Meditasi: Dari The Beatles sampai Yuval Harari
Bulan ini, genap 52 tahun lalu The Beatles mengenal praktik meditasi, yang kini kian populer di kalangan urban. Sejarawan dunia, Yuval Noah Harari, rupanya pelaku disiplin meditasi sejak 20 tahun lalu. Apa manfaatnya?
Suara azan isya berkumandang ketika sesi meditasi kedua telah berlangsung sekitar tiga menit. Yudhi Gejali, sang fasilitator meditasi, lalu mengajak puluhan peserta untuk menjangkarkan kesadaran pada suara azan tersebut. Antara keheningan, lantunan azan, dan suara-suara embusan napas para peserta seperti berdiri sendiri-sendiri tetapi padu.
Malam itu, komunitas meditasi Tergar menjalani meditasi dua mingguan di bilangan Hang Tuah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pesertanya sebagian besar kalangan muda pekerja kantoran dari berbagai bidang. Selain di Hang Tuah, meditasi mingguan juga digelar di Tergar Meditation Center di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat.
Dalam sesi kedua meditasi tadi, Yudhi mengajak peserta merengkuh suara apa pun secara berkesadaran yang muncul di sekitar diri ketika bermeditasi, termasuk suara dari masjid tadi. Dengan teknik itu, Yudhi menekankan pada prinsipnya meditasi bukanlah melulu lelaku mengisolasi diri dari aneka stimulus yang muncul di lingkungan maupun diri sendiri. Sensasi ataupun stimulus apa pun yang muncul tidak diblok, justru dibiarkan hadir, dan cukup diamati secara sadar, tidak larut atau terbawa.
Tindakan pelaku meditasi yang kerap terlihat seperti menyepi hanyalah salah satu jalan dalam mengeksplorasi berbagai macam teknik bermeditasi. Bahkan, gemuruh suara berisik pun bisa menjadi obyek kesadaran bagi seorang meditator. Tanpa menjangkarkan kesadaran pada obyek apapun, seseorang bisa menjalani latihan meditasi.
”Eh, gimana abis semedi? Sudah bisa duduk melayang belum?” Mendengar itu, Yudhi tertawa-tawa ketika saya menirukan candaan seorang kawan. Candaaan itu terlempar saat saya kembali bekerja di kantor setelah cuti sepuluh hari untuk mengikuti retret meditasi di Dhamma Java Vipassana Meditation Centre di Bogor, Jawa Barat, tahun 2018.
Walau becanda, celetukan itu sebenarnya mewakili persepsi populer tentang meditasi di kalangan awam. Boleh jadi, persepsi itu terbentuk hasil paparan film-film laga di masa lalu yang mengidentikkan ritual sang jagoan dengan praktik semedi atau bertapa. Meditasi pun lantas dianggap serupa.
Itulah yang sering disalahartikan kalangan awam mengenai meditasi. Tak sedikit pula orang yang mengira meditasi adalah laku sembahyang atau bahkan mencari kesaktian. Padahal, tidak seperti berdoa, yang (bisa) mengandung permohonan, harapan, ratapan, rasa syukur, dan sebagainya, bermeditasi justru tidak menyusupkan ekspektasi apa pun dalam pikiran atau benak.
Terapi mental
Sederhananya, bermeditasi ”hanya”-lah sekadar berlatih kesadaran (mindfulness) untuk berada dalam kondisi momen being present. Mengobservasi momen terkini yang sedang dilalui. Pikiran tidak terbawa di waktu yang telah lewat ataupun waktu yang akan datang. Melatih kesadaran demikian memunculkan awal kebijaksanaan, yakni melihat sesuatu seperti adanya, tanpa penilaian atau analisis apa pun.
