Barat. Menurut Dani, ketergantungan masyarakat yang tinggal di wilayah Bogor dan bekerja di Jakarta terhadap KRL sangat tinggi. Sebab, KRL merupakan transportasi yang paling mudah dijangkau masyarakat, baik dari sisi waktu maupun biaya.
Kepadatan di Stasiun Bogor pada Senin pagi juga dipandang Dani masih wajar jika dibandingkan saat pertama kali Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada awal April lalu. Saat itu, ia bahkan hampir menunggu satu jam lebih untuk memasuki peron kereta. Ia pun berharap operasional KRL dapat diberlakukan secara normal agar tidak terjadi penumpukan.
Wali Kota Bogor Bima Arya saat melakukan peninjauan di Stasiun Bogor, Senin, mengatakan, dari data yang masuk, terjadi penambahan pengguna KRL sekitar 10 persen di Stasiun Bogor. Hal ini terjadi karena kebijakan sejumlah perusahaan di Jakarta yang mulai membuka kembali kantornya setelah PSBB transisi diterapkan.
”Jadi kuncinya memang pengaturan di stasiun harus lebih detail dan ketat lagi. Untuk jaga jarak, tadi saya sarankan menambah marka atau pembatas lebih luas dan banyak lagi,” ujarnya.
Selain itu, Bima juga berharap perusahaan di Jakarta dapat mengatur lebih ketat jam kerjanya. Hal ini agar tidak terjadi lagi penumpukan penumpang di Stasiun Bogor dan stasiun-stasiun keberangkatan lainnya.
”Perusahaan pasti punya data pekerja yang berdomisili di Bogor dan sekitarnya. Sebaiknya ada kebijakan dispensasi agar pegawai yang berasal dari Bogor tidak berangkat secara bersamaan. Jadi bisa dibuat sif,” ungkapnya.
Perusahaan pasti punya data pekerja yang berdomisili di Bogor dan sekitarnya. Sebaiknya ada kebijakan dispensasi agar pegawai yang berasal dari Bogor tidak berangkat secara bersamaan. Jadi bisa dibuat sif.
Vice President Corporate Communications PT KCI Anne Purba yang turut mendampingi Bima menyampaikan, hingga Senin pukul 10.00 tercatat terdapat peningkatan sekitar 11.000 penumpang dari Stasiun Bogor. Peningkatan ini juga membuat antrean panjang di sejumlah stasiun karena adanya protokol kesehatan dan jaga jarak fisik.
”Setiap stasiun seperti di Cilebut, Bojonggede, Citayam, sampai Depok, calon penumpang pasti mengantre karena ini jalur terpadat di KRL. Namun, kami sudah sosialisasi sejak kemarin bahwa memang peningkatan ini akan menimbulkan antrean karena pengguna KRL dibatasi,” katanya.
Untuk mengurangi kepadatan di sejumlah stasiun, menurut Anne, pihaknya akan mengusulkan agar perusahaan di Jakarta menerapkan jam kerja secara sif. Dia juga berharap ada kerja sama kembali dengan pemerintah daerah untuk melakukan tes cepat dan tes usap tenggorokan guna mengetahui risiko penyebaran Covid-19 di stasiun dan KRL.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, mengatakan, pemerintah daerah yang menerapkan PSBB transisi atau proporsional harus siap dengan segala konsekuensi yang dihadapi. Sebab, ia menduga masih akan ada banyak pelanggaran, seperti tidak diterapkannya protokol kesehatan secara maksimal yang dilakukan masyarakat atau sektor tertentu.
”Jika ada pelonggaran, konsekuensinya harus ada pengawasan yang ketat. Jika tidak dilakukan pengawasan yang ketat dan sampai terjadi ledakan kasus Covid-19 kembali, pusat maupun daerah harus siap dengan tenaga dan fasilitas kesehatan,” ujarnya.
Selain itu, penerapan PSBB transisi yang dilakukan pemerintah daerah juga dinilai merupakan langkah yang terburu-buru. Sebab, sampai saat ini data menunjukkan angka kasus positif Covid-19 di sejumlah daerah masih ada dan terus naik.
”Pemerintah membuat aturan dan kebijakan, tetapi aturan tersebut banyak pengecualiannya, bentrok dengan aturan lain, dan sanksi tidak dijalankan. Paling mudah memang mencari benchmark mana yang sesuai untuk kita karena masyarakat kita tidak bisa diatur-atur seperti negara lain,” kata Agus.
Paling mudah memang mencari benchmark mana yang sesuai untuk kita karena masyarakat kita tidak bisa diatur-atur seperti negara lain.