Sambal, Penebus Rindu yang Hilang di Hari Lebaran
Sambal di Jawa Barat menyatukan rasa beragam kuliner. Tidak hanya itu, sambal juga menyatukan kerinduan manusia terhadap satu sama lain, termasuk saat Lebaran.
Ragam sambal di Jawa Barat menyatukan rasa beragam kuliner idaman. Namun, lebih dari itu, cita rasa pedas-gurihnya ikut menyatukan kerinduan antarmanusia saat Lebaran di tengah pandemi Covid-19 yang sedang melandai.
Perjalanan membosankan selama berjam-jam di atas bus dari Jakarta ke Tasikmalaya akhirnya tuntas dijalani Maman Atief (40) dan keluarganya, Sabtu (30/4/2022). Ada rasa bahagia tiba di kampung halaman di bulan Ramadhan.
Meski hanya berjarak sekitar 300 kilometer dari Jakarta, tempatnya merantau, pulang kampung tahun ini berbeda. Sensasinya muncul akibat terlalu lama tak bersua akibat pandemi Covid-19.
Selain bertemu orangtua, kali ini, kata Atief, ada muka baru sanak saudara yang baru lahir ke dunia. Namun, ada juga yang pergi akibat terpapar pandemi.
Akan tetapi, kepulanganya bukan hanya menuntaskan rindu kepada keluarga. Ada kangen pada ragam kuliner lokal.
Meski Tasikmalaya juga tenar dengan tutug oncom hingga nasi cikur, ia tidak sabar menyantap sambal goang, terutama buatan ibu. Entah kenapa, rasanya selalu berbeda.
”Mungkin karena sejak kecil sambal ini jarang absen dari menu sehari-hari. Ibu sering menyajikannya sebagai teman nasi di meja makan. Mungkin juga cara menguleknya berbeda, saya tidak tahu pasti,” kata warga Tamansari, Kota Tasikmalaya, wirausahawan jual beli kue di Jakarta itu.
Baca juga: Susilaningsih, Menggoyang Lidah Dunia dengan Sambal Surabaya
Dilihat dari bahan pembuatnya, goang memang bisa jadi tidak istimewa. Selain cengek (cabai rawit), hanya bawang putih dan garam yang menjadi bahan utamanya.
Sebagian orang memasukkan kemiri yang sudah dibakar, gula hingga penyedap rasa. Sebagai pamungkas, biasanya bahan yang sudah digerus itu disiram dengan minyak goreng panas.
”Saya punya teman yang juga ahli membuat nikmat sambal. Biasanya, dia menyiramkan minyak bekas menggoreng ikan asin agar lebih gurih meski tanpa penyedap rasa. Kalau sudah begini, jadi ingat rasanya, kangen bertemu, masak dan makan bersama lagi,” tuturnya.
Tidak puas hanya dengan sambal racikan ibu dan kawannya, Atief juga sudah mempunyai rencana menyambangi tempat makanan favorit, Warung Nasi MM di Jalan Yudanegara, Kota Tasikmalaya. Di sana sambal goang menjadi ”panglima” menuntun sajian ayam goreng, telur goreng, hingga oseng labu serta kangkung masuk mulut penikmat rasa.
”Rasa gurih dan pedasnya pas untuk saya. Dengan harga rata-rata kurang dari Rp 30.000 per porsi, sambal goangnya menyatukan semua rasa,” kata Atief.
Sambal ”honje”
Goang jelas hanya secuil sambal dari Jabar. Hampir sebagian besar disajikan dadakan, langsung dibuat dengan bahan segar sebelum disantap.
Selain nama tenar seperti sambal berbahan utama terasi atau sambal hejo yang mengandalkan tomat muda, Jabar mempunyai banyak kuliner andalan lainnya.
Beberapa di antaranya berbahan khas. Mulai oncom, muncang (kemiri), cikur, gandaria, dan honje (kecombrang). Khusus honje, Ciamis punya sajian istimewa.
Honje adalah tumbuhan semak dengan rasa asam, tetapi menyegarkan. Sebagai rempah memasak di banyak daerah di Indonesua, biasanya yang dimanfaatkan adalah buah, batang, hingga bunganya.
Di Sulawesi Selatan, buah kecombrang menjadi bumbu kuliner kapurung. Bunga kecombrang digunakan untuk menambah cita rasa nasi megono di Pekalongan.
Sementara di Bali, batang kecombrang jadi bahan membuat sambal bongkot. Di Ciamis, sambal honje biasanya menggunakan buahmuda.
”Kalau ke Ciamis, jangan lupa menikmati sambel honje. Rasanya berbeda dan luar biasa. Salah satu yang terkenal ada di Warung Makan Hj Imi,” kata seniman dan budayawan Ciamis, Godi Suwarna.
