Dalam keteduhan puasa, saatnya introspeksi diri. Apakah hakikat reformasi? Apakah makna hakiki konstitusi? Apa artinya sebuah kekuasaan?
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
April 2022 sepertinya menjadi bulan baik. Umat Islam tengah menjalani ibadah puasa. Umat Kristiani juga sedang menjalani masa puasa dan masa pantang. Hari Minggu besok, umat Kristiani memasuki Minggu Palma dan kemudian memasuki Tri Hari Suci Paskah.
Keteduhan masa puasa dan Paskah menjadi momentum untuk menarik diri, berhenti sejenak dan merenung di tengah dunia yang terus bergerak, perang yang terus berlanjut, dan riak politik yang kian melebar. Dalam keteduhan, saatnya tensi politik diturunkan agar kejengkelan sosial (social resentment) tidak berubah menjadi revolusi sosial (social revolution). Seorang pejabat negeri berbisik, kita tidak tahu kapan perang Rusia-Ukraina berakhir. Perang gampang dimulai, tetapi susah untuk diakhiri.
Dampak perang berkepanjangan luar biasa bagi dunia. Inflasi di berbagai belahan dunia melonjak tajam. Bank Dunia mewanti-wanti krisis pangan bisa terjadi. Di dalam negeri, harga Pertamax naik. Pertalite di sejumlah tempat sulit dicari. Minyak goreng menghilang. Harga bahan pokok merambat naik. Beban pajak kian bertambah. Situasi terasa begitu ”tintrim”, ada ketidakpastian, ada kecemasan, ada kekhawatiran, tetapi tetap ada harapan.
Sayangnya, kebijakan yang diambil pemerintah minim penjelasan. Itulah yang dikeluhkan Presiden Joko Widodo kepada menterinya. Tak ada narasi kenapa harga harus dinaikkan. Teks tidak pernah diberi konteks. Kebijakan tanpa penjelasan. Akibatnya, penafsir leluasa menafsirkan sebebas-bebasnya. Penafsir bebas menafsirkan pajak dinaikkan untuk membiayai pembangunan ibu kota negara.
Pada aras politik muncul isu kontroversi yang justru diproduksi negara. Orang dekat Presiden Jokowi seperti koor bersuara. ”Pengusaha meminta pemilu ditunda,” kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia (10 Januari 2022). Menyusul kemudian, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang juga Wakil Ketua DPR. Muhaimin mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda. Usulan itu disampaikan Muhaimin seusai menerima masukan sejumlah pengusaha ditambah dengan argumen bahwa ada 100 juta big data yang meminta pemilu ditunda (24 Februari 2022).
Suara senada berlanjut dengan Menko Perekonomian yang juga Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto menerima aspirasi petani sawit yang meminta Presiden Jokowi tiga periode. Disusul kemudian Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang juga mengusulkan Pemilu 2024 ditunda dengan sejumlah alasan. Menko Investasi dan Maritim Luhut Pandjaitan mengatakan, berdasarkan analisis big data, ada 110 juta warganet yang meminta Pemilu 2024 ditunda.
Ketua Umum Apdesi Surta Wijaya seusai Silaturahmi Nasional Apdesi yang dihadiri Presiden Jokowi kepada pers mengatakan, setelah Lebaran, Apdesi akan mendeklarasikan Presiden Jokowi tiga periode. Kepada jurnalis Kompas TV, Frisca Clarissa, ia mengatakan, ”Kalau ada pemimpin bagus, jangankan tiga periode, seumur hidup pun boleh.” Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang selama ini jarang berpendapat pun ikut berkomentar. ”Konstitusi bukan kitab suci yang tidak bisa diubah.”
Serial pernyataan politik elite negeri itu menambah gaduh. Boleh jadi itu bagian strategi testing the water untuk melihat reaksi publik atas ide menunda pemilu. Aspirasi itu tidak sejalan dengan konstitusi. Dalam politik kontemporer, rasanya sangat jarang peristiwa terjadi serba kebetulan.
Padahal, sikap Presiden Jokowi sudah jelas. Saat bertemu dengan pemimpin redaksi media massa, Desember 2019, Presiden Jokowi sudah mengatakan usulan tiga periode itu sebagai upaya mencari muka, menampar muka atau menjerumuskannya. Presiden Jokowi sudah menyatakan tidak berminat dan tidak berniat.
Presiden Jokowi juga sudah mengatakan, tidak ada visi dan misi menteri, yang ada adalah visi dan misi Presiden. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa orang dekat Presiden terus melemparkan dan menggoda Presiden dengan isu-isu yang bisa menjerumuskan Presiden?
Semua klaim yang diproduksi negara itu bisa dibantah. Haryatmoko dalam esainya di harian Kompas, 5 April 2022, menulis ”Fatamorgana Kekuasaan”. Haryatmoko menulis bahwa Kekuasaan itu memikat. Ia menyilaukan. Kecenderungan pemimpin yang terlalu percaya diri adalah melanggengkan kekuasaan atas nama rakyat. Fatamorgana politik mudah menggoda di pelupuk mata penguasa. Apalagi, big data memungkinkan menjadi sarana rekayasa dukungan aspirasi warga negara.
Dalam situasi kebangsaan yang sensitif ditambah era post truth yang telah datang, informasi yang dihadirkan negara bisa disalahtafsirkan; apalagi jika tanpa komunikasi sama sekali. Situasi itulah yang ditangkap Presiden Jokowi agar para menteri menjelaskan realitas yang ada kepada publik. Menjelaskan masalah tidak cukup hanya dengan sekadar menyebar rilis kepada media atau menulis status di media sosial elite negeri. Membangun saling pengertian amat diperlukan.
Perang Rusia-Ukraina yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhir perlu dikelola agar tidak menambah kompleksitas persoalan ekonomi, sosial, dan politik di dalam negeri. Peringatan Presiden Jokowi diharapkan mampu mencairkan sejenak kejengkelan dan kecemasan politik. Perintah Presiden kepada para menteri itu harus ditaati. Bukan hanya larangan berbicara soal penundaan atau perpanjangan, melainkan kerja penggalangan dukungan di akar rumput juga harus berhenti agar tidak memperhadapkan sesama anak negeri.
Dalam keteduhan puasa, saatnya introspeksi diri. Apakah hakikat reformasi? Apakah makna hakiki konstitusi? Apa artinya sebuah kekuasaan? Seorang relawan Jokowi berbicara kepada saya, ”Jangan sampai Presiden Jokowi dikenang publik sebagai presiden yang selalu ingin mempertahankan kekuasaan. Padahal, legacy-nya banyak. Manuver itu harus dihentikan. Bapak tidak seperti itu. Itu penting karena sejarah akan ditentukan akademisi dan civil society. Kerja kerasnya akan dilupakan.”