Yudhi, yang juga seorang dokter, Kamis (6/2/2020) malam itu, memfasilitasi latihan meditasi yang dikemas dalam tema ”The Path of Non-Aggression”. Sebuah tema tentang bagaimana menghadapi kenyataan hidup, menghadapi kenyataan diri sendiri. Tentang bagaimana berdamai dengan segala situasi secara jujur, terbuka, bijaksana, dan tanpa kekerasan. Tentang bagaimana beristirahat dan mengalami kehidupan secara utuh dan tanpa kepalsuan. Namun, ini bukanlah diskusi membahas filosofi hidup. Tak ada wejangan-wejangan hidup apalagi penilaian baik buruk dalam sesi latihan meditasi. Setiap orang dibiarkan menemukan ”kebenaran”-nya sendiri melalui duduk berdiam diri, berlatih meditasi.
Setelah sesi meditasi sekitar 20 menit, Yudhi membuka diskusi dengan mempersilakan siapa pun untuk bertanya atau berbagi pengalaman dari meditasi yang baru dilalui. Ada peserta yang mengaku merasakan kemarahan, rasa sesak, sedih, rasa gatal di area badan tertentu, atau juga tidak merasakan apa-apa. Tidak ada salah dan benar. Tidak ada yang perlu diblok atau diusir dari pikiran dan perasaan. Setiap sensasi atau rasa dan pikiran yang muncul bukan untuk dihakimi, dinilai, atau dianalisis.
Manfaat meditasi
Dari latihan bermeditasi yang memunculkan berbagai sensasi rasa menyenangkan ataupun tidak nyaman ataupun tiada rasa itu tadi, orang perlahan mengakrabi konsep acceptance, penerimaan. Ini bukanlah konsep yang disalahartikan sebagai pasrah, menyerah. Namun pemahaman mengenai impermanence, ketidakabadian, segala hal bersifat sementara, datang dan pergi.
”Saya sebenarnya punya masalah gangguan kecemasan. Stres yang demikian kuat sampai pada keinginan untuk bunuh diri. Saya sudah sempat konseling dengan psikolog juga. Lewat konseling itulah gangguan itu terdeteksi dan terungkap akarnya,” ungkap Wulan (33), bukan nama sebenarnya, salah satu peserta meditasi Tergar.
Wulan mengungkapkannya seusai meditasi grup sembari berkonsultasi kepada Yudhi mengenai suatu teknik meditasi lainnya. Bagi Wulan, setelah konseling dengan psikolog, berlatih meditasi banyak membantunya dalam menghadapi kondisi serba tak nyaman dalam hidupnya. Bukan dengan melarikan diri atau eskapisme, bukan dengan mengisolasi diri, tetapi menghadapi dengan berkesadaran bahwa segalanya adalah sementara.
Dalam sebuah tayangan dokumenter di Netflix berjudul The Mind, Explained (2019), bagaimana kondisi otak orang yang bermeditasi dijelaskan secara ilmiah oleh pakar ilmu saraf (neuroscience). Dalam episode keempat program tayangan tersebut, ditampilkan guru meditasi Yongey Mingyur Rinpoche yang dipindai kondisi otaknya saat bermeditasi. Hasilnya menakjubkan. Meditasi, yang lebih dari ratusan jenis itu, disebutkan merupakan powerful tool bagi otak.
Mingyur Rinpoche merupakan master meditasi yang selama ini membimbing komunitas meditasi Tergar di sejumlah negara. Ia pun pernah beberapa kali ke Indonesia dan mengajar meditasi. Siapa saja, tanpa memandang identitas apa pun, dapat mulai belajar meditasi di Tergar Meditation Centre di bawah bimbingan para fasilitator meditasi.
Bukan hanya dokumenter di Netflix itu saja yang membuktikan manfaat meditasi, melainkan sudah banyak penelitian ilmiah lain yang mengungkapkannya. Isu kesehatan mental yang kian menjadi isu global saat ini membuat banyak orang menoleh kembali pada manfaat berlatih meditasi.
