Kemudahan di media sosial sepertinya telah dibajak oleh segelintir orang. Ada yang dengan seenaknya mempromosikan aset kripto tanpa menyebut risikonya.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Orang dengan mudah menyebut dirinya sebagai crazy rich di media sosial. Mereka terlihat superkaya dan dikelilingi para pemujanya. Secuil cerita hidup pernah susah menjadi bumbu. Publik pun tidak sedikit yang terpukau. Pokoknya, tiba-tiba ada orang yang seolah-olah menjadi elite yang bermunculan di media sosial. Ada apa?
Ada yang menampilkan dirinya seperti seorang konglomerat baru dengan imperium bisnisnya. Mereka bernarasi dari usaha kecil menjadi memiliki grup berbagai usaha. Seperti sulap, ia tiba-tiba muncul di media sosial (medsos) dan hadir dengan membagi-bagi hadiah yang belakangan lebih seksi disebut dengan give away. Foto di dalam pesawat privat atau membuat acara di hotel bintang lima melengkapi kemegahan tampilan foto-foto mereka di medsos.
Istilah ”crazy rich” alias orang kaya tujuh turunan ramai ketika Kevin Kwan pada 2013 membuat novel berseri dengan judul Crazy Rich Asians. Kisah dan polah orang kaya di Asia ini kemudian difilmkan sebagai drama komedi romantis Amerika Serikat pada 2018 yang disutradarai Jon M Chu. Sejak itu, banyak orang Indonesia ikut-ikutan menyebut dirinya sebagai ”crazy rich”. Publik pun seperti mengamini kehadiran mereka, setidaknya bila kita melihat pengikut dan komentar di akun-akun mereka itu.
Salah satu yang menarik diamati adalah asal-usul mereka. Di beberapa negara, kita bisa menemukan kehadiran orang-orang ini, baik dalam hidup nyata maupun di medsos. Harian South China Morning Post pernah membuat laporan tentang lima orang yang disebut sebagai muda, elite, dan crazy rich di Singapura. Kita dengan mudah mengetahui latar belakangnya dan juga usaha yang digeluti orangtuanya. Mereka bukanlah orang-orang yang tiba-tiba lahir dari langit dengan cerita dramanya menjadi kaya.
Harian yang sama juga memunculkan kelompok anak muda kaya dan makmur di Malaysia. Mereka ternyata lebih banyak berasal dari keluarga yang mapan. Anak muda Malaysia sukses ini menjadi seperti sekarang karena warisan dari orangtua atau dengan membangun nama untuk diri mereka sendiri melalui kerja keras. Sekali lagi, dengan kerja keras!
Sebaliknya, kita sulit mengetahui bisnis masa lalu anak muda yang tiba-tiba mengaku elite di Indonesia. Kemunculan usaha mereka hanya dalam waktu dua-tiga tahun banyak menimbulkan tanda tanya. Peran di dalam aktivitas sosial juga kurang terlihat. Sayang sekali, sejumlah media malah mengamini ”keelitan” mereka itu.
Pengaruh ”orang kaya gila” di Indonesia dalam tren gaya hidup juga masih minim. Mereka lebih banyak memamerkan kekayaan di media sosial dengan komunikasi yang direkayasa. Pujian yang tidak organik, komentar yang diusung oleh pendengungnya, dan lalu lintas yang palsu. Mereka bercerita tentang kisah sukses, tetapi terasa dangkal.
Kita coba melihat liputan media terhadap salah satu crazy rich Malaysia, Yen Kuok. Media menulis, mustahil untuk menyusun daftar pembuat tren kehidupan glamour di Malaysia tanpa menyertakan nama Yen Kuok. Sebagai putri miliarder terkaya di negara itu, Tan Sri Robert Kuok, dia mendapat kesempatan dengan akses tak terbatas ke hal-hal yang mewah dan langka dalam kehidupan. Akan tetapi, hal itu tidak menghentikannya untuk menjadi unik dan terlibat di dalam berbagai masalah di dunia.
Yen Kuok tidak diam dan menikmati kemewahan. Ia sering mengadvokasi kesadaran tentang kesehatan mental di media sosial. Kuok juga mendirikan usaha bernama Guiltless. Usaha ini merupakan bisnis ritel barang-barang mewah. Ia mengembangkan bisnis dengan model yang berkelanjutan alias diupayakan selalu ramah lingkungan.
Salah satu yang menarik dari mereka adalah jejak pendidikan para crazy rich. Di dalam novel Kevin Kwan terungkap tentang jejak latar belakang pendidikan mereka. Untuk anak perempuan yang tumbuh di lingkungan paling elite di Singapura, pada umur enam tahun kehidupan mereka dimulai di sekolah elit Methodist Girls’ School (MGS), Singapore Chinese Girl School (SCGS), atau the Convent of the Holy Infant Jesus (CHIJ). Setelah sekolah, waktu yang ada dihabiskan bersama tutor untuk mempersiapkan mereka menghadapi ujian mingguan. Pada akhir pekan, mereka mengisi kegiatan dengan bermain piano, biola, balet, atau membaca, dan beberapa kegiatan lain.
Kutipan di atas menunjukkan betapa ketatnya pendidikan anak-anak di kalangan orang kaya Singapura. Rasanya, tidak berlebihan mengetahui bahwa hampir semua orang sepakat soal pentingnya pendidikan untuk kehidupan masa depan sehingga mereka pun tidak main-main untuk urusan pendidikan. Apakah kita bisa menemukan jejak pendidikan orang- orang Indonesia yang seolah mendapat kedudukan elite di media sosial itu? Sebagian besar gelap. Kita tidak tahu pendidikan yang diterima mereka hingga menjadi ”sukses”.
Kemudahan di media sosial sepertinya telah dibajak oleh segelintir orang. Ada yang dengan seenaknya mempromosikan aset kripto tanpa menyebut risikonya. Sejumlah perempuan yang menyebut dirinya sebagai aktris atau model mengajak publik membeli produk yang tergolong aktivitas perjudian. Kalimat sederhana dan gaya komunikasi yang lebih bisa diterima audiens menjadi kunci. Mereka mudah dan gampang sekali merayu publik. Kepalsuan dan bahkan penipuan sangat mungkin ada di balik kecanggihan teknologi untuk bertemu dengan massa itu.