Wakanda: Satire atau ”Julid”
Diksi wakanda muncul dari hasil kreativitas warganet. Diksi ini merupakan satire yang ditujukan kepada Indonesia yang dianggap masih lemah dalam menangani masalah-masalah yang terjadi.

Supriyanto
Akhir-akhir ini, diksi ”wakanda” berseliweran di media sosial. Sebagai contoh saya kutip dari beberapa sumber di media sosial. ”Polisi di Wakanda, mah, lambat geraknya.” ”Pemerintah Wakanda, mah, ngeremehin Covid-19. Saat pandemi meledak, baru tersadar.” ”Ya, namanya juga Wakanda, pejabatnya hebat-hebat dalam menangani masalah korupsi.”
Bahkan, ada pejabat publik ada yang harus berurusan dengan pihak kepolisian karena diduga menghina negara dengan menggunakan diksi ’wakanda’. Apa arti sebenarnya diksi ’wakanda’ tersebut?
Canda ”wakanda”
Menurut saya, wakanda yang diambil dari sebuah negeri fiksi Wakanda pada film yang dibuat Marvel Comics merupakan diksi baru atau ungkapan yang baru yang segar, mengejutkan, dan ini adalah hasil proses kreatif warganet. Kata wakanda memberikan kesan keaslian, kesegaran, dan mampu membuat senyum pembaca atau pendengar yang secara latar belakang sosial budaya sama.
Baca Juga: Kuasa Bahasa di Media Sosial
Jadi, orang yang tidak tahu konteksnya, tidak tahu latar belakang sosial budaya, tidak akan tahu artinya, dan tidak paham maknanya. Orang yang tahu konteks kata wakanda, orang yang secara intektual berwawasan luas, tentu akan terhibur, tersenyum, dan tertawa.
Ini merupakan sebuah satire, gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan tanpa menyakiti perasaan pihak tertentu. Satire juga berisi kritikan, tetapi secara tidak langsung dan disampaikan dalam bentuk candaan atau humor kepada pihak tertentu.

Percakapan lewat aplikasi WhatsApp. Berbagai informasi dengan mudah dan cepatnya hadir di media sosial.
Mengapa masyarakat memakainya?
Ini berhubungan dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan pikiran dan juga perasaan. Melalui bahasa, masyarakat dapat menyampaikan kritikan dan masukan. Melalui bahasa juga, masyarakat dapat menyampaikan pesan komunikasi yang di dalamnya terkandung unsur motif, misalnya mengandung kata-kata tertentu yang menunjukkan situasi emosi pembicara seperti pujian, rayuan, seruan, termasuk sindiran dan umpatan.
Diksi wakanda merupakan satire yang ditujukan kepada Indonesia yang dianggap masih lemah dalam menangani masalah-masalah yang terjadi di Indonesia. Lalu, mengapa menggunakan diksi wakanda? Bukankah Wakanda itu negara indah dan sangat maju dan canggih dengan teknologi vibranium. Negara tersebut telah menutup diri terhadap dunia karena khawatir dunia belum siap dengan kecanggihan peradaban Wakanda.
Diksi wakanda merupakan satire yang ditujukan kepada Indonesia yang dianggap masih lemah dalam menangani masalah-masalah yang terjadi di Indonesia.
Dalam dunia bahasa, ada yang namanya ”gaya bahasa”, penggunaan kata, istilah, atau ungkapan tertentu yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya masyarakat tertentu. Tindak tutur masyarakat yang melibatkan konteks sosial budaya. Tujuan gaya bahasa ini adalah membuat efek yang signifikan yang mampu memunculkan sebuah retorika, sebuah ilmu cara menyiasati sebuah bahasa agar mampu meyakinkan, membangkitkan rasa simpati, empati, atau malah antipasti.
Di sinilah dibutuhkan kreativitas dalam berbahasa. Dibutuhkan bahasa yang efektif, mampu mendukung gagasan secara tepat. Wakanda merupakan hasil kreativitas warganet yang harus diapresiasi.

