Susilaningsih, Menggoyang Lidah Dunia dengan Sambal Surabaya
Susilaningsih (67), pemilik usaha sambal Surabaya Dede Satoe (DD1) yang mengembangkan sambal Surabaya sejak 2011, kini sudah memproduksi 15 varian sambal dan bumbu masakan tradisional dan sudah menembus Benua Amerika.
”Walau cuma sambal, saya ingin produk ini bisa mengguncang dunia, tidak hanya tersohor di Nusantara alias jago kandang,” begitu Susilaningsih (67) memberi alasan kengototannya terus memproduksi sambal dan kini sudah menggoyang lidah konsumen di Amerika dan Australia.
Pendiri sambal Surabaya dengan merek Dede Satoe (DD1) sejak 2011 ini terus belajar dan berjibaku agar sambal sebagai penambah nafsu makan itu bisa ada di pasaran luar negeri.
Ide untuk bisa menyejajarkan sambal dengan produk lain di toko atau swalayan di luar negeri muncul setelah ia beberapa kali melancong ke luar negeri, tetapi selalu gagal menemukan sambal sebagai teman saat bersantap.
”Makan tanpa sambal rasanya hambar. Memang ada sambal di luar negeri yang dibuat berupa pasta, tapi rasanya malah jadi enggak karuan dan bikin selera hilang,” kata Susilaningsih, yang biasa dipanggil Susi, ketika ditemui di rumahnya, yang sekaligus jadi pusat produksi 15 varian sambal dan 5 bumbu nusantara, di Surabaya, Jumat (11/3/2022).
Menerobos pasar ekspor produk sambal yang masuk kategori pangan bukan proses mudah. Jalan yang dilalui untuk mengurus berbagai izin dan sertifikat terkait pangan cukup berliku.
Sudah mengantongi izin dan mendapat sertifikat dari lembaga negara tujuan ekspor saja belum bisa jadi jaminan barang siap edar di negeri itu. Pernah satu kali ribuan botol sambal Dede Satoe ditolak saat melalui pemeriksaan di bandara di Korea Selatan, padahal sambal itu sudah lolos uji klinis makanan di negara itu. Alasannya, dalam ribuan botol sambal itu ada unsur ikannya.
Gagal menerobos pasar Korea Selatan, ibu tiga anak ini tidak putus asa. Dia malah kian gencar mencari informasi syarat produk sambal bisa lolos ke luar negeri.
Kegigihannya membuat produk sambal yang dirintis sejak 2011, ketika ia pensiun sebagai PNS, kini berhasil menembus aturan yang begitu ketat, antara lain, di New York, Virginia, dan Los Angeles serta Vancouver, Kanada.
Bahkan, ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak Maret 2020, permintaan sambal ke beberapa negara di Amerika justru meningkat, terutama untuk sambal ekstra pedas. Padahal, pada saat yang sama, pasar sambal di dalam negeri justru terjun bebas dan produksinya tinggal 30 persen.
Meski permintaan dari toko dan pasar swalayan selama pandemi terus merosot, bahkan ada yang berhenti, Susi bersama 20 ibu rumah tangga serta delapan anggota staf di bagian administrasi terus memproduksi sambal.
Ketelatenan itu pun membuat Susi mampu meningkatkan produksi tanpa harus merumahkan para ibu rumah tangga tersebut. Hampir sepanjang hari ada saja order dari toko atau pasar swalayan, bahkan dari pembeli di luar negeri, sehingga begitu memasuki 2021, produksi mulai merangkak naik.
Baca juga : Pedasnya Sambal Surabaya Menggoyang Lidah Konsumen Milenial Amerika
Sepanjang Januari hingga Desember 2021, perempuan yang memulai usaha rumahan dari membuat stik keju itu bisa mengekspor 7.160 botol sambal ke sejumlah negara di Amerika dan Australia.
Perempuan yang gemar memasak ini terus membuat berbagai varian baru sambal. Ada 15 varian sambal dan bumbu masak yang sudah diproduksi DD1. Varian sambal itu, antara lain, sambal ikan roa, ikan teri, ikan peda, ikan jambal roti, sambal sereh, ikan kelotok, sambal rujak manis, sambal pecel, serta sambal korek.
Kini setiap hari ia mengolah minimal 50 kilogram cabai rawit dan 50 kilogram bawang merah. Jika tidak terkena pandemi, jumlah itu bisa lebih tinggi.
