Tak Jemu Minum Jamu
Jamu identik dengan minuman obat herbal pahit dan orang tua. Namun, pendekatan kekinian perlu dilakukan untuk menjangkau konsumen muda.
Jamu yang memiliki khasiat untuk kesehatan kini mulai digemari anak muda. Dari awalnya mengikuti anjuran orangtua hingga kemudian menjadi kebiasaan rutin mengonsumsi jamu. Mereka pun mulai merasakan lezatnya ramuan tradisional, apalagi dengan racikan khusus yang kekinian.
Saat putri sulungnya, Syifa (17), memasuki usia remaja dan mengalami masalah-masalah terkait pubertas, Euis Siti Halimah (45) mulai membiasakannya minum jamu dan ramuan tradisional lain. Hal sama juga dahulu diajarkan orangtua kepada Euis.
Hingga Syifa lulus dari SMKN 2 Purwakarta, Jawa Barat, kebiasaan baik itu masih berlanjut dan bahkan sudah menjadi kebutuhan. Ramuan jamu macam kunyit asam, beras kencur, dan banyak lagi rutin dibeli dari tukang jamu langganan di pasar.
”Sudah disuruh rajin minum jamu sama ibu sejak masih di Mts (madrasah tsanawiyah). Untuk menghilangkan bau badan waktu mulai puber dan lanjut sampai sekarang. Selain beli, juga coba-coba bikin sendiri dari lihat di internet (media sosial). Kalau sekarang untuk keperluan diet,” ujar Syifa per telepon, Rabu (18/5/2022).
Namun, Syifa menyebut masih banyak temannya menganggap jamu identik dengan orang tua dan jadul atau ketinggalan zaman. Kebanyakan temannya lebih mudah tertarik jajan minuman-minuman kekinian, seperti es teh boba.
Khofifa (21), warga Surabaya alumnus SMK Unitomo Surabaya, awalnya juga tidak doyan minum jamu. Saat beranjak remaja, ibunya mulai membuatkan jamu beras kencur, kunyit asem yang membuat ia mulai doyan minum jamu. Prinsipnya asal tak pahit, ia masih mau.
Ketika mulai mensturasi dan sering kesakitan, ibunya menyarankan agar minum jamu kunyit asem. Jadilah sekarang ia rutin meminum jamu jenis itu saat menjelang haid dengan membeli jamu cair dalam kemasan botol. ”Ternyata benar berkhasiat. Saya minum sebotol jamu saja, rasa sakitnya sudah hilang,” kata Khofifa dengan nada senang.
Pengalaman Silva Simarmata (28), karyawan perusahaan swasta, agak berbeda. Perkenalan Silva yang keturunan ayah Batak dan ibu Jawa itu dengan jamu sebenarnya agak kurang enak, tetapi ia justru mendapat manfaatnya. Pada waktu kecil, Silva yang susah makan sering dicekoki (dipaksa minum) jamu paitan. ”Karena sering begitu, jadi terbiasa, he-he-he. Apalagi aku sering melihat ibu membuat jamu untuk dijual ke sekeliling rumah,” ujarnya.
Sejak itu ia malah ketagihan kalau tak minum jamu. Bila badan merasa kurang sehat, ia minum beras kencur atau jahe hangat. ”Badan nagih kalau enggak minum jamu dan itu membuatku merasa lebih sehat. Aku jadi enggak perlu minum obat,” kata Silva lagi.
Penikmat jamu
Saat masih duduk di sekolah dasar, Nouvna Nore Susimah (21) mengaku sudah kenal dan gemar minum jamu. Ketika itu mahasiswi semester delapan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini kerap mengajak teman-teman tetangganya jajan jamu di penjual jamu gendong.
Saat berkuliah, kebiasaan itu sebetulnya sudah semakin jarang jajan jamu. Sampai satu waktu dia penasaran melihat unggahan foto salah satu senior kuliahnya, yang tengah menikmati jamu kekinian di kafe Acaraki di Kota Tua. Dari kampusnya di Depok, mahasiswi yang kini tengah menempuh studi pertukaran mahasiswa di Malaysia ini berangkat ke Kota Tua.
”Sekarang aku sudah terbilang rutin ke Acaraki untuk minum jamu racikan kekinian di sana. Ada banyak macamnya dan semua menarik dan enak. Kita bisa lihat cara meraciknya langsung. Malah saya sampai kenal sama Acarakinya. Memang kalau mau terus digemari harus ada penyesuaian seperti itu,” ujarnya.
Selain datang sendiri, Nouvna juga mencoba mengajak sebanyak mungkin teman-teman dan keluarganya. Teman-temannya itu juga senang dan menikmati cara peracikan minuman jamu ala Acaraki, yang sangat mirip dengan barista meracik minuman kopi. Tambah lagi pengaturan interior kafenya yang juga membuat orang semakin betah nongkrong di sana.
