Menuntaskan Rindu, Mengecap Hamparan Kehijauan
Restoran yang dikelilingi sawah bermunculan bak cendawan di musim hujan. Sembari menikmati pesanan, pengunjung mengecap kebahagiaan seperti di kampung halaman atau masa kecilnya. Pundi-pundi warga setempat pun bertambah.
Pengalaman bersantap di antara sawah-sawah hijau yang menyejukkan mata laris bak kacang goreng. Pengunjung mengecap hidangan sekaligus ketenteraman seolah di kampung halamannya.
Sawah hijau menghampar sejauh mata memandang. Panorama yang kian memukau dengan latar Gunung Salak, Gede, dan Pangrango dengan embusan angin sejuk semakin merilekskan tubuh. Ikan sepat, nila, dan mas berseliweran di sela-sela padi ditingkahi sayup-sayup suara tonggeret.
Di Agro Eduwisata Organik Mulyaharja itu, sekitar 10 pengunjung perempuan asyik berjoget, Selasa (31/5/2022). Di saung seluas 4 meter persegi, ”Ini Rindu”, ”Kopi Dangdut”, ”Terajana”, dan ”Mandi Madu” mengalun nyaring pada siang yang teduh.
Sepasang anak asyik bercengkerama sembari menggoyangkan kursi ayunan. Di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat, itu sejumlah bocah setempat juga asyik bermain bola. Beberapa petani yang membawa penggaru tampak berjalan di sela-sela sawah.
Ibu Iwan (48) dan Ibu Yana (46) memesan makanan ringan. Seusai makan dan minum, keduanya merebahkan diri di salah satu saung utama tempat mereka duduk bersama pengunjung lain.
Mereka berboncengan dengan sepeda motor dari satu asrama di Kota Bogor menuju Mulyaharja yang tengah dibicarakan banyak orang. Angin sepoi-sepoi membuat suasana di tengah sawah yang asri itu terasa adem. Makanan dan minuman terasa lebih nikmat.
Sawah bagi mereka berarti juga ingatan akan kampung halaman di Indramayu dan Pangandaran. Saat jauh, keduanya pun mencari jalan untuk menuntaskan kerinduan. ”Makanya, kalau kangen, (saya) ke sini. Serasa pulang (kampung),” terang Ibu Iwan.
Di kampung suaminya, mereka masih memiliki sawah. Saat panen, suaminya, Iwan, dan keluarga selalu mendapat jatah. Tak heran, ikatannya dengan sawah masih kuat.
Setelah semua makanan dan minuman habis, keduanya pun beranjak pulang. Kelak, jika rindu pada sawah datang lagi, mereka berjanji akan datang kembali.
Handarko Harsono (56) pun terbuai dengan Sawah Segar Sentul karena kenangannya. Semasa kecil, ia terbiasa berenang di sungai yang membelah persawahan. ”Sawahnya ijo royo-royo. Sekarang, ijo ruko-ruko,” ujar pengunjung restoran di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, itu sambil tertawa.
Sejenak, Handarko mengenyam lagi kegembiraan saat berjalan kaki di antara rimbunnya padi menuju Taman Wisata Mendit di Malang, Jawa Timur. ”Jauh, tapi jarak sampai 10 kilometer enggak terasa. Ya, back to nature (kembali ke alam). Itu yang hilang dari generasi sekarang,” katanya.
Handarko senang karena tak hanya bersantap di Sawah Segar Sentul. Di antara kolam dengan ikan-ikan yang berkelebatan, ia bisa bersantai. ”Mau menanam padi kalau sedang waktunya juga gratis. Anak-anak kotor dan basah enggak apa-apa. Saya sering membiarkan mereka hujan-hujanan dan main lumpur,” ucapnya.
Handarko hendak menjejakkan keceriaan serupa dalam benak anak-anaknya. Jarak rumah Handarko di Jakamulya, Bekasi, Jabar, ke Sawah Segar Sentul sekitar 45 kilometer. ”Waktu tempuh sekitar 1,5 jam, tapi makanannya enak dan harga sesuai. Pelayanan juga cepat,” ujarnya.
Herpin Arbono (45) tak kalah antusias saat mengarahkan mobilnya menuju Saung Dolet di Desa Sindangheula, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, Banten. Di saung yang dilingkupi persawahan itu, ia menyantap gurami bakar, sayur asam, karedok, lalap, dan sambal dengan sangat nikmat.
”Sungguh, saya terkenang waktu kecil di Joglo (Jakarta). Sawah, kebun, dan empang masih banyak. Kadang terdengar daun-daun bergesekan dan gemericik air,” ujarnya. Herpin menghirup udara bersih dengan keteduhan yang nyaman. Ia pun kian lahap menyantap makanannya saat memandang padi yang ditanam berundak-undak.