Rasa penasaran itu membawa kaki menuju warung makan yang ada di kawasan Cigembor atau sekitar 3 kilometer dari Stadion Galuh. Sajian utama warung ini sebenarnya aneka gurami. Namun, sulit disangkal bila sambel honje menjadi primadonanya.
Penyajiannya unik, bukan diulek bersama cabai, melainkan disajikan dalam bentuk kuah sebagai pelengkap gurami bakar atau goreng. Asam-segarnya jelas meningkatkan selera makan.
Konon sambal honje ini merupakan ciri khas warung Hj Imi yang tak dimiliki tempat lain dan sudah ada sejak pertama kali warung dibuka di tahun 1980-an. Bahannya sederhana. Terdiri dari bawang merah, kencur, jahe, dan honje gerus yang sudah dibakar dalam abu panas.
Di tanah Priangan, abu panas dikenal dengan istilah lebu panas. Pembakaran di dalam lebu panas menghasilkan aroma yang lebih kuat sehingga makin sedap.
Makan pun dijamin tambah nikmat. Bila sedang di Ciamis, silakan datang dan rasakan sendiri sembari merayakan Lebaran dengan makan di luar rumah.
Baca juga: Kisah dari Jabar Sarat Pesan yang Terus Menghidupi
Rasa sejarah
Sambal-sambal dari Jabar juga tidak hanya nikmat. Kisah di baliknya terlalu sayang dilupakan begitu saja. Penikmat kuliner bersejarah patut mencobanya.
Simak sambal cibiuk dari Garut yang erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam oleh Syekh Jafar Sidiq di abad ke-18. Konon, beliau dikenal sebagai ulama yang kerap mendorong masyarakat untuk selalu hidup mandiri dan terus berkreasi.
Tidak kalah menarik adalah cerita di balik tahu gejrot yang dikenal luas lewat sambal kecap. Sambal yang disajikan secara cair itu ketika dituangkan dari botol biasanya mengeluarkan bunyi jrot...jrot...jrot....
Dikutip dari laman Universitas Gunung Jati Cirebon, sejarawan dan budayawan Cirebon Nurdin M. Noer mengatakan, tahu gejrot tercipta dari dapur pabrik tahu di Desa Jatiseeng, Kecamatan Ciledug, Cirebon. Dari sana keterampilan membuat tahu oleh keturunan Tionghoa itu diserap oleh penduduk Cirebon lainnya.
Pengamat sejarah dan budaya Cirebon, Mustaqim Asteja, mengatakan, orang Tionghoa mengenalkan tahu pada akhir abad ke-19 di Cirebon seiring berdirinya pabrik gula di sejumlah daerah, termasuk Karangsuwung dan Sindanglaut. Lokasinya dekat dengan Ciledug.
Menjadi pusat keramaian baru, pabrik tahu berdiri di daerah tersebut. Warga setempat menjadi pekerjanya.
Hingga akhirnya persinggungan ragam budaya di pabrik tahu itu memicu munculnya kuliner baru. Saat tahu dicampur kecap manis, bawang merah, dan cabai rawit, lahirlah tahu gejrot. Biasanya tahu gejrot dihidangkan di atas piring kecil berbahan gerabah berwarna coklat khas Ciledug.
”Kata orang, (piring gerabah) itu yang membuat rasa tahu gejrot tambah enak,” kata Nurdin.
Di awal kemunculannya, warga menjualnya berkeliling menghampiri pekerja di pabrik gula, stasiun, pasar, hingga pelabuhan. Cara itu masih dilakukan sebagian pedagang.
Kini, kuliner berbahan baku sederhana ini bertambah besar. Tidak hanya kaki lima, tahu gejrot menjadi duta kuliner Cirebon di restoran ternama.
Akan tetapi, seenak apa pun tahu gejrot di luar Cirebon, sensasi makan di daerah asalnya tidak boleh dilewatkan. Bila datang ke ”Kota Udang”, silakan datang ke Tahu Gejrot Kanoman di Jalan Kanoman. Banyak pencinta kuliner menyebutnya sebagai yang terbaik.
Ujungnya, sulit menentukan sambal apa di Jabar yang paling nikmat. Seperti ragam bahan, pembuatan, dan penyajian, rasa pun tidak bisa disamaratakan.
Semuanya punya penggemarnya masing-masing. Namun, benang merahnya jelas. Bahan dan sajian sederhana menjadi kekuatan terbesarnya menembus rindu yang lama hilang, termasuk saat Lebaran tiba.
Baca juga: Hei...Mari Cicipi Nikmatnya Tahu Rasa Keberagaman Ini