Julie Sutardjana yang lebih dikenal dengan Nyonya Rumah mengukir kiprahnya selama lebih dari 50 tahun. Tak jauh berbeda, Boncafe berdiri pada tahun 1977. Sementara, Bu Eha menjalankan usaha yang dimulai pada tahun 1947.
Kelanggengan khazanah kelezatan masakan diracik lewat dapur, warung bersahaja, hingga restoran di Tanah Air dengan daya sintas hampir separuh abad, bahkan lebih. Para pemilik usaha itu lincah meniti zaman dengan orisinalitas, kekariban dengan konsumennya, hingga adaptasi demi menggaet generasi muda.
Kedai Nyonya Rumah di Jalan Naripan, Bandung, Jawa Barat, meriah dengan gelak tawa 50 pensiunan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka tengah menggelar halalbihalal yang diramaikan dengan nyanyi-nyanyi, Rabu (18/5/2022). Pengunjung manula terlihat mendendangkan “Ibu” yang dipopulerkan Iwan Fals.
Tak bisa dikatakan merdu lantaran suara yang sudah gemetaran namun tak urung beberapa rekannya tersenyum-senyum juga. Menu khas Nusantara warisan leluhur tersaji seperti nasi ulam, tutug oncom, bahkan rijsttafel atau gaya penyajian aneka hidangan untuk disantap beramai-ramai.
Perbedaan suasana nyaris 180 derajat lantas tampak di Masa by Kedai Nyonya Rumah, Jalan Trunojoyo, Bandung. Pengunjung didominasi anak muda yang asyik menyimak pertunjukan Miracle Music, band beranggotakan empat musisi belia. Sejumlah tamu bertepuk tangan.
Rilisan solois Tulus yang tergolong paling digandrungi generasi milenial bertajuk “Hati-hati di Jalan”, terdengar melangutkan kalbu. Masa merupakan pengembangan bisnis dari Kedai Nyonya Rumah. Malam itu, konsumen ramai bersenda gurau dengan sahabat, kekasih atau saudaranya.
Meski demikian, bukan berarti Kedai Nyonya Rumah sepi dari anak muda. Sejak pagi hingga menjelang sore, pekerja ramai menikmati pesanannya. Giliran pukul 19.00, pelajar dan mahasiswa berduyun-duyun mengisi deretan kursi. Mereka pun menikmati pertunjukan musik hingga restoran itu tutup, pukul 22.00.
Bar mini di sisi Kedai Nyonya Rumah juga dipadati aneka minuman. Bartender yang asyik meracik koktail dengan shaker atau gelas logam antikarat naik turun menarik beberapa pengunjung untuk menontonnya. Beberapa pengunjung belia tetap antusias menyantap menu klasik seperti garang asam, rawon, dan sei sapi.
Kontrasnya segmentasi, menu, hingga interior bukanlah dualisme melainkan menggamblangkan keluwesan Kedai Nyonya Rumah menembus pergantian zaman. Restoran itu berawal dari kiprah Julie Sutardjana, praktisi kuliner yang menggeluti kebogaan lebih dari 50 tahun.
Julie yang akrab disapa Oma setia mengisi kolom “Dapur Kita” dengan pseudonim Nyonya Rumah di harian Kompas, sejak tahun 1971. Ia jeli pula memberdayakan dapur untuk mengisi ceruk pasar yang menggeliat saat kelas menengah bermunculan seiring mulai lajunya pembangunan usai senja kala Orde Lama.
Kedai Nyonya Rumah lantas didirikan pada tahun 1999. Masa menyusul dibuka pada tahun 2004. Julie berpulang saat usianya mencapai 99 tahun. “Meski sudah meninggal, tahun 2021, kreasi-kreasi Oma tetap abadi. Istilahnya, kalau pelukis punya galeri,” ujar Lily Sutardjana (69) seraya tersenyum.
Anak sulung Julie itu mengutarakan kerisauan dengan begitu cepatnya perputaran rumah makan di Bandung. Restoran megah bukan jaminan karena tak sedikit yang tergilas. “Makanya, kami bikin Masa. Menu kesukaan konsumen lama tersedia tapi sebagian makanan dibuat kekinian yang adaptif dengan anak muda,” ucapnya.
Generasi penerus digaet agar kelak tetap menikmati racikan Nyonya Rumah. Nyatanya, mereka tetap menggemari masakan-masakan andalan Julie. “Nasi garang asam iga, nasi rawon sapi, dan lontong komplit juga sering dipesan di Masa. Kuncinya, orisinalitas,” kata Lily.
Julie yang berasal dari Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, bersikeras mempertahankan cita rasa kelokalan tersebut meski kemanisannya kerap dianggap tak jamak. “Masyarakat Sunda tak suka semanis itu tapi keyakinan Oma tepat karena tetap banyak yang order,” kata Lily.
Tak sekadar digandrungi di Bandung, buah pikiran Julie juga lestari lantaran berdiaspora. Sebelum tahun 1960, ia sudah mencetak stensilan aneka resep. “Masyarakat mapan membawanya melanglang buana. Termasuk, ada restoran di Amsterdam dan Den Haag (Belanda) yang pakai buku-buku memasaknya Oma,” ucap Lily.
Mengharapkan rahmat
Di tengah Pasar Cihapit, Bandung, merawat keberlanjutan cita rasa juga dikonkretkan Djulaeha (92). Tangan renta nenek itu menghunjamkan batu berkali-kali di atas daging. “Biar empuk buat gepuk, lauk favorit pembeli selain perkedel, ikan bakar, dan rendang,” ucap Bu Eha, panggilannya sehari-hari.