Sementara itu, Inggri Tanri (35), pelanggan pembeli jamu produksi Roemah Ayu, mengaku sangat senang jamu yang dipesannya bisa menyesuaikan dengan keinginan. Selain itu, produk Roemah Ayu sendiri juga bisa dipesan sebagai hantaran bagi relasi-relasinya dengan kemasan menarik dan juga bisa disesuaikan budgetnya.
”Kalau beli di penjual jamu biasa kadang jamunya ada yang terlalu manis, sementara kita kan juga sudah lebih concern ke soal itu. Kalau yang kita pesan bisa disesuaikan keinginan atau keperluan kita kan jadi lebih okelah. Konsumen sekarang kan juga memang makin rewel, harus tahu bahan baku dan cara bikinnya,” ujar karyawati bank BUMN ini.
Pasar anak muda
Sebenarnya jamu merupakan salah satu bisnis yang menguntungkan, tetapi tak mudah mengenalkan jamu kepada anak muda yang sejak kecil jarang akrab dengan minuman tradisional itu.
Pemilik usaha jamu kemudian mencari cara guna mengajak mereka doyan minum jamu. Dua kafe di Surabaya, Jawa Timur, memiliki cara sendiri. Produsen jamu Iboe membuat kafe dan menyajikan minuman jamu tradisional dan jamu yang dibuat secara modern. Adapun Jong Steven Setio, pemilik usaha Jamu Delicious Powder (JDP), membuat jamu cair dalam kemasan plastik, jamu bubuk, dan jamu kekinian yang diberi campuran susu, susu fermentasi, sampai soda. Kemasannya dibuat modern dalam gelas plastik seperti minuman anak masa kini.
Pendekatan atau strategi mengemas dan menyajikan jamu secara lebih kekinian juga dilakukan Roemah Ayu, yang didirikan artis Intan Soekotjo bersama ibunya penyanyi keroncong senior, Sundari Soekotjo. ”Jadi bisa minta, misalnya, less sugar, sugar free, atau takaran asam di ramuan kunyit asamnya dikurangi. Bisa juga dipesan berdasarkan kemasan tertentu macam hampers untuk Lebaran kemarin. Jadi fleksibel,” ujar Intan.
Sementara pendiri kafe jamu kekinian Acaraki, Jony Yuwono, mencoba menanggapi kebutuhan anak muda yang doyan minum boba. Saat ditemui di salah satu kafe Acaraki di Kota Tua, Jakarta Barat, Kamis (19/5/2022), Jony berkisah banyak tentang perjalanan usahanya itu.
Salah satu yang membuatnya terinspirasi membuat Acaraki adalah kejadian di Taiwan, yang dikenal kental dengan tradisi minum teh. Ketika tren minum teh boba kemudian meluas di kalangan generasi muda, kondisi itu juga memicu pro dan kontra, terutama terkait eksistensi tradisi minum teh sendiri. Sebagian kalangan orang tua dan kaum tradisionalis menganggap teh boba bukan teh sesungguhnya lantaran mengandung banyak campuran bahan lain.
”Sementara mereka yang tidak mempersoalkan justru mengatakan, dengan kemunculan dan maraknya tren teh boba perekonomian justru kembali berputar. Petani perkebunan dan pabrik pengolahan teh kembali berproduksi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku teh,” kisah Jony.
Racikan khusus
Hal sama sekarang coba dia terapkan di usaha jamu olahannya, Acaraki. Dengan menggunakan pendekatan yang lebih populer dalam menyajikan dan memasarkan minuman jamu, Jony mencoba meraih pasar anak muda kekinian.
Beberapa cara yang ditempuhnya seperti menggunakan pendekatan pengolahan ala penyajian minuman kopi dan juga memadukan hasil olahan jamu dengan bahan baku lain. Dengan begitu, tak heran di beberapa menu jamunya kita bisa menemukan resep campuran kunyit asam atau beras kencur, yang dipadukan dengan susu, krim, air soda, atau bahkan es krim.
Selain itu, cara pengolahan pun juga dilakukan secara menarik. Dengan menggunakan sejumlah peralatan manual brewing ala meracik minuman kopi oleh barista, semua proses serta bahan baku dipaparkan di depan pelanggan alias seperti konsep open table. Petugas peracik jamu ala barista tadi disebut Acaraki. Dengan begitu, pelanggan bisa tahu apa yang mereka minum karena jamu diseduh langsung di depan mereka.
