Fenomena Kultur "Shaming" di Kalangan Kelas Menengah
Penegakan hukum yang seringkali tidak tuntas mendorong publik mem-posting masalah yang dihadapi untuk bisa menarik perhatian banyak orang. Ini sebenarnya bagian dari aksi main hakim sendiri secara verbal maupun visual.
Oleh
WASISTO RAHARJO JATI
·5 menit baca
Masih adanya gerakan tagar #PercumaLaporPolisi maupun #NoViralNoJustice di sosial media menunjukkan bahwa kebutuhan untuk membuat isu/masalah menjadi viral sudah menjadi kebutuhan utama saat ini. Hal ini merupakan bentuk dari kekecewaan publik terhadap penegakan hukum yang terkadang belum tuntas sampai akarnya.
Publik kemudian kini terdorong untuk posting apapun terhadap masalah yang dihadapi untuk bisa menarik perhatian banyak orang. Motivasi itu jelas bagian dari bentuk aksi main hakim sendiri secara verbal maupun visual, dimana pelaku berusaha menciptakan persepsi dan narasi kebenaran secara sepihak dengan cara “menyudutkan” pihak lain lewat sosial media. Hal tersebut yang menandai semakin kuat menggejalanya kultur shaming (mempermalukan) di sosial media.
Berkembangnya kultur shaming di kalangan warganet yang didominasi oleh kelas menengah tersebut menunjukkan adanya dua hal utama. Satu, semakin kuatnya persepsi kebenaran suatu masalah bukan lagi ditentukan oleh proses peradilan, namun lebih pada penilaian kolektif yang berpandangan sama. Dua, semakin intensifnya perilaku bermain korban (playing victim) sehingga kasus permasalahan yang muncul dan viral di ruang publik tersebut rentan manipulatif.
Dari kedua faktor tersebut, bisa dielaborasi lebih lanjut bahwa kultur shaming (mempermalukan) kini makin marak di berbagai kanal media sosial, utamanya Instagram, Facebook, maupun TikTok. Ketiga kanal media sosial itu menjadi aplikasi media sosial yang sering digunakan oleh kelas menengah untuk posting video singkat yang merepresentasikan masalah mereka. Semakin banyak jumlah pemirsa yang melihat posting tersebut, maka akan semakin viral permasalahan yang mereka hadapi.
Sekarang ini yang lazim terjadi di era media sosial, publik tidak lagi mengenal batasan tabu dan normal ketika mengekspresikan permasalahan pribadi di ruang publik. Masalah yang sifatnya privat pun bisa menjadi masalah publik. Kondisi tersebut yang kemudian memancing perhatian banyak pihak dengan berbagai macam perspektif dalam menyikapi hal tersebut.
Ketika publik sudah semakin ekspresif dan eksesif dalam membuat masalahnya menjadi viral, di situlah benar dan salah menjadi kabur. Menyikapi hal tersebut, terdapat dua skenario yang patut digarisbawahi. Skenario pertama, seringkali opini publik tergiring oleh postingan pertama kali yang diduga dilakukan oleh “korban”. Hal itu yang kemudian memicu publik bertindak secara emosional untuk langsung bisa menghakimi “pelaku”, meskipun publik sendiri tidak terlalu mengerti kronologis permasalahan yang dihadapi oleh “korban”.
Skenario kedua memperlihatkan adanya perang video masalah viral baik itu oleh “korban” maupun “pelaku” sehingga persepsi publik terbelah antara dua postingan yang viral tersebut. Biasanya yang terjadi kemudian adalah persepsi benar kemudian dikonstruksi bilamana dari dua isu/video viral tersebut, salah satunya banyak mendapatkan dukungan warganet lainnya.
Seringkali opini publik tergiring oleh postingan pertama kali yang diduga dilakukan oleh “korban”.
Dua kondisi inilah yang menjadikan media sosial menjadi aplikasi paling ampuh bagi publik untuk melaporkan permasalahan yang terjadi. Hasrat untuk melaporkan lewat sosial media itu juga didorong agar “korban” semakin kuat legitimasinya menjadi korban tindak pelaku kriminal secara sepihak.
Hal itu yang menjadikan potret keadilan atas suatu permasalahan tersebut kini menjadi timpang karena tidak jelasnya benar dan salah yang sebenarnya. Pada akhirnya yang terjadi kemudian warganet kelas menengah makin intens dalam mempermalukan satu sama lain atas suatu masalah baik itu kapasitasnya sebagai “korban”, “pelaku”, maupun pendukung dari kedua aktor tersebut.
Makin mengentalnya kultur shaming dalam media sosial ini yang membuat penegak hukum juga kadang kesulitan dalam menetapkan tersangka dalam suatu masalah. Adapun pengenaan berbagai pasal dalam UU ITE misalnya Pasal 27 ayat 3 tentang larangan transmisi konten yang menimbulkan penghinaan/pencemaran nama baik maupun Pasal 27 ayat 1 tentang tentang transmisi konten elektronik yang melanggar kesusilaan seringkali menjadi pasal sangkaan terhadap “pelaku” oleh pihak aparat.
Padahal, pengenaan kedua pasal tersebut belum tentu menghasilkan adanya keadilan yang sebenarnya mengingat kedua pasal tersebut belum begitu jelas pula definisi “kesusilaan” maupun “pencemaran nama baik” tersebut. Hal tersebut mengindikasikan bahwa secara kapasitas, aparat penegak hukum perlu sekiranya mendapatkan pelatihan linguistik forensik agar bisa jelas membedakan benar dan salah, tanpa harus tergiring pendapatnya oleh kultur “shaming” di media sosial.
Pola umum lain yang terjadi dalam penegakan keadilan di Indonesia adalah aparat penegakan hukum yang menunggu dulu kasus viral di ruang publik, baru kemudian melakukan penindakan terhadap terduga pelaku. Pola tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik untuk melapor ke sosial media lebih terpercaya daripada melapor langsung ke aparat.
Hal ini sebenarnya menunjukkan adanya gejala social distrust kepada aparat dimana rangkaian proses birokratis panjang yang diharus dilalui mulai dari pelaporan, pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, penangkapan, hingga penetapan tersangka. Melalui sosial media lewat postingan tersebut, para warganet kelas menengah ini berupaya potong kompas atas suatu masalah tersebut dengan mendorong aparat untuk menangkap dan menetapkan tersangka saja.
Alhasil, yang selalu terjadi adalah aksi saling lapor yang dilakukan oleh masing-masing pelapor untuk mendapatkan status “korban” baik secara yuridis maupun sosial. Dengan mendapatkan status “korban” tersebut, akan semakin kuat motivasi untuk mempermalukan terduga pelaku secara psikis maupun sosial. Hal itulah yang pada akhirnya membuat isu viral menjadi alat penekan paling efektif dalam mendapatkan keadilan dalam konteks masyarakat Indonesia hari ini.
Kultur shaming sebenarnya bisa dicegah kalau pola kerja aparat lebih cepat sebelum isu tersebut menjadi viral di ruang publik. Hal itu bertujuan agar asas paraduga tak bersalah tetap dijunjung tinggi di mata hukum. Selain itu pula, warganet kelas menengah juga perlu didorong untuk lebih mempercayakan kasus/masalahnya melalui lembaga penegakan hukum yang sah daripada aksi main hakim secara daring maupun luring. Hal itu bertujuan agar baik “korban” maupun terduga pelaku sama-sama terpenuhi haknya sama di depan mata hukum.
Wasisto Raharjo Jati, Peneliti di Pusat Riset Politik BRIN