Percepatan Proyek Infrastruktur dalam Bayangan Kerawanan Korupsi
JAKARTA, KOMPAS - Moratorium sejumlah proyek percepatan pembangunan infrastruktur, paska kecelakaan kerja pada Tol Becakayu, semestinya tak berhenti pada perbaikan pada teknis pekerjaan. Beban percepatan dan mekanisme kerja pada Badan Usaha Milik Negara juga perlu dievaluasi untuk menghindari kecurangan dan potensi korupsi.
Percepatan pembangunan yang terus digenjot pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen, telah mendorong banyak Badan Usaha Milik Negara berinvestasi. Untuk memperbesar modal usaha, sejak 2015-2016, kemampuan kredit setiap BUMN pun diperbesar oleh pemerintah lewat suntikan dana Penyertaan Modal Negara yang jumlahnya tak sedikit, Rp 104,22 triliun.
Untuk PT Waskita Karya, contohnya, pemerintah menyuntikkan dana PMN hingga Rp 3,5 triliun seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2015. Suntikan dana itu bersumber dari APBN 2015. Dana itu diantaranya digunakan PT Waskita Karya sebagai equity untuk pengajuan kredit kepada bank guna mendanai pembangunan Tol Becakayu sebesar Rp 7,125 triliun.
Setidaknya 245 proyek infrastruktur yang masuk dalam proyek strategi nasional, termasuk Tol Becakayu, kini tengah berjalan. Begitu masifnya proyek infrastruktur, yang terus dipacu dengan program percepatan, sumber daya yang dibutuhkan juga semakin besar. Tak hanya pendanaan, proyek-proyek itu juga membutuhkan tambahan sumber daya manusia, peralatan, maupun jam kerja.
Di saat yang sama, proyek-proyek infrastruktur di dalam negeri juga belum sepenuhnya bersih dari praktik suap maupun korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan setidaknya setiap proyek infrastruktur itu anggarannya rawan dikorupsi hingga 30 persen.
Anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengatakan sektor konstruksi rawan praktik korupsi. Praktik korupsi bisa terjadi sejak dalam tahap perencanaan bahkan saat pelaksanaan.
Di tahap perencanaan, modus korupsi diduga sudah direncanakan sejak dalam tahap pembuatan desain. Pembuatan desain itu bisa dilakukan oleh perusahaan kontraktor ataupun pihak konsultan.
"Perusahaan-perusahaan itu sudah bisa menghitung berapa keuntungan yang bisa diperoleh. Caranya mereka membuat spesifikasi yang dikurangi dari pendanaannya," ujar Febri ditemui di kantornya, Senin (26/2).
https://youtu.be/Cvc3ZKHxOMM
Sedangkan di tahap pelaksanaan, modus korupsi diduga pada tahap pembelian material yang berada di bawah spesifikasi yang ditentukan. Selisih harga itulah yang diduga dikorupsi oleh oknum-oknum di sektor konstruksi.
"Misal proyek membuat jembatan. Seharusnya, tingkat kedalaman paku yang diharus dipakai sekian, tapi setelah dikerjakan malah harus lebih dalam lagi," ujar Febri.
Padahal, pengurangan spesifikasi material juga dapat berdampak pada kekuatan konstruksi. Sebagai contoh, pada Senin (20/2) dini hari, salah satu cetakan beton kepala kolom tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu ambrol dan menyebabkan tujuh pekerja terluka.
Insiden itu diduga terjadi akibat dikuranginya jumlah material batang baja penyangga (stress bar) dan kesalahan prosedur pengecoran. Usai kejadian, pemerintah sempat menghentikan proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya tersebut selama sepekan untuk evaluasi.
Sementara pengawasan di internal BUMN pada umumnya juga belum berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil pemetaan Ombudsman RI, pada 2017 lalu, 222 dari 541 komisaris di 144 BUMN, itu merangkap jabatan sebagai pejabat pemerintah. Akibatnya, peran komisaris di BUMN sebagai pengawas pun tak berjalan.
Pada umumnya, para komisaris itu telah menduduki jabatannya di BUMN dengan cukup lama. Mereka menjadi lebih paham terhadap celah-celah korupsi. Selama 2017, beberapa pejabat dari dua BUMN dijadikan tersangka oleh KPK karena terlibat suap, di antaranya direksi di PT Garuda Indonesia dan PT PAL Indonesia.
Sederet kecelakaan kerja pada proyek infrastruktur belakangan ini pun tampak tak lepas dari kombinasi sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam percepatan pembangunan. Hal itu termasuk kerawanan korupsi yang ada di BUMN.