Seperti dikutip dari artikel di situs Harvard University, ”When Science Meets Mindfulness”, pendekatan medis selama ini membantu mengatasi masalah kasus depresi yang belakangan meningkat, tetapi tidak melulu berhasil. Meditasi rupanya menjawab lubang tersebut. Penelitian terhadap praktik meditasi pun masih terus dilakukan untuk menjawab berbagai hal yang masih menjadi pertanyaan para peneliti.
Disebutkan dalam artikel itu juga, tak hanya dalam kasus gangguan kesehatan mental, seperti depresi, latihan meditasi berpengaruh positif bagi penderita irritable bowel syndrome, fibromyalgia, psoriasis, kecemasan, serangan panik, hingga post-traumatic stress disorder (PTSD).
Artikel itu juga menyinggung soal meditasi transedental yang sempat populer di tahun 1970-an. Terutama sejak Herbert Benson, profesor dan cardiologist dari Harvard Medical School, meneliti mengenai meditasi di tahun 1960-an hingga 1970-an dan memperkenalkan istilah relaxation response.
Studi yang dilakukan Benson ketika itu menyebutkan, latihan meditasi bermanfaat menyokong kualitas kesehatan yang lebih baik, khususnya orang-orang dengan hipertensi. Ia menyimpulkan, pelaku rutin meditasi dapat menikmati hidup dengan kadar stres lebih minim, kesentosaan (well being) yang meningkat, dan mengurangi tekanan darah dan detak jantung.
Dari The Beatles sampai Harari
Istilah meditasi transedental tadi mengingatkan pada grup band legendaris asal Inggris, The Beatles. Para anggota band itu mengenal meditasi di tahun 1967 dari seorang guru meditasi asal India, Maharishi Mahesh Yogi. Seluruh anggota The Beatles lantas menghabiskan beberapa minggu mengikuti retret meditasi di bawah bimbingan Maharishi di Rishikesh, India. Ketika itu, aktris Mia Farrow juga turut dalam rombongan.
Seperti kisah yang dituliskan di situs Rolling Stones, anggota The Beatles yang paling serius menjalani meditasi adalah George Harrison dan John Lennon. Dalam buku The Beatles Anthology, Lennon mengaku setelah berhari-hari terus-menerus bermeditasi di sebuah ruangan selama retret tersebut, energi kreatifnya membuncah dan membuatnya menulis ratusan lagu.
Perjalanan retret The Beatles ke India tersebut tercatat sebagai salah satu periode The Beatles yang paling produktif. Setidaknya ketika itu mereka menghasilkan 48 lagu yang sebagian besar termuat dalam White Album.
Seperti ditulis Rolling Stones, pengalaman retret meditasi The Beatles ke India tersebut bahkan berpengaruh pada lanskap budaya pop di Amerika. Paul Oliver dalam bukunya, Hinduism and The 1960s, menyebutkan, relasi The Beatles dengan guru meditasinya membuat masyarakat Barat mulai tertarik pada laku spiritual ala Timur. Termasuk juga ketertarikan pada gaya pakaian ala India, yoga, meditasi, hingga alat musik sitar.
Lain lagi dengan sejarawan dunia Yuval Noah Harari, yang buku-buku karyanya mengentak dunia hingga hari ini. Harari mengenal praktik meditasi vipassana sejak 20 tahun lalu ketika ia tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Oxford.
Harari ketika itu dilanda keresahan intelektual dan ketidakpuasan. Seorang kawan lantas merekomendasikannya untuk mengikuti retret meditasi di India. Namun, tradisi skeptisnya sebagai akademisi sempat mengabaikan saran tersebut. Seperti dalam wawancara dengan Vogue, Harari mengaku sempat mengira praktik meditasi semacam praktik klenik yang dibungkus aneka mitologi.
