Tekanan terhadap China di Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022
Olimpiade bukan hanya milik dunia olahraga. Tarik-menarik kepentingan politik dan unjuk kredibilitas tuan rumah juga kerap mewarnai penyelenggaraan Olimpiade.
Selama penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022, China sebagai tuan rumah harus menghadapi tekanan internasional atas tuduhan pelanggaran HAM dan lingkungan. Ditambah situasi pandemi yang belum mereda, sulit bagi China untuk mengulangi keberhasilannya saat menyelenggarakan Olimpiade Beijing 2008.
Olimpiade bukan hanya menjadi ajang perlombaan para atlet terpilih. Perhelatan olahraga terbesar di dunia itu juga menjadi ajang unjuk gigi kemajuan, perkembangan maupun transformasi negara tuan rumah.
Tidak jarang juga momen ini dimanfaatkan untuk melanggengkan agenda politik negara tuan rumah. Karena itu, kesempatan tersebut dimanfaatkan negara tuan rumah untuk menampilkan wajah terbaik dari negaranya.
Tidak heran jika seluruh persiapan dilakukan dengan matang dalam waktu yang lama. Pembangunan fasilitas, arena pertandingan dan infrastruktur dilakukan besar-besaran sejak negara ditetapkan sebagai tuan rumah. Tentu saja biaya yang dikeluarkan besar.
Contohnya Olimpiade Tokyo 2020 yang diselenggarakan tahun lalu memakan biaya hingga 14,85 miliardollar AS. Besarnya biaya tersebut dianggap sebanding dengan kesempatan untuk menunjukkan kebangkitan Jepang setelah mengalami stagnasi ekonomi dalam waktu yang lama, bencana tsunami, dan nuklir Fukushima.
Kini giliran China yang mendapat kesempatan itu. Apalagi penyelenggaraan olimpiade tahun ini cukup berkesan. Terpilihnya Beijing sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2022 menandakan kota itu menjadi kota dual olimpiade pertama di dunia. Sebelumnya Beijing pernah menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas pada 2008.
Meskipun sudah lebih dari satu dekade sejak Olimpiade Beijing 2008, visi yang ditunjukkan China melalui perhelatan olahraga ini tidak terlalu berbeda. Hanya saja menurut pendapat Patrick Beyrer and Morgan Peirce dari CSIS tantangan mewujudkan visi tersebut lebih tinggi.
Pada Olimpiade Beijing 2008 lalu, China berusaha meyakinkan negara-negara lain bahwa China layak mendapat tempat di tatanan internasional. Selain itu, China juga berupaya menegaskan pada dunia bahwa sistem pemerintahannya berhasil dan efektif.
Tahun ini melalui Olimpiade Musim Dingin yang berlangsung 4-20 Februari 2022, China berupaya membuktikan superioritasnya dalam sektor ekonomi dan teknologi di tingkat internasional. Hal ini ditunjukkan dengan pembangunan infrastruktur, fasilitas dan arena pertandingan yang ditunjang teknologi canggih dengan biaya besar.
Untuk penyelenggaraan olimpiade tahun ini, China menginvestasikan 3,9 miliar dollar AS. Angka tersebut memang lebih sedikit dibandingkan anggaran olimpiade musim dingin negara lainnya.
Tetapi menurut analisis media Insider, dana yang benar-benar dikeluarkan China mencapai 38,5 miliar dollar AS atau sepuluh kali lipat lebih banyak. Dana tersebut salah satunya digunakan untuk membangun arena pertandingan olahraga seperti Bobsleigh, Skeleton, Luge dan Ski yang menghabiskan biaya sekitar 442,9 juta dollar AS.
Dalam hal teknologi, China menunjukkannya dengan membangun “Bullet Trains” yaitu kereta kendali otomatis tanpa masinis dengan teknologi kontrol dan sinyal canggih. Kereta dengan kecepatan 350 kilometer per jam yang menghubungkan dua area pertandingan Olimpiade yaitu Beijing dan Zhangjiakou ini menjadi kereta otomatis tercepat di dunia.
Sentimen politik
Segala fasilitas dan infrastruktur pendukung tersebut tidak hanya berhasil membuat pelaksanaan Olimpiade Musim Dingin lancar. Masyarakat lokal juga turut merasakan dampak pembangunan dan pengembangan fasilitas olahraga musim dingin. Per Januari 2022 tercatat lebih dari 346 juta warga China turut menikmati fasilitas olahraga musim dingin sejak 2015.
Kendati persiapan dilakukan matang, China masih harus berjibaku memastikan pelaksanaan Olimpiade tetap aman di tengah gelombang Omicron. Sejumlah aturan ketat diterapkan untuk mencegah penularan virus.
Pada area penyelenggaraan Olimpiade seperti stadion, pusat konferensi dan lebih dari 70 hotel diterapkan “loop tertutup”. Area ini dipagari dan dijaga ketat. Sistem transportasi sendiri dengan 4.000 kendaraan termasuk kereta otomatis tanpa masinis (Bullet Trains) disiapkan untuk menghubungkan tiga daerah pelaksanaan olimpiade.
Tiket tidak dijual untuk masyarakat umum termasuk penonton dari mancanegara. Sekalipun ada penonton khusus yang diundang ke sejumlah acara, mereka harus mematuhi aturan ketat. Petugas dan relawan olimpiade harus berada dalam gelembung tertutup sejak sebulan sebelum pembukaan acara.