Sambal tanpa penyedap rasa itu pun tak hanya dimasukkan ke dalam botol dengan berat 135 gram, tetapi juga dalam kemasan saset. Kemasan ini lebih memudahkan sambal DD1 beredar di luar negeri.
Titip tetangga
Pada masa awal mengolah sambal, produk di dalam botol-botol kecil itu dititipkan di warung tetangga dan toko swalayan dekat rumahnya di Tenggilis Mejoyo, Surabaya. Promosi dari mulut ke mulut mampu mengembangkan produksi sambal yang sempat mengolah 150 kilogram cabai rawit dan bawang merah per hari dengan hasil akhir 2.100 botol sambal.
Produk sambal DD1 bisa terpampang di rak-rak swalayan di luar negeri karena sudah mengantongi sertifikat Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). ”Sertifikat HACCP merupakan bukti jaminan kualitas yang diterbitkan lembaga sertifikasi independen dan merupakan jaminan keamanan pangan sehingga produk kami berhasil ekspor ke beberapa negara,” ujarnya.
Selain untuk ekspor, produk DD1 juga sudah beredar di toko swalayan, toko oleh-oleh, dan sejumlah restoran di daerah, seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Pontianak, Balikpapan, Manado, Banjarmasin, Makassar, Jayapura, Sorong, dan Timika, termasuk di beberapa bandara di Indonesia.
Di sisa umurnya, perempuan dengan delapan cucu ini terus gigih mencari pasar terutama di luar negeri. Namun, secara perlahan, kemudi usaha mulai dialihkan kepada anak keduanya yang tinggal bersamanya.
Rempah nusantara
Perempuan ini merintis usahanya pada 2011 dengan hanya bermodalkan uang Rp 50.000. Uang ini untuk membeli cabai dan bawang merah masing-masing 1 kilogram dan menghasilkan 10 botol sambal.
Ketika produk buatannya mulai dikenal, Susi merekrut dua pegawai dari warga sekitar untuk membantunya memproduksi sambal. Seiring dengan berjalannya waktu, karyawan saat ini ada 20 orang, yang seluruhnya ibu rumah tangga di sekitar kediamannya.
Penjualan sambal pada awalnya pun tidak begitu mulus karena ada beberapa toko oleh-oleh di Surabaya yang menolak sambal dititipkan di tokonya dengan alasan tidak dilengkapi izin edar.
Penolakan itu tak membuat Susi putus asa, tetapi malah kian semangat mengurus berbagai persyaratan agar sambal bisa bersanding dengan produk makanan lain.
Baca juga : Kolaborasi, Kunci Kota Surabaya Sukses Angkat UMKM ke Pasar Dunia
Pada 2012 dia mengantongi semua perizinan terkait produksi sambal, seperti izin edar, merek, dan label halal. Setahun berikutnya, produk sambal DD1 bahkan menerima penghargaan sebagai UMKM terbaik dari Pemerintah Kota Surabaya.
Saat ini, untuk menyiasati penurunan pasar, Susi menjajaki penjualan secara daring. Selama pandemi, penjualan produk di lokapasar naik. ”Apalagi setiap bulan saya juga harus ekspor ke Amerika dan Selandia Baru. Setiap bulan saya kirim 800-1.000 botol,” ungkap Susi.
Melalui produk DD1, Susi berharap sambal-sambal asli Indonesia itu dapat dikenal luas di mancanegara. Sejak awal, mimpi Susi adalah bisa mengglobalkan sambal ke seluruh dunia. Belakangan dia juga mulai memproduksi aneka bumbu masakan nusantara, seperti bumbu rawon, soto, dan rendang, serta aneka camilan.
Menurut Susi, kokohnya citra bumi Indonesia kaya dengan rempah perlu terus dijaga dengan segala upaya. Salah satu caranya, dengan terus menggaungkan berbagai produk yang mengandung rempah-rempah itu, seperti aneka varian sambal dan bumbu masakan khas Indonesia.
Susilaningsih
Lahir : Kroya, 5 Februari 1955
Suami : RP Fathol Arifin Suryonegoro
Anak:
- Rusdy Pramana S (43)
- Siti Fatimah (41)
- Wara Agustina R (40)
Pendidikan:
- SD tahun 1967
- SMP tahun 1970
- SAA tahun 1975
- S-1 Administrasi Niaga tahun 1992
- S-2 Magister Manajemen tahun 2004
Prestasi:
- Pahlawan Ekonomi Terbaik 1 Kota Surabaya 2013
- Mendapatkan Registrasi ISO 9001:2008 tahun 2016
- Certificate Of Competence Export Officer tahun 2017