Setelah setahun lewat, Harari akhirnya mengikuti saran sang teman. Ia lantas terbang ke Burma dan bertemu dengan SN Goenka, master meditasi yang mengajarkan teknik meditasi vipassana. Sang guru mengajaknya berlatih meditasi dengan memperhatikan alur masuk-keluar napas alami (bukan napas yang diatur) pada lubang hidung. Meskipun tampaknya sederhana, Harari mengaku, pada awalnya untuk bertahan menjangkarkan kesadaran pikirannya pada alur napasnya sendiri selama 10 detik pun ia kesulitan.
Namun akhirnya, dalam retret meditasi selama sepuluh hari itu, Harari mengaku mengalami transformasi yang penting dalam proses mengenal diri.
”Saya pikir, saya belajar lebih banyak mengenai diri sendiri dan manusia secara general selama sepuluh hari itu dibandingkan masa hidup sebelumnya. Untuk itu, saya tidak perlu mengimani mitos apa pun. Cukup mengobservasi realitas sebagaimana adanya,” ujar Harari dalam wawancara dengan Vogue.
Sejak perkenalan pertamanya dengan meditasi itu, hingga kini Harari disiplin berlatih meditasi dua jam sehari, satu jam di awal hari dan satu jam di akhir hari, serta mengikuti retret vipassana setahun sekali. Retret tahunan yang dijalaninya itu tak lagi sekadar program retret sepuluh hari, tetapi 30-60 hari.
Salah satu bukunya yang mendunia, Homo Deus (2015), didedikasikan untuk mendiang SN Goenka, guru meditasi yang dihormatinya. Ucapan persembahan tersebut tercantum di lembaran awal buku tersebut: ”To my teacher, SN Goenka (1924-2013), who lovingly taught me important things”.
Dalam wawancara dengan The Guardian, Harari mengaku, tanpa mengenal praktik meditasi vipassana tersebut, ia mungkin hanya seorang sejarawan yang lebih buruk dan boleh jadi masih berkutat mengulik-ulik sejarah militer abad pertengahan. Meditasi diakunya bermanfaat baik secara personal maupun profesional. Disiplinnya dalam berlatih meditasi membantunya melihat lebih jernih berbagai hal, memilah hal-hal yang penting, dan mengunci fokus.
Pusat pengajaran meditasi vipassana SN Goenka, tempat Harari belajar tersebut, tersebar di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Salah satunya Dhamma Java Meditation Center di kawasan Gunung Geulis, Bogor, Jawa Barat. Siapa pun, tanpa syarat latar belakang identitas tertentu, dapat belajar dan mengikuti retret di Dhamma Java tanpa dipungut syarat biaya. Donasi tidak diwajibkan dan jika ingin berdonasi pun jumlahnya sukarela.
Dari pengalaman mengikuti retret sepuluh hari di Dhamma Java pada 2018, peserta meditasi vipassana justru didominasi warga negara asing dari sejumlah negara. Mereka datang bukan sekadar dalam rangka tengah melancong ke Indonesia, melainkan mendaftarkan diri untuk berlatih di Dhamma Java. Pasalnya, pusat pelatihan vipassana di negara asal mereka sudah fully booked hingga berbulan-bulan. Sementara slot kosong masih tersedia di cabang vipassana center di Indonesia.
Selain Dhamma Java, juga Tergar Indonesia, program-program meditasi saat ini kian menjamur dan populer di kalangan kaum urban. Berbagai teknik dan program retret meditasi tersedia dalam aneka kemasan. Selain program meditasi yang tak berbayar tersebut, banyak pula program yang memasang tarif, baik puluhan ribu rupiah sekadar ongkos konsumsi atau sewa tempat, hingga yang bertarif jutaan rupiah. Meditasi telah menjadi komoditas tersendiri bagi kaum urban.
Meski begitu, setidaknya fenomena tersebut mencerminkan kerinduan kaum urban akan jalan kebijaksanaan tanpa segregasi identitas, di tengah dunia yang gaduh dalam kecanggihan teknologi dan keterbelahan.