Sejak Agustus 2017, setidaknya ada 14 kecelakaan kerja pada proyek infrastruktur, dan yang terakhir terjadi di proyek Tol Becakayu pada 20 Februari lalu. Dari serangkain kecelakaan kerja itu 8 pekerja tewas, 20 pekerja cedera ringan hingga berat, 1 mobil dan 1 motor pengendara di jalan raya rusak tertimpa material bangunan.
Kecelakaan kerja Tol Becakayu menjadi momentum bagi pemerintah menerbitkan moratorium atau penghentian sementara pada 38 proyek layang. Namun seperti ingin mengejar percepatan pembangunan, pemerintah mencabut moratorium untuk 34 proyek layang. Proyek-proyek itu dapat kembali dijalankan meski dengan catatan atau harus mengikuti rekomendasi, salah satunya Tol Becakayu.
Dari dokumen berita acara Komite Keselamatan Konstruksi (KKK) yang diperoleh PT Waskita Karya pada 28 Februari lalu, itu disebutkan bahwa PT Kresna Kusuma Dyandra Marga (KKDM) selaku pemilik dan pengelola Tol Becakayu dapat melanjutkan pembangunan Tol Becakayu dengan menjalankan rekomendasi dari KKK. Dengan adanya surat tersebut, PT Waskita Karya selaku pelaksana proyek pun dapat kembali melanjutkan pembangunan tol tersebut.
Rekomendasi KKK itu diantaranya dituangkan dalam dokumen Metode Improvement dari Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat. Isi rekomendasi itu diantaranya pelaksanaan pengecoran kepala tiang harus dilengkapi dengan perancah atau steger, dan pengecoran kepala tiang dilaksanakan secara bertahap yakni lapis demi lapis.
Penggunaan perancah itu untuk menopang dan membagi beban cetakan kepala tiang dan sejumlah material lainnya yang mencapai 322 ton, saat pengecoran kepala tiang berlangsung di pucuk tiang tol. Sebelumnya, pengecoran kepala tiang hanya menggunakan bracket sebagai penopang cetakan kepala tiang dan material lainnya. Saat kecelakaan kerja terjadi, bracket itu gagal sebagai penopang sehingga cetakan kepala tiang jatuh dan menyebabkan 7 pekerja cedera.
Gagalnya fungsi bracket itu diduga karena bracket tersebut dipasang dengan menggunakan 4 batang baja atau stress bar, dari semestinya 12 batang baja. Namun dugaan itu tak diungkap oleh KKK. Padahal bukti penggunaan 4 batang baja itu dapat ditemui di tiang tol yang alami kerusakan, dan desain eksisting pembangunan tol. Selain itu, PT KKDM juga mengungkapkan ada pengurangan penggunaan batang baja pada bracket.
Terkait insiden Tol Becakayu tersebut, Direktur Operasi II Waskita Karya Nyoman Wirya Adnyana mengungkapkan, Waskita telah melakukan langkah perbaikan pada sistem supporting (penyangga) atau shoring yang akan digunakan pada pekerjaan pier head (kepala kolom) jalan Tol Becakayu sesuai rekomendasi Komite Keselamatan Konstruksi (KKK).
“Setiap tahapan pekerjaan akan mengikuti SOP (prosedur operasi standar) untuk menjamin setiap pekerjaan dapat diselesaikan dengan aman, tepat mutu, dan waktu,” kata Nyoman Wirya, dalam siaran persnya.
Nyoman menambahkan, Waskita juga berusaha meningkatkan SOP yang ada dengan cara terus meningkatkan koordinasi, pengawasan, dan evaluasi sesuai rekomendasi KKK. "Kami suddar memperbaiki metode kedja sehingga safety factor meningkat," ucap Nyoman.
PT KKDM selaku pengelola Tol Becakayu juga akan menindaklanjuti secara positif perbaikan guna menjamin pelaksanaan pekerjaan tol Becakayu dapat diselesaikan tepat waktu, aman, dan lancer. Saham dimiliki PT Waskita Toll Road sebesar 98,97 persen dan PT Jasa Marga 1,03 persen.
Direktur Teknik PT KKDM Purma Yose Rizal mengakui, KKDM telah menempuh sejumlah langkah untuk menindaklanjuti itu, yakni mengikuti pertemuan tiga menteri serta berkoordinasi dengan kontraktor yakni PT Waskita Karya dan konsultan pengawas PT Virama Karya untuk melakukan perbaikan secara intens.