Istilah Acaraki sendiri tercantum dalam prasasti Madhawapura peninggalan Kerajaan Majapahit, yang berarti peracik atau penjual jamu. Acaraki adalah salah satu dari tiga profesi penting di masa itu termasuk dua lainnya, Abhasana alias pembuat busana dan Angawari pembuat kuali.
Harapannya, tambah Jony, ketika semakin banyak anak muda menggemari olahan jamu kekinian macam racikan di Acaraki, maka kebiasaan meminum jamu juga ikut terbentuk. Ketika hal itu terjadi seluruh sektor pendukung yang ada, semisal petani rempah-rempah dan pabrik pengolah bahan baku jamu, juga ikut terdongkrak.
”Seperti teh boba, memang yang menggemari awalnya anak muda. Namun, seiring bertambahnya usia (perilaku), mereka berangsur lebih peduli kesehatan. Jadi tidak berani lagi minum teh boba yang kadar gulanya tinggi. Akhirnya kembali minum teh tradisional. Dengan begitu, teh boba bisa menjembatani kelanjutan tradisi minum tehnya,” kata Jony.
Pendekatan atau strategi mengemas dan menyajikan teh secara lebih kekinian juga dilakukan Roemah Ayu, yang didirikan artis Intan Soekotjo bersama ibunya penyanyi keroncong senior, Sundari Soekotjo. Selain dengan kemasan menarik, jamu produksi Roemah Ayu, menurut Intan, juga bisa dipesan sesuai keinginan pelanggan.
”Jadi bisa minta, misalnya, less sugar, sugar free, atau takaran asam di ramuan kunyit asamnya dikurangi. Seperti permintaan salah satu pelanggan, yang kebetulan sedang mengalami gangguan lambung. Bisa juga dipesan berdasarkan kemasan tertentu macam hampers untuk Lebaran kemarin. Jadi fleksibel,” ujar Intan.
Di Surabaya, Kafe Herba Jamu Iboe sejak 2005 menyediakan tempat nyaman untuk ngobrol sambil menikmati aneka jamu. Cara itu menarik penggemar mulai dari siswa SMP. Kebetulan di seberang kafe yang terletak di Jalan Raya Gubeng ada sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.
Ternyata beberapa siswa sering masuk kafe untuk minum jamu sambil mengerjakan tugas. ”Ada yang minum jamu serbuk seperti zaman dulu yang dicampur air, madu, dan jeruk nipis. Mereka biasanya memilih jamu pegal linu,” jelas Faisal, staf di kafe tersebut.
Selain jamu sebuk, kafe juga menyediakan jamu dalam bentuk wedang, dan jamu yang dicampur stroberi, sawi, jeruk untuk menyamarkan rasa jamu sekaligus menambah manfaatnya. Harga jamunya mulai dari Rp 9.000 sampai sekitar Rp 20.000. Jamu Iboe adalah produk buatan Surabaya.
Belajar otodidak
Pada kesempatan terpisah, Jong Steven yang meracik jamunya berdasarkan buku jamu dari neneknya dan belajar otodidak dari berbagai sumber baik buku tentang jamu dan pembuat jamu keliling, setahun lalu membuka kafe JDP di Jalan Pucang Adi, Surabaya. ”Memang belum banyak yang datang ke sana, tetapi yang pesan daring juga banyak,” jelas Steven yang pernah kuliah di jurusan teknik industri di sebuah universitas, Jumat (20/5/2022).
Ia mulai membuat jamu tahun 2019. Selain membuat jamu dengan campuran yakult, susu, dan soda, ia juga membuat jamu datang bulan happy, kunyit asam, turbo mpon-mpon hingga bakar kalori dalam wujud minuman dalam botol. Seri yang tak ada rasa manis ini banyak disukai masyarakat bermacam usia. Jamu kekinian dijual dari Rp 15.000 sampai Rp 20.000, jamu botol berisi 250 mililiter harganya Rp 15.000.
Baca juga: Melepas Jerat Hubungan Toksik
Perempuan seperti Khofifa rutin minum kunyit asam produk DJP yang menurut dia bisa meminimalisasi sakit pada perut dan pinggang saat menstruasi. ”Saya sendiri minum jamu bakar kalori racikan saya sendiri selama dua bulan. Hasilnya berat badan saya turun 30 kg, dari 110 kg menjadi 80 kg,” ujar Steven setengah berpromosi.
Upaya mengajak anak muda mau minum jamu terus ia lakukan dengan membuat inovasi baru agar menghasilkan minuman jamu dalam kemasan modern yang bebas ampas dari aneka bahan jamu sehingga tak memberatkan kerja ginjal. Sama seperti Jony, ia ingin petani bahan baku jamu bakal ikut sejahtera jika jamu berjaya.