Laku keras
Tujuan-tujuan wisata tak pelak menganyam relasi dekat dengan warga setempat. Pangan terserap, lapangan kerja tersedia, hingga anak-anak yang menerima maslahat. Muhamad Aneng (62), misalnya, kian semangat bertani dengan menambah luas sawahnya. Padi organik yang dipanen warga Mulyaharja itu laku keras.
”Tadinya, luas sawah saya 5.000 meter persegi. Hasil panen sekitar 1 ton beras. Sekarang, luasnya jadi 7.000 meter persegi sehingga hasil panennya jadi 1,5 ton,” ucapnya. Beras seharga Rp 20.000 per kilogram (kg) itu bisa habis dalam 1,5 bulan saja. Sementara harga beras biasa rata-rata Rp 10.000 per kg.
Bahkan, banyak konsumen memesan beras jauh hari sebelum padi dipanen, setiap empat bulan. Di rumahnya, ia menunjukkan sertifikat dari Indonesia Organic Farming Certification. Aneng juga menanam ubi, selada, caisim, bayam, kacang tanah, dan talas yang tak kalah laris.
Persawahan Mulyaharja juga menjadi labuhan harapan bagi orang-orang seperti Rini Widyawati (36), warga setempat yang bekerja sebagai juru masak di Dapur Liwet Agro, Agro Eduwisata Organik Mulyaharja. ”Sudah di sini dari pertama buka. Kami yang masak semua. Setim, bertiga, semua warga sini,” tutur Rini.
Selain menggunakan beras organik hasil panen persawahan Mulyaharja, bahan-bahan masakan juga berasal dari warga sekitar. ”Untuk selada juga organik. Tempe dan ikan juga dari warga. Ada pabrik tempe di atas. Pisang kebanyakan dari warga. Pisang enggak disemprot. Asli di-hampos,” imbuh Rini.
”Alhamdulillah. Bukan lumayan lagi. Biasanya, kan, kami cuma tiduran di rumah. Sekarang ada penghasilan. Bisa buat anak sekolah,” kata ibu dua anak ini semringah.
Ongki Saputra juga merasakan hal yang sama. Setahun lalu Ongki menjadi karyawan kebersihan. Sebelumnya, Ongki dirumahkan dari perusahaan garmen. ”Kebetulan, dekat rumah. Jadi, Agro Eduwisata Organik memang memberdayakan warga lokal selama pandemi,” ujarnya.
Lahan persawahan yang dulu sumber penghasil beras semata kini menjadi mesin penggerak ekonomi berkat sentuhan ekonomi kreatif. Meski sempat tertatih pada masa pandemi, Mulyaharja kini terus menggeliat. Nyaris tak ada hari-hari sepi di Mulyaharja. ”Dari kemarin penuh,” ujar Ongki. Wajahnya menyiratkan optimisme.
Senapas dengan Agro Eduwisata Organik Mulyaharja, Sawah Segar Sentul juga menebarkan kemaslahatan bagi warga sekitar. Muda-mudi yang siap menjamu konsumen, hasil bumi yang diserap, hingga cipratan rezeki dari lahan parkir mengangkat harkat Bojong Koneng.
”Kalau akhir pekan, penghasilan dari parkir bisa sampai Rp 500.000 per hari. Mobil dan motor diatur enam orang,” ujar warga Bojong Koneng, Unus Rawi (36). Setiap juru parkir menerima upah Rp 50.000 per hari. Pendapatan itu sekitar Rp 100.000 per hari mulai Selasa hingga Jumat.
”Juru parkirnya dua orang dengan honornya masing-masing Rp 30.000 per hari. Tarif mobil Rp 10.000 dan motor Rp 5.000. Kalau Senin, Sawah Segar Sentul tutup,” ucap Unus. Sisa dari penghasilan masuk kas untuk pergelaran anak muda yang bermanfaat, seperti mauludan, olahraga, buka puasa bersama, dan agustusan.
Bukan gimik
Tren restoran tematik, terutama kembali ke alam, seperti di persawahan dinilai positif sepanjang bukan sekadar gimik. ”Hal itu bisa dihindari dengan memastikan petani dan pebisnis sama-sama saling menguntungkan,” kata sejarawan Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman.
Pada masa lalu, orang bercocok tanam sebatas untuk memenuhi kebutuhan. Setelah sekian lama, terutama di perkotaan, muncul kembali kerinduan akan citra agraris. Kerinduan itu lantas diobati dengan restoran yang mengusung tema persawahan.
”Citra dusun atau kampung halaman laku dijual,” ujar Fadly. Pertumbuhan industri kuliner tradisional sebetulnya sangat baik, terutama yang mampu mengangkat petani. Dengan begitu, kepastian petani bisa mendapatkan nilai tambah sangat penting untuk diwujudkan.