Perjalanan Menyusuri Alam Sunyi
Nyepi menjadi metode paling mendasar untuk pulang ke dalam diri, setelah bertahun-tahun manusia mengembara untuk mempertahankan kehidupannya.
…Meski gelap malam Kurasa bintang-bintang lebih terang Saat semua semakin cepat Bali berani berhenti dan menyepi…
Ketika band rock Navicula merilis album Earthship pada akhir tahun 2018, hari raya Nyepi telah berlangsung 17 Maret sebelumnya, tetapi lagu ”Saat Semua Semakin Cepat, Bali Berani Berhenti” sontak mendapat perhatian. Lagu dengan lirik dan aransemen sederhana ini mungkin tepat mewakili keberanian Bali berhenti dari keriuhan keseharian yang semakin cepat.
Waktu lagu ini ditulis Gede Robi, motor Navicula, dunia belum disergap pandemi Covid-19, sehingga luluh lantak seperti sekarang. Penutup lagu sebagaimana kutipan lirik di atas menjadi kunci dari keberanian melawan arus. Kecepatan dan kebergegasan sering kali meninggalkan residu berupa kecemasan. Waktu diterjemahkan sebagai kala, yang terus memburu, bahkan sampai ke alam mimpi manusia. (Ada kisah teman yang bermimpi saja takut karena diburu-buru oleh waktu. Seolah ia akan mati esok hari. Oleh sebab itu, ia senantiasa menghabiskan waktunya untuk kerja, kerja, dan kerja…).
Hari ini, 2 Maret 2022, tepat saat bulan menuju puncak tergelap dalam perjalanannya, yang disebut Tilem Kesanga, para penganut Hindu Bali menggelar ritual Tawur Kesanga. Sebagaimana upacara tawur, sepenuhnya diperuntukkan bagi Bumi dan para bhuta kala, agar tidak memburu kehidupan manusia. Pada bulan Maret (kalender Masehi) atau Sasih Kesanga (kalender Bali), terjadi peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Peralihan sasih ini sangat baik digunakan sebagai medium menghormati para bhuta, tetapi sangat pantang menggelar upacara manusa yadnya, yakni jenis-jenis upacara untuk manusia.
Kitab Sundarigama menjelaskan, ”ring catur dasi ikang kresnapaksa agawe akena bhuta yadnya rikeng catuspataning desa” (ketika tepat paruh gelap atau bulan mati atau tilem, laksanakanlah upacara bhuta yadnya, yang bertempat di perempatan desa).
Barangkali inilah yang juga jadi acuan pelaksanaan arak-arakan ogoh-ogoh di jalan-jalan, terutama perempatan desa. Beberapa pekan sebelum Nyepi, anak-anak muda Bali secara bergotong royong membuat ogoh-ogoh di balai banjar. Biasanya ogoh-ogoh selalu bertubuh besar dan berwajah seram. Wujud ini merupakan representasi dari para bhuta kala, sosok yang sering kali diimajinasikan memburu kehidupan manusia. Sering pula diberi nama Kala Bang, Kala Bendu, atau Kala Rau, penamaan yang mengacu pada watak kala sebagai penguasa dunia kegelapan.
Keterburuan adalah salah satu awal dari petaka, karena ia melampaui kesabaran, seperti yang diajarkan dalam dalil-dalil agama.
Wujud seram ogoh-ogoh dengan taring panjang dan rambut gimbal selalu mengundang ketakutan dan kecemasan. Sebagaimana juga waktu, jika manusia tidak melakukan upaya pengelolaan dengan pengorganisasian yang baik, maka setiap saat ia akan memburu kehidupan. Keterburuan adalah salah satu awal dari petaka, karena ia melampaui kesabaran, seperti yang diajarkan dalam dalil-dalil agama. Ajaran tentang kesabaran orang Jawa dinukilkan dalam kalimat berikut:
”Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip”. (Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup). Kerja sering kali bukan karena tuntutan pekerjaan, melainkan karena kita khawatir dituduh tidak bekerja. Kita menjadi lebih peduli anggapan orang lain ketimbang pekerjaan itu sendiri. Bukankah begitu?
