Terkait isu penundaan Pemilu 2024, ada kesenjangan antara realitas yang ditangkap lembaga survei dan pernyataan pimpinan partai politik. Apakah ini pertanda kegagalan partai politik dalam menangkap aspirasi rakyat?
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Hari libur Nyepi, Kamis 3 Maret 2022, saya manfaatkan untuk meninggalkan kepengapan politik Jakarta menuju Yogyakarta. Bertemu dengan sejumlah teman.
Kami mengobrol di sebuah rumah makan di Jalan Kaliurang. Hujan deras saat kami tiba. Berjalan perlahan memasuki rumah makan, saya berhenti sejenak melihat lukisan dengan judul Tahta untuk Rakyat. Ada gambar Sultan Hamengku Buwono IX. Di bawah lukisan itu ada kutipan yang menurut saya menarik, becik ketitik olo ketoro. ”Perbuatan baik atau perbuatan buruk pada akhirnya akan tampak juga”. Kami mengobrol tanpa tema. Sebuah pesan masuk dari teman. Saya baca sepintas. Isinya rilis dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang Sikap Publik terhadap Penundaan Pemilu dan Masa Jabatan Presiden. Survei itu dilakukan 25 Februari 2022-1 Maret 2022. Aktual dengan perkembangan politik termuktahir.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hasil survei 25 Februari 2022-1 Maret 2022 menunjukkan tren menurunnya kepuasan publik terhadap kondisi demokrasi Indonesia. Kondisi ekonomi dinilai buruk dan sangat buruk oleh 42 persen responden. Persepsi negatif terhadap situasi politik nasional juga menguat. Namun, 66,3 persen responden tetap puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo.
Di bagian kesimpulan, survei LSI mengungkapkan data mayoritas responden (68-71 persen) mengatakan Presiden Jokowi harus mengakhiri masa jabatannya pada 20 Oktober 2024 sesuai konstitusi. Mereka menolak perpanjangan masa jabatan presiden, baik karena alasan pandemi, pemulihan ekonomi karena pandemi, maupun pembangunan ibu kota negara. Sebanyak 64 persen responden setuju pemilu sesuai jadwal 14 Februari 2024.
Temuan survei itu bertolak belakang dengan pernyataan elite politik nasional. ”Politik atas nama rakyat” tampaknya sedang menjadi tren. Bersembunyi di balik ”suara” rakyat. Mengatasnamakan pengusaha, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengusulkan Pemilu 2024 ditunda. Itu dikatakan Bahlil 10 Januari 2022. Tak jelas pengusaha mana yang dirujuk.
Menyusul kemudian pernyataan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang juga mengatasnamakan pengusaha UMKM meminta Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun. Tak jelas pula siapa pengusaha UMKM yang dirujuk calon presiden dari PKB itu.
Setelah Muhaimin, kemudian Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Bahasa yang digunakan Airlangga lebih terukur dan elegan. Ia mengaku menerima aspirasi dari petani sawit di Siak agar masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang menjadi tiga periode dan aspirasi itu akan dibicarakan dengan partai politik (parpol) lain. Rapimnas Partai Golkar telah menetapkan Airlangga Hartarto sebagai calon presiden 2024 dari Partai Golkar.
Safari ”kebulatan tekad” diteruskan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan. Dengan alasan situasi pandemi, pemulihan ekonomi, perang Rusia-Ukraina, dan anggaran negara yang terbatas, PAN setuju Pemilu 2024 ditunda. Partai anak muda yang sempat mencuri perhatian pada Pemilu 2019 tidak kalah nekatnya. Sekjen Partai Solidaritas Indonesia Esti Tunggadewi menyatakan PSI tidak setuju perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Namun, PSI sebagai pendukung Presiden Jokowi mendukung masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode melalui perubahan UUD 1945. Meski tak punya kursi di DPR, PSI menempatkan sejumlah kadernya di lingkungan Istana. Ada kesenjangan antara realitas yang ditangkap lembaga survei dan pernyataan pimpinan partai politik. Apakah ini pertanda kegagalan parpol dalam menangkap aspirasi rakyat?
Jika memang gagal menangkap aspirasi rakyat, parpol bakal teralienasi dari rakyat. Ada problem representasi dari parpol kita dan juga DPR kita dengan para pemilihnya. Tentunya, tidak semua parpol demikian.
Berkaitan dengan suara penundaan Pemilu 2024 yang menabrak konstitusi, PDI-P menegaskan masih tegak lurus dan setia pada konstitusi. Sebagaimana dikatakan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Ketua PDI Perjuangan Puan Maharani, tidak ada alasan hukum untuk menunda pemilu. Menyusul kemudian, Gerindra. Seperti disampaikan juru bicara Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, Prabowo tegak lurus pada konstitusi dan menolak penundaan Pemilu 2024. Hal serupa disampaikan Nasdem. Partai oposisi Demokrat dan PKS jelas menolak.
Jika usulan penundaan Pemilu 2024 dipaksakan melalui mekanisme Sidang Istimewa MPR, secara matematika politik dan perilaku politik menggunakan segala cara, bisa saja kubu yang menginginkan menunda pemilu 2024 menang. Namun, alarm telah diperingatkan sejumlah cerdik cendekia bahwa Indonesia bisa memasuki situasi krisis konstitusional. Krisis legitimasi. Bahkan, Guru Besar Ilmu Politik Mochtar Pabottingi mengingatkan, itu akan menjadi jalan tol bagi Indonesia untuk menjadi negara gagal.
Wacana liar penundaan pemilu membelah republik. Parpol terbelah. Di dalam parpol terbelah. Ormas keagamaan terbelah. Lalu siapa sebenarnya yang memainkan isu panas yang membelah republik ini? Jika kekuasaan menjadi tujuan, lukisan di rumah makan di Jalan Kaliurang itu mengingatkan, Tahta untuk Rakyat. Kekuasaan untuk rakyat, bukan semata-mata untuk kolega yang telah sama-sama berjuang memperpanjang kekuasaan.
Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara bisa mengambil peran untuk mengakhiri kontroversi dan spekulasi ada tangan pemerintah yang bermain di balik isu penundaan Pemilu 2024. Memang amendemen adalah domain MPR, tetapi kepala negara bisa saja punya sikap politik tersendiri jika wacana itu berpotensi menciptakan instabilitas politik. Semuanya pasti akan terbuka. Siapa arsitek. Siapa bermain di air keruh. Siapa setia dan taat pada konstitusi. Siapa menjerumuskan. Seperti kutipan di bawah lukisan di rumah makan itu: Becik ketitik olo ketoro.