Ia mengamati kasir, pengantar makanan, juru masak, dan konsumen dengan matanya yang masih awas. Di Warung Nasi Bu Eha itu, sebagian besar kursi terisi. “Tolong, diantar kobokannya,” ujar warga Cibeunying Kidul, Bandung, itu sambil memotong-motong sawi.
Warung itu dibuka Nok, ibu Eha pada di lokasi yang sama, tahun 1947. Ingatan Eha pun masih tajam dengan kefasihan menyebutkan nama-nama langganannya. “Bagir Manan, Adi Sasono, dan Ridwan Kamil pernah makan di sini,” ujarnya menyampaikan beberapa contoh.
Eha menjaga daya sintas usahanya dengan rasa hidangan yang tak pernah berubah. Ia juga berpikir sederhana dengan mengharapkan rahmat semata-mata. “Enggak ngejar dunia. Harta enggak dibawa mati. Malah, dulu mahasiswa banyak yang ngutang tapi biarlah sudah enggak diingat-ingat lagi,” ujarnya.
Tak hanya masakan lezat, relasi intim pemilik usaha dengan pembeli ternyata merupakan resep ampuh. Setidaknya, itu yang membuat Boncafe menjadi salah satu legenda di Surabaya, Jawa Timur.
Usaha yang dirintis Evelina Natadihardja (88) bersama almarhum suaminya, Sugita, sejak 45 tahun lalu itu berkembang menjadi enam restoran di Surabaya dan satu restoran di Samarinda, Kalimantan Timur.
CEO Boncafe Steak & Ice Cream Andrew Prasetya, cucu pendiri restoran itu, menyebut, kekeluargaan menjadi semangat yang terus dipertahankan. “Kami lihat contoh yang dilakukan Opa. Oma lebih banyak mengurus cita rasa dan membuat menu,” tutur Andrew.
Boncafe, dari bahasa Perancis yang artinya kafe yang baik, menjadi awal usaha Evelina–Sugita. Keluarga itu pulang dari Singapura karena bangkrut. Toko roti dan kue yang sudah punya banyak pelanggan, mereka lepas.
Berbekal uang hasil penjualan toko, tahun 1977, Evelina-Sugita mengontrak rumah di Jalan Raya Gubeng yang menjadi Boncafe pertama. Awalnya, restoran tak menyediakan steik. Untuk menarik lebih banyak pelanggan, Sugita mengusulkan menjual steik di nampan panas seperti di Singapura. Evelina meracik bumbu dan sausnya. Pilihan itu dianggap cocok sebab restoran steik belum ada di Surabaya.
Bumbu dan saus steik ciptaan Eveline memang unik. Berkat pengetahuan mengenal aneka rempah, ia meramu bumbu dengan rasa lezat. Sekarang, Evelina masih ikut memantau bumbu dan rasa masakan. Usaha mereka terus berkembang. Pembukaan resto di mal merupakan langkah berani generasi baru pengelola Boncafe.
Awalnya ada keraguan sebab Boncafe selalu berada di rumah sesuai konsep restoran keluarga, tapi dengan pertimbangan banyak orang belanja sekaligus makan, Andrew membuka Boncafe di mal.
Keramahan
Masih segar dalam ingatan Andrew, sang kakek sering memutari Boncafe Manyar Kertoarjo dengan kursi roda untuk menyapa tamu. Ia selalu membawa tas berisi mainan untuk anak-anak. Sejak remaja, Andrew sering melihat opanya rajin menyapa pelanggan. Semua peristiwa itu melekat dalam benaknya. “Itulah DNA kami, mengelola restoran secara kekeluargaan dan keramahan,” katanya.
Demi mendapatkan layanan menyeluruh, sudah pasti Andrew memperlakukan karyawan dengan baik. “Kalau karyawan tak happy (gembira) memasak, mana mungkin melayani tamu dengan baik,” tambahnya.
Apa yang dilakukan generasi penerus Boncafe sesuai pengamatan dan pengetahuan Hardian Eko Nurseto, dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Resto seperti Boncafe, Toko Oen, atau Bu Eha bertahan karena selain menyesuaikan dengan rasa lokal, juga mampu mempertahankan rasa dan layanan.
“Orang itu sudah tahu masakannya. Waktu kecil pernah makan, ketika sudah sukses datang mengajak anak-anaknya,” kata Nurseto. Restoran yang melegenda biasanya bisa menjaga rasa asli. Ia mengambil contoh kue lidah kucing Toko Oen yang rasanya tak berubah karena sang pemilik punya resepnya. Itulah yang menjadi rujukan.
Bisnis yang kuat ikut memengaruhi ketahanan usaha. “Makanan enak, kalau tak bisa membangun bisnis dengan baik, rugi juga. Mereka yang bisa bertahan punya bisnis kuat, manajemen baik, menjaga kualitas makanan,” ujarnya.
Setelah terkenal, orang datang lagi karena pengalaman masa lalu. Produk kuliner atau restoran legenda sering tak hanya menjadi tempat nyaman atau oleh-oleh yang enak, melainkan menjadi identitas daerahnya.
“Dari pengalaman dan kenangan masa lalu, muncul kata misalnya, tidak ke Surabaya jika tidak makan steak Boncafe atau tak ke Bandung rasanya bila tak mampir ke Bu Eha,” ujarnya.