Selain itu, KKDM juga bekerja sama dengan KKK untuk memastikan proses pembangunan Tol Becakayu dilakukan sesuai kaidah, memastikan pengawasan berjalan baik, serta meminimalkan kelemahan yang ada dalam SOP dengan membuat kantor manajemen proyek di PT Waskita Toll Road.
Direktur Bina Konstruksi Kementerian PUPR yang juga Ketua KKK, Syarief Burhanuddin, hanya menyampaikan, bahwa sebagian besar kecelakaan pada proyek kontruksi terjadi karena pengawasan pekerja yang lemah. Menurutnya, di lapangan, rekomendasi dari konsultan pengawas tak pernah didengar oleh sub kontraktor.
“Konsultan pengawas itu tidak berperan dalam proyek karena tak didengar oleh sub kontraktor,” jelasnya.
Hal berbeda disampaikan pihak PT Waskita Karya yang mengungkap bahwa seluruh pekerjaan struktur pada Tol Becakayu itu ditangani sendiri, tanpa menggunakan sub kontraktor. Kepala Divisi III PT Waskita Karya, Dono Parwoto mengaku, pihaknya hanya menggunakan sub kontraktor sebatas pekerjaan kecil, seperti suplai listrik dan aspal jalan. “Material (bangunan) pun dari PT Waskita Karya, termasuk baja,” ucapnya.
Penanganan kecelakaan kerja pada akhirnya berhenti pada permasalahan teknis belaka. Tak memperhatikan kebutuhan sumber daya yang besar dalam percepatan pembangunan, termasuk kerawanan korupsi di tubuh BUMN.
Direktur Eksekutif Center for Sustainable Infrastructure Development (CSID) Universitas Indonesia, Mohammed Ali Berawi menyampaikan, percepatan penyelesaian proyek pembangunan infrastruktur atau crash program harus diiringi penambahan dana, sumber daya manusia, alat, material, serta jam kerja. Hal itu guna mencegah terjadinya kecelakaan dalam pekerjaan pembangunan infrastruktur.
Seluruh pemangku kepentingan seperti pemerintah, kontraktor, dan subkontraktor, harus bersinergi. Mereka berperan saling mendukung memenuhi kebutuhan sumber daya yang diperlukan dalam percepatan pembangunan.
“Kontraktor harus terlebih dahulu memetakan kemampuannya sebelum terlibat dalam crash program. Pemetaan yang dibutuhkan itu terkait ketersediaan jumlah sumber daya manusia dan dana,” jelasnya.
Para pemangku kepentingan itu juga harus saling mengawasi dalam menjaga keberlangsungan percepatan pembangunan infrastruktur. Jika pengawasan dan pencegahan terhadap model-model kecurangan dalam proyek infrastruktur tidak digalakkan, kepercayaan publik terhadap produk akhir infrastruktur pun akan luntur karena telah terjadi rentetan kecelakaan kerja konstruksi.
“Pengurangan volume ini bisa dicegah dengan fungsi dan sistem monitoring," tuturnya.
Akibatnya, sektor swasta pun terpinggirkan, dan pada umumnya mereka hanya dapat ikut bermain sebagai sub kontraktor. Sementara, dari sejumlah kasus korupsi, korupsi itu rawan terjadi pada sub kontraktor.
Ketua Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) Irwan Kartiwan pun mengaku, saat swasta menjadi sub kontraktor maka mereka pun akan diperas habis-habisan. Menurutnya, Mereka akan dikenakan dua kali pajak, yakni PPh dan PPn sebesar 13 persen. “Kalau subkon disubkon lagi maka sudah kepotong 13 persen, nambah lagi potongan pajak 13 persen,” jelasnya.
Dengan pola membagi pekerjaan kepada sub kontraktor itu pula, kata Pahala, ada indikasi BUMN itu sengaja menyerahkan pekerjaan kepada sub kontraktor untuk memperoleh margin keuntungan setidaknya 20 persen. Dengan keuntungan yang diperoleh, kalangan direksi pun akan memperoleh bonus karena telah berkontribusi memberikan keuntungan bagi perusahaan.
Namun karena bonus itu juga biasanya baru akhir tahun, lanjut Pahala, ada indikasi kalangan direksi itu pun berusaha mencari keuntungan tambahan yang dapat segera diperoleh. “Mereka kan bisa mengatur invoice pada saat itu juga,” ucapnya. (BKY/ADY/DD05)