Saat upacara Tawur Kesanga, sehari sebelum Nyepi, arak-arakan ogoh-ogoh adalah pewujudan alam kegelapan, yang senantiasa mengintai. Oleh sebab itu, manusia mengenalinya dengan rangkaian sesaji, bahkan menyajikan 108 nasi cacah sebagai representasi kehadiran kekuatan kegelapan. Biasanya, seluruh ritual Tawur Kesanga dilakukan di catus pata atau perempatan desa/kota, yang diimajinasikan menjadi situs bagi pertemuan segala rupa kekuatan buruk.
Seluruh kekuatan kegelapan (bhuta kala) secara sengaja ”diundang” hadir untuk kemudian disomia, dinetralkan, agar menjadi kekuatan baik dan tidak mengganggu kehidupan manusia. Semua ogoh-ogoh yang telah diarak keliling kota pada akhirnya akan disomia atau bahkan diprelina. Jika dahulu prelina dilakukan dengan membakar ogoh-ogoh, belakangan guna menghormati karya seni para pemuda desa, ogoh-ogoh cukup diprelina dengan tirtha atau air suci.
Nanti kalau kau sempat melintas di depan balai banjar di Desa Adat Tebasaya, Ubud, kau akan menyaksikan koleksi ogoh-ogoh yang dipajang di wantilan desa. Ogoh-ogoh ini berasal dari beberapa kali Tawur Kesanga sampai kemudian menjadi koleksi desa. Kawanan bhuta kala ini diperlakukan sebagai benda seni, yang lebih mencitrakan kehidupan kesenian di desa bersangkutan. Ia tidak lagi diberi peran sebagai ogoh-ogoh sebagaimana biasanya pada saat pelaksanaan Tawur Kesanga.
Simak : Festival Ogoh-ogoh
Ritual Tawur Kesanga di saat bulan mati, pada petang hari, selalu diikuti dengan mabuu-buu, sebuah ritual ”membersihkan” rumah dan pekarangan. Kau harus membawa perakpak (obor daun kelapa kering), sapu lidi, kulkul (kentongan bambu), dan air suci berkeliling rumah sebanyak tiga kali. Doa paling populer dalam aktivitas ritual ini yang dihafal bahkan oleh anak-anak adalah: ”Mekaon jero mundur, mekaon jero mundur….”. Doa ini dirapalkan berulang-rulang seperti saat sedang berzikir, artinya tiada lain: menyingkirlah dirimu, menyingkirlah dirimu…Kira-kira maksudnya, menyingkirlah dari rumah kami, jangan menjadi penganggu dan kembalilah ke rumahmu.
Saat berkeliling rumah, perakpak diacung-acungkan, sapu digunakan untuk menyapu sudut-sudut yang kotor, dan kulkul untuk memanggil para bhuta kala. Api, sapu, dan bebunyian adalah bahasa simbol untuk ”mengusir” kegelapan dari rumah kita masing-masing. Ritual ini penting sebagai persiapan menyambut hari raya Nyepi keesokan harinya.
Keramaian pawai ogoh-ogoh di jalanan dan suara kulkul yang bertalu dari segala penjuru, bahkan terkadang dibunyikan meriam bambu, sekarang mungkin diganti kembang api, bisa diterjemahkan sebagai keseharian manusia modern. Di situ ada kebergegasan, kesibukan karena berbagai urusan, suara-suara yang meluncur dari kendaraan atau mesin, serta banyak pula energi (cahaya) yang telah kita gunakan. Bahkan di situ juga ada pikiran-pikiran yang lintang pukang dan penuh dengan rencana pekerjaan, tak jarang ada banyak mimpi yang tertunda.
Manusia harus memberikan dirinya sendiri sebuah jeda. Manusia pun harus memberi kesempatan kepada alam untuk berhenti.
Keriuhan dan kesibukan ini telah menguras energi manusia dan terutama semesta yang jadi tumpuan hidup beragam makhluk di bumi selama ini. Oleh sebab itu, inti dari Nyepi adalah berhenti. Manusia harus memberikan dirinya sendiri sebuah jeda. Manusia pun harus memberi kesempatan kepada alam untuk berhenti. Ketika berhenti itulah kau akan memasuki perjalanan paling sunyi dalam hidupmu. Pertama, kau harus mematikan api dalam dirimu; mengekang hasrat keserakahanmu dalam mengonsumsi makanan; mengendalikan keinginanmu untuk bepergian; serta berani menghentikan hasratmu untuk bekerja.
