JAKARTA, KOMPAS — Operasi tangkap tangan terhadap sejumlah kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi selama dua bulan terakhir memperlihatkan gejala perubahan pola korupsi pejabat publik menjelang pilkada.
Meski dana hibah dan bantuan sosial masih tetap harus diawasi ketat penggunaannya jelang kontestasi politik, penganggaran daerah serta nomenklatur yang berhubungan langsung dengan masyarakat menjadi salah satu hal yang patut diawasi lebih ketat.
Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah di Jakarta, Rabu (21/2), mengatakan, dari hasil OTT itu tampak gejala bahwa para kepala daerah mulai berhati-hati untuk mengutak-atik anggaran resmi seperti APBD. ”Hal itu dinilai gampang ditelusuri,” kata Endi.
Para pelaku tindak pidana korupsi saat ini, menurut Endi, mengincar hal-hal yang tidak terkait langsung dengan anggaran, seperti perizinan dan suap jabatan. Perizinan menjadi salah satu yang diincar karena hal ini bisa memberikan keuntungan langsung pada pribadi para tersangka pelaku, yang seharusnya masuk dalam kas negara dan digunakan untuk pengembangan daerah atau wilayah.
Hal demikian dikonfirmasi oleh temuan KPK. Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, sehari sebelumnya, seusai bertemu dengan para kepala daerah pada rapat koordinasi pelaksanaan Pilkada 2018, mengatakan, meski di provinsi sudah terdapat pola pengurusan izin dalam satu atap melalui pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), sering kali pihaknya menemukan banyak izin usaha pertambangan yang seharusnya sudah dialihkan birokrasinya ke lembaga tersebut masih dikeluarkan oleh birokrasi di level bawah, semisal kabupaten atau kota.
”Tidak semua pemerintah kabupaten atau kota menyerahkan lengkap administrasinya,” kata Pahala.
Temuan komisi dalam OTT terakhir, yaitu dana kapitasi puskesmas di Kabupaten Jombang, merupakan temuan baru yang dinilai Pahala sebagai sebuah hal yang baru. Apalagi karena dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko dan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyanti, yang disasar adalah nomenklatur dana kapitasi puskesmas, yang berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai sasaran program kesehatan.
Yenni Sucipto, Sekretaris Jenderal Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengatakan, pola tindakan koruptif saat ini mulai dilakukan ketika masa perencanaan dan pembahasan anggaran.
Hal ini dinilainya lebih maju dibandingkan dengan sebelumnya. Terkuncinya pemanfaatan dana bansos dan hibah, yang pada masa sebelumnya sering kali menjadi bancakan, membuat para pelaku membuat perencanaan jangka panjang untuk tindakan seperti ini.
Yenny mengatakan, hal itu bisa dilihat dari modus-modus perilaku koruptif yang terjadi di beberapa daerah, di antaranya Jambi dan Tegal.
Pola tradisional
Dugaan perilaku koruptif dengan pola tradisional jelang pilkada atau kontestasi politik, seperti menyalahgunakan dana hibah atau bansos, juga dinilai masih marak. Penelusuran Fitra selama tahun 2017, terjadi rata-rata kenaikan dana bansos sebesar 35,4 persen jelang pilkada di daerah-daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah.
Peneliti Fitra, Gulfino C, mengatakan, modus penggunaan dana hibah dan bansos di tahun politik sudah jamak diberikan agar petahana memperoleh dukungan kembali untuk memimpin wilayah tersebut untuk masa berikutnya.
”Biasanya kepala daerah memberikan lembaga-lembaga fiktif atau lembaga serta kelompok tertentu terafiliasi dengan petahana,” katanya.
Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, mengatakan, sebenarnya tidak sulit bagi pemimpin yang populer dan mampu memajukan daerahnya untuk mendapatkan dukungan kembali dari warganya.
Namun, minimnya visi, misi, dan bahkan kemampuan untuk membangun dari para birokrat membuat mereka memilih untuk mengembalikan biaya politik yang sudah mereka keluarkan dengan perilaku koruptif.
”Karena yang bersangkutan (petahana yang ditangkap) tidak memiliki prestasi yang tidak bisa dijual kembali, mereka hanya berpikir untuk mengembalikan modal mereka,” kata Ray.