Di luar masalah Covid-19, China harus menghadapi tekanan dari negara-negara lain atas isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada kelompok minoritas Muslim di Xinjiang. Sekelompok organisasi HAM di negara Barat menuding China melakukan kejahatan kemanusiaan kepada etnis Uyghur dan kelompok muslim lainnya. Karena itu, AS, Australia, Inggris dan sejumlah negara Barat lainnya melakukan boikot pengiriman perwakilan diplomatik ke Olimpiade Beijing 2022.
Mengirimkan perwakilan ke Olimpiade dianggap sama dengan memberikan semacam persetujuan atas tindakan China. Bagaimanapun perlu diingat bahwa Olimpiade bukan hanya sekadar perhelatan olahraga semata, tetapi juga panggung politik dunia secara tidak langsung.
Menanggapi isu itu, China menilai tindakan AS tersebut sebagai manipulasi politik. Sebab sejak awal China tidak memberikan undangan resmi untuk menghadiri Olimpiade kepada pejabat AS.
Sentimen ‘perang dingin’ AS dan China juga merembet pada komentar-komentar warganet atas performa para atlet keturunan AS-China. Hal ini terjadi pada Eileen Gu, atlet freeski big air dan Zhu Yi, atlet ice skate. Eileen sempat berkompetisi di AS tetapi pada 2019 ia memutuskan untuk berkompetisi mewakili China. Meskipun berhasil mendapatkan emas dalam Olimpiade Beijing 2022, ia menerima komentar negatif dari warganet AS.
Perlakuan serupa juga dialami Zhu Yi. Zhu Yi yang melepaskan kewarganegaraan AS pada 2018 dan bergabung dengan tim China mendapat kritik dan komentar negatif pada media sosialnya karena tidak fasih berbahasa China serta terjatuh saat pertandingan.
Dampak lingkungan
Selain sentimen politik AS-China, China juga harus menghadapi kritik keras atas dampak lingkungan karena penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin. Sejak awal pemilihan Beijing sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin, para pakar lingkungan ragu terhadap kemampuan Beijing memastikan tersedianya salju.
Pasalnya salju yang turun di pegunungan wilayah Yanqing dan Zhangjiakou, dua lokasi pertandingan Olimpiade, mulai berkurang dari tahun ke tahun. Kedua daerah tersebut juga termasuk wilayah yang kering dengan curah hujan 381 milimeter per tahun. Masalahnya untuk mengisi area pertandingan dengan salju buatan diperlukan air dalam jumlah yang banyak.
Berkurangnya salju sebenarnya juga dialami negara-negara tuan rumah Olimpiade Musim Dingin sebelumnya. Maka solusinya adalah dengan menambah volume salju di area pertandingan dari salju buatan.
Bedanya pada tahun ini, Beijing menjadi kota pertama penyelenggara Olimpiade yang menggunakan seratus persen salju buatan. Para ahli khawatir produksi salju buatan membuat cadangan air berkurang.
Air yang dibutuhkan untuk membuat 1,2 juta kubik salju mencapai 49 juta galon atau 185,5 juta liter. Air sebanyak itu dapat digunakan untuk kebutuhan air minum hampir 100 juta orang.
Kekhawatiran itu dibantah Pemerintah China yang menjanjikan teknologi ramah lingkungan dalam memproduksi dan mengelola salju buatan. Banyaknya air untuk membuat salju dipastikan tidak akan mengganggu pasokan air masyarakat dan salju yang meleleh akan didaurulang. Mereka juga memastikan akan menggunakan energi baru terbarukan (EBT) dan akan menanam lebih banyak pohon sebagai pengganti pembukaan lahan.
Kritik internasional atas isu HAM, politik dan lingkungan pada China dalam Olimpiade Beijing 2022 kontras dengan visi yang dibawa China dalam ajang ini. Alih-alih meyakinkan dunia atas keberhasilan sistem pemerintahan dan kemajuan ekonomi serta teknologinya, China menghadapi keraguan dunia atas sejumlah isu yang tidak kunjung diselesaikan.
Kondisi serupa sebenarnya juga dialami China saat Olimpiade Beijing 2008. Seruan boikot, kritik atas polusi udara yang dapat membahayakan atlet hingga protes dari kelompok pro-Tibet mewarnai jalannya penyelenggaraan Olimpiade tersebut.
Baca juga: Boikot Olimpiade Musim Dingin di Beijing, AS Diingatkan Potensi Balasan China di Olimpiade 2028
Kendati demikian, Olimpiade saat itu dianggap cukup berhasil menunjukkan kemajuan China di hadapan dunia. Apalagi China juga lolos dari keterpurukan krisis ekonomi dunia pada tahun yang sama.
Kini dalam konteks waktu dan kondisi dunia yang berbeda, China perlu kembali meyakinkan dunia dengan upaya keras membuat Olimpiade Musim Dingin 2022 agar dapat menyamai keberhasilan Olimpiade Beijing 2008. Selain karena Olimpiade Musim Dingin tidak sepopuler Olimpiade Musim Panas, situasi pandemi dan kuatnya sentimen politik dunia yang sensitif akhir-akhir ini mempengaruhi penilaian dunia terhadap China. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Aksi-aksi Atlet di Olimpiade Musim Dingin 2022 Beijing