Teknologi Digital Perluas Cakupan Pengangkutan Sampah
Pengumpulan dan pengangkutan (waste collection) yang rendah di Indonesia dapat diatasi dengan keberadaan platform digital pengelolaan sampah.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampah menjadi persoalan yang sangat berat dihadapi Indonesia mengingat mayoritas timbunan sampah tidak terangkut ke tempat pembuangan sampah akhir. Namun, penggunaan aplikasi teknologi informasi diyakini dapat memperluas jangkauan masyarakat yang tidak tercakup oleh layanan pengangkutan sampah konvensional.
Keberadaan layanan digital pengangkutan sampah dan daur ulang dinilai akan mempermudah masyarakat yang tidak mendapat layanan pengangkutan sampah rumah tangga oleh pemerintah daerah setempat.
Pendiri dan General Manager Clean Up IndonesiaIqra Putra Sanur, Rabu (7/10/2020), mengatakan, selain persoalan klasik mengenai kesadaran masyarakat yang kurang terhadap timbulan sampah yang dihasilkan, sempitnya cakupan atau layanan pengangkutan sampah oleh dinas setempat menjadi faktor yang berkontribusi pada persoalan rendahnya jumlah sampah Indonesia yang terangkut.
Iqra mencontohkan, di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tempat perusahaannya beroperasi, hanya 2 dari 14 kecamatan yang wilayahnya secara keseluruhan terlayani oleh layanan pengangkutan sampah dari pemda setempat.
Iqra mengatakan, dengan platform perusahaannya yang mempertemukan mitra pengangkut sampah dengan pelanggan rumah tangga dan industri, persoalan ini dapat diatasi. ”Jadi, mitra-mitra kami dapat melayani masyarakat yang tempat tinggalnya tidak tersentuh,” kata Iqra dalam acara diskusi virtual pada Rabu (7/10/2020).
Dalam diskusi ini dihadirkan tiga perusahaan rintisan yang mendapatkan pendampingan dalam program Plastic Reborn 2.0 dari Coca-Cola Foundation dan yayasan filantropi Ancora Foundation sejak Juni 2019.
Salah seorang pendiri MallSampah, Adi Saifullah Putra, menyatakan pendapat yang senada. Menurut dia, platform digital dapat menjadi jalan untuk semakin memberdayakan masyarakat yang selama ini hidup dari ekonomi sirkuler sampah, seperti pengepul dan pemulung.
”Sebagai negara berkembang, infrastruktur persampahan dan anggaran untuk pengelolaan sampah memang menjadi tantangan yang besar bagi Indonesia. Saya melihat, untuk solusi ini mari kita memberdayakan 3 juta pengepul dan pemulung dengan teknologi,” kata Adi.
MallSampah, yang berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan, adalah platform digital di mana masyarakat dapat menjual sampah yang dapat didaur ulang kepada mitra pengepul MallSampah. Sampah tersebut dapat dijemput ataupun di-drop off ke titik pengumpulan MallSampah.
Selama 1,5 tahun terakhir, jumlah pelanggan MallSampah meningkat 1.400 persen, dari sekitar 1.000 menjadi 15.000.
Platform digital juga dapat dimanfaatkan sebagai pemetaan timbulan sampah di suatu wilayah. Chief Technology Officer dan salah satu pendiri Gringgo, Febri Pratama Putra, mengatakan, pemetaan menjadi hal yang krusial dalam perencanaan investasi pengelolaan sampah baik oleh pemerintah maupun sektor swasta.
”Di suatu wilayah permukiman kita tidak tahu seberapa besar proporsi masyarakat yang tercakup pelayanan pengangkutan sampah. Kalau kita mengetahui datanya, manajemen pengelolaan sampah menjadi lebih efisien dan wilayah cakupannya semakin luas,” kata Febri.
Pengelolaan sampah adalah kesempatan bisnis yang benar-benar berkesinambungan dan viable sekaligus berkontribusi menyelesaikan masalah sampah di Indonesia.
Gringgo adalah layanan pengangkutan sampah berbasis di Denpasar, Bali, yang memungkinkan pengguna juga memilah sampah yang dihasilkan.
Secara rata-rata, dalam setahun terakhir, ada peningkatan kapasitas pengangkutan yang dialami oleh ketiga perusahaan rintisan tersebut, yakni 463,5 persen.
Berdasarkan data National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia, dari 6,8 juta ton timbunan sampah plastik yang dihasilkan pada 2017, hanya 39 persen yang terangkut, baik secara formal maupun informal. Sisanya, 61 persen atau 4,1 juta ton, tidak terangkut. Dari angka tersebut sebagian besar dibakar (47 persen) ataupun masuk ke jaringan air dan akhirnya laut (9 persen).
NPAP menilai bahwa pengangkutan sampah menjadi salah satu persoalan yang mendesak. Dalam rencana aksinya untuk mengurangi sampah plastik yang bocor ke laut sebesar 70 persen, cakupan pengangkutan sampah yang saat ini hanya 39 persen harus dapat digandakan menjadi 80 persen pada 2025. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi, baik dari pemerintah maupun sektor swasta.
Direktur Eksekutif Ancora Foundation Ahmad Zakky Habibie menilai, pengelolaan sampah adalah kesempatan bisnis yang benar-benar berkesinambungan dan viable sekaligus berkontribusi menyelesaikan masalah sampah di Indonesia.
”Kami menunjukkan bahwa ini adalah bisnis yang sustainable. Permasalahan sampah itu besar sekali, jadi banyak kesempatannya untuk menjadi solusi,” kata Zakky.
Wakil Ketua Pelaksana Coca-Cola Foundation Indonesia Triyono Prijosoesilo mengatakan, pihaknya sadar bahwa produsen perlu terlibat erat dengan upaya penanggulangan sampah plastik, baik di Indonesia maupun secara global.
”Keterlibatan industri perlu dilakukan untuk menjaga bumi dan masyarakat sekaligus menjaga sustainability bisnis,” kata Triyono.