Antara Kuta dan Kintamani
Masalah yang perlu dikelola dengan bijak oleh pelaku pariwisata dan pemerintah adalah bagaimana mengelola fenomena "revenge travel" pada satu sisi dan fenomena aji mumpung di sisi lain.
... Gemuruh ombak di Pantai Kuta
Sejuk lembut angin di Bukit Kintamani
Gadis-gadis kecil menjajakan cincin
Tak mampu mengusir kau yang manis…
Lirik lagu ”Nyanyian Rindu” yang dibawakan Ebiet G Ade teringat menyusul video viral warga negara asing. Turis asing itu mengungkapkan kekesalannya atas perlakuan yang dialaminya saat berlibur di Pantai Kuta. Sang turis merasa risi dan tidak nyaman dengan agresivitas pedagang acung di Kuta, Bali. Dalam video berbahasa Inggris yang tersiar luas itu, turis asing itu mengatakan tidak akan datang lagi ke Kuta. Hal seperti itu juga sebenarnya banyak terjadi di sejumlah tempat wisata di dalam ataupun luar negeri.
Video viral dengan nada negatif tentunya merupakan kampanye buruk bagi pariwisata di Indonesia, khususnya Bali yang sedang digalakkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Sandi langsung mendatangi Kuta dan berdialog dengan pedagang untuk memastikan kekecewaan turis asing itu tidak terjadi lagi.
Bali yang mengandalkan pariwisata memang terpukul dengan pandemi selama dua tahun. Praktis tak ada lagi ekonomi wisata yang bisa bergerak saat pandemi. Seorang sopir mobil sewaan di Bali kepada saya mengatakan, ”Saat pandemi saya berjualan buah untuk sekadar bertahan hidup.” Sopir itu mengaku berasal dari Malang, Jawa Timur.
Baca Juga: Warisan Kepemimpinan
Meski sudah ada kehidupan, Bali masih terasa sepi. Pekan lalu, saya ke Bali untuk sebuah acara. Hampir dua tahun saya juga tidak pernah terbang. Kini, persiapan untuk terbang saya siapkan dengan rapi. Isian e-HAC yang ada di aplikasi Peduli Lindungi (PL) saya isi. Namun, sejak perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta sampai Bandara Ngurah Rai, isian e-Hac itu seperti tak ada manfaatnya. Pemindaian barcode Peduli Lindungi pun tak lagi menjadi keharusan. Hampir di setiap tempat ada papan pemindaian PL, ada yang dijaga dan diharuskan, tetapi banyak yang diloloskan. Masker boleh dipakai, boleh tidak.
Suasana pandemi seperti telah berlangsung normal. Memang belum ada pernyataan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa pandemi telah berakhir. Namun, masyarakat telah menganggap situasi normal. Entah benar atau tidak tapi itulah yang terjadi.
Akhir pandemi melahirkan apa yang disebut fenomena revenge travel. Orang segera balas dendam untuk segera pergi dan berjalan-jalan menikmati alam bebas. Setelah terkungkung pandemi dua tahun, orang ingin memulihkan kebebasannya. Traveling memberikan ruang ventilasi orang untuk bisa bernapas lega. Namun, yang telah patut diwaspadai adalah bagaimana agar virus juga tidak ikut berwisata.
Fenomena revenge travel pada satu sisi bertemu juga dengan aji mumpung secara ekonomi. Orang-orang yang terjepit secara ekonomi boleh jadi memanfaatkan tanda pulihnya wisata dengan agresivitas menawarkan dagangan. Pada titik itulah, terjadi ”konflik” serta perasaan tidak nyaman sebagaimana dirasakan turis asing. Situasi ini harus dikelola. Terlebih pada masa mudik Lebaran akan ada pergerakan 85 juta orang. Tempat wisata akan menjadi tempat favorit. Inilah wisata mudik terbesar di Indonesia yang akan meningkatkan perputaran uang besar di Tanah Air.
Gejala aji mumpung memang tampak. Saat saya ke Bali, saya pergi ke Kintamani, tempat yang indah, yang beberapa kali saya singgahi saat mengikuti Bali Bike, menjelajahi naik sepeda, beberapa tahun lalu. Kini, saya datang ke Kintamani dan masuk melalui jalur dari Ubud. Dan tepat di pertigaan jalan masuk jalan besar Kintamani ada posko retribusi yang menarik tarif Rp 25.000 per orang. Dalam bukti tanda terima tertulis, petugas kawasan pariwisata Kintamani.
Entah untuk apa biaya itu. Apakah itu tarif melintas jalan di Kintamani. Seorang wisatawan dari Jakarta komplain kepada pegawai kafe di ujung Kintamani soal pungutan tersebut. Pegawai kafe itu juga komplain karena pemungutan Rp 25.000 per orang itu membuat kafenya di Kintamani ikut menjadi sepi. Seorang wisatawan yang kebetulan seorang psikolog itu tidak terima setiap orang harus membayar Rp 25.000 untuk hanya melintas atau ngopi di Kintamani. Tapi siapa peduli dengan itu ketika isu pungutan itu tidak viral di media sosial seperti turis asing. ”Tolong Pak disampaikan ke Pak Sandi,” ujarnya kepada saya yang mengetahui saya sebagai wartawan.
Pergerakan 85 juta orang saat mudik Lebaran adalah potensi besar. Seorang pemerhati pariwisata, Taufan Rahmadi, kepada saya mengatakan, wisata mudik itu bisa meningkatkan perputaran uang. Menteri Sandi pernah menyebut, perputaran uang bisa mencapai Rp 72 triliun secara nasional saat libur Lebaran 2022. Wisata itu mencakup wisata road trip dan religi. Namun, masalah yang perlu dikelola dengan bijak oleh pelaku pariwisata dan pemerintah adalah bagaimana mengelola fenomena revenge travel pada satu sisi dan fenomena aji mumpung di sisi lain. Tanpa ada pengaturan dan intervensi pemerintah, kelompok warga bisa saja menerapkan tarif masuk, tarif parkir semaunya sendiri. Coba saja masuk ke parkiran sepanjang pantai-pantai di Anyer.
Baca Juga: Pawang Hujan Rara, Pawang Politik...?
Bali yang sedang pulih perlu dikelola dengan baik agar pemulihan tak terganggu dengan viralogi kampanye buruk karena pengalaman tak nyaman. Biarkan Kuta dan Kintamani tetap seindah yang digambarkan lirik lagu ”Nyanyian Rindu” Ebiet G Ade.
Gemuruh ombak di Pantai Kuta
Sejuk lembut angin di Bukit Kintamani
Gadis-gadis kecil menjajakan cincin
Tak mampu mengusir kau yang manis…
Ini masukan untuk Mas Sandi, menteri Jokowi yang namanya masuk dalam bursa capres versi lembaga survei. Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.