Esok hari, Kamis (3/3/2022), umat Hindu Nusantara merayakan Nyepi untuk menyambut tahun baru Saka 1944. Tepat pada tanggal 1 Sasih Kedasa, umat melakukan perjalanan tersunyi di dalam hidup mereka. Mereka benar-benar memasuki alam meditasi, melakukan mulat sarira (introspeksi) selama 24 jam, dimulai pukul 06.00 pagi sampai pukul 06.00 keesokan harinya, saat terlahir kembali menjadi ”manusia baru”.
Baca juga : Meditasi Semesta
Meditasi memberi kesempatan kepada setiap raga untuk menyadari roh suci (ketuhanan) yang bersemayam di dalam diri. Roh suci yang disebut Atman inilah yang menghidupi, memberi nyawa, sehingga raga mampu bereaksi terhadap berbagai situasi. Meditasi juga berarti membuang residu yang tanpa disadari telah menumpuk di dalam diri manusia. Residu hidup itu bisa berupa sifat-sifat amarah, serakah, dengki, iri hati, culas, dan ketidakjujuran. Harapannya, dengan melakukan bratha panyepian, seluruh residu hidup itu dibuang dari dalam diri.
Baca juga : Meditasi: Dari The Beatles sampai Yuval Harari
Meditasi juga menghasratkan keselarasan jagat diri (mikrokosmos) dengan jagat raya (makrokosmos) sehingga manusia terhindar dari sakit atau bencana. Keselarasan adalah jalan memasrahkan diri di hadapan kekuatan Mahasuci bernama Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penyair legendaris Umbu Landu Paranggi merumuskan perjalanan ke alam sunyi itu dengan mengatakan: //Sunyi/bekerjalah/kau/bagi/nyawaku/risau/sunyi bekerjalah/kau bagi/nyawaku risau/sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku risau/risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi/risau nyawaku bagi/kau bekerjalah sunyi/risau nyawaku/bagi kau/bekerjalah sunyi/risau/nyawaku/bagi/kau/bekerjalah/sunyi/kauku//.
Sajak berjudul ”Lagu Tujuh Patah Kata” ini ibarat mantra yang dirapal berulang-ulang agar kita semua siap memasuki alam kesunyian. Kesunyian bukanlah milik masing-masing seperti dikatakan Chairil Anwar. Kesunyian adalah upaya serentak untuk ”mendaur ulang” energi yang telah setahun kita eksploitasi, agar muncul sebagai energi baru yang memberi kekuatan bagi kehidupan kita.
Sebagaimana dinyanyikan olah Gede Robi, butuh keberanian untuk berhenti dan membawa alam sunyi ke dalam diri. Sepanjang hidup, Umbu telah berkarib dengan sunyi; ia menjauh dari popularitas, menepi dari ketokohan, bahkan menolak hidup layak dan diberi penghargaan. Dalam praktik, hidup semacam ini memang bisa muncul sebagai pemahaman asketisme, tetapi Umbu tahu kapan dia harus muncul kapan dia harus berkompromi.
Baca juga : Nyepi dan Kemanusiaan Kita
Nyepi hanya sehari semalam. Pemadaman lampu hanyalah upaya agar kita mampu menghargai cahaya. Laku berpuasa adalah cara agar kita menghargai makanan yang masuk dan memberi tenaga ke dalam tubuh kita. Aktivitas tidak bekerja adalah usaha agar kita lebih menghormati dan menghayati pekerjaan kita. Bekerja bukan semata untuk hidup, tetapi kerja adalah yadnya, ibadah hidup. Lalu perilaku tidak bepergian juga menjadi upaya kita untuk lebih merasakan seberapa jauh kita telah berjalan. Diam adalah cara untuk menghitung perjalanan kita sendiri.
Dengan segala upaya ini, kita kemudian bisa memahami bahwa Nyepi tak sekadar ritual untuk menyambut tahun baru Saka. Apalagi sekadar ramai-ramai berpawai ogoh-ogoh. Nyepi menjadi metode paling mendasar untuk pulang ke dalam diri, setelah bertahun-tahun manusia mengembara untuk mempertahankan kehidupannya. Rahajeng nyagra rahina Nyepiwarsa anyar Saka 1944. Selamat hari raya Nyepi tahun baru Saka 1944. Rahayu.