Supriyanto
Berbicara tentang gaya bahasa tak terlepas dari Aristoteles yang menamai gaya bahasa ini dengan istilah bahasa figuratif atau pemajasan. Fungsi pemajasan adalah penyampaian sesuatu secara tidak langsung dengan mendayagunakan bentuk-bentuk kias. Di sini gaya bahasa melibatkan makna konotatif, makna yang tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya.
Diksi wakanda termasuk gaya bahasa perbandingan metafora implisit dan pengontrasan ironis atau satire. Mengapa demikian? Secara implisit, Indonesia dibandingkan dengan negeri Wakanda, sebuah negeri fiksi yang indah, kaya raya, canggih, makmur, aman, sentosa.
Baca Juga: Media Sosial, Kuasa Bahasa Siapa
Namun, kata ”wakanda” juga mengandung sesuatu yang ironis atau satire. Ada suatu pengontrasan. Apa tujuan gaya bahasa ini? Gaya bahasa pengontrasan adalah gaya bahasa yang menuturkan sesuatu secara berlebihan dan berkebalikan. Artinya, suasana yang disampaikan oleh penutur adalah suasana yang sebaliknya.
Seseorang menggunakan gaya bahasa satire agar menghidupkan suasana, dibuat sebagai sindiran melalui candaan agar tidak ada pihak yang merasa direndahkan atau dihina.
Sebagai contoh, seorang suami pulang kerja mendapati istrinya masih kotor karena baru selesai masak, ”Wah, aroma tubuhmu wangi sekali, sewangi melati!”. Kita tahu bahwa aroma bunga melati sungguh wangi dan nyaman dihirup. Apakah wangi tubuh orang yang memasak di dapur sama seperti wangi melati? Sebaliknya bukan?
Namun, kata ”wakanda” juga mengandung sesuatu yang ironis atau satire. Ada suatu pengontrasan.
Kepada orang yang sedang menyanyi, tetapi bersuara sangat tidak merdu, ”Wah, suaramu indah sekali berasa mendengar suara Agnes Monica! Kita tahu bahwa suara penyanyi yang sudah go internasional itu tidak diragukan lagi kualitas kemerduannya. Apakah suara tidak merdu orang itu bisa disandingkan dengan Agnes Monika? Sebaliknya bukan?
Begitu juga dengan diksi wakanda. Beberapa masalah di Indonesia yang belum tertangani dengan baik disindir dengan satire ”Polisi di Wakanda, mah, lembat geraknya.” ”Pemerintah Wakanda, mah, ngeremehin Covid-19. Saat pandemi meledak, baru tersadar.” Indonesia sama dengan Wakanda?” ”Ya, namanya juga Wakanda, pejabatnya hebat-hebat dalam menangani masalah korupsi.”

Sebagian besar karya yang dipamerkan pada Saweran Kartun Antikorupsi tahun ini bernada satire, menyindir koruptor, Jumat (1/11/2019). Dari puluhan karya yang dipamerkan, 35 buah di antaranya merupakan karya baru dan sisanya sudah pernah dipublikasikan di sejumlah media.
Jerat hukum
Menurut teori yang dikemukan oleh Brown dan Levinson, setiap orang atau lembaga, atau perusahan, atau negara mempunyai dua wajah yang berbeda. Pertama wajah positif yang berarti bahwa setiap orang ingin selalu dinilai baik, ingin selalu dipuji, ingin selalu dihargai, ingin selalu disanjung, dan ingin selalu dihormati. Sebaliknya, wajah negatif, berarti setiap orang tidak ingin direndahkan, tidak ingin dilecehken, tidak ingin dihina, tidak ingin dicemarkan, dan tidak ingin dinilai tidak baik.
Berdasarkan teori tersebut, secara sadar masyarakat tidak ingin menggunakan bahasa yang dapat membuat rendah pihak tertentu. Secara sadar, masyarakat tahu bahwa siapa pun tidak mau dinilai tidak baik. Satire adalah pilihan yang tepat bagi sebagian masyarakat dalam mengkritik pemerintah atau lembaga terkait yang dinilai lemah dalam menangani masalah.
Satire adalah pilihan yang tepat bagi sebagian masyarakat dalam mengkritik pemerintah atau lembaga terkait yang dinilai lemah dalam menangani masalah.
Selain itu, berdasarkan teori bahasa dan hukum, ada indikator seseorang dapat terjerat hukum karena bahasa berdasarkan cara penyerangannya. Yang paling rendah adalah penyerangan melalui sindiran atau tersembunyi, kemudian melalui inisial, ciri-ciri umum, ciri-ciri khusus, dan yang dapat dijerat hukum adalah jika ada penyebutan nama. Dengan demikian, satire bukanlah sesuatu yang dinyatakan secara benar. Dalam satire ada sindiran, ada asosiasi, dan juga ironis.
Satire dan sarkasme
Jika sudah diisi dengan hujatan atau hinaan, satire berubah menjadi sarkasme, gaya bahasa yang menyindir, mengkritik dengan hinaan, hujatan, dan menjadi bahan olok-olokan. Terdapat derajat tuturan penyebab konflik: yang paling rendah memberikan saran, lalu mengkritik, menuduh, menghujat, menghina, mencemarkan nama baik; dan yang paling tinggi derajat penyebab konflik, yaitu fitnah atau penyebaran berita bohong.
Orang yang menggunakannya tentu dapat terjerat hukum karena sudah termasuk perang bahasa, sebuah konflik komunikasi yang disebabkan oleh bahasa. Perang bahasa sanggup menimbulkan percekcokan, perselisihan, situasi ketika fakta tidak sesuai harapan, perbedaan persepsi. Perang bahasa juga sanggup membuat seseorang merasa terhinakan dan dirugikan, baik secara materiel maupun imateriel. Perang bahasa juga bisa merupakan pelanggaran terhadap suatu peraturan atau perundang-undangan.
Baca Juga: Bahasa Indonesia Gaul
Namun, harus diingat bahwa semua akan berlaku apabila cara penyerangannya dengan menyebut namanya. Oleh karena itu, mari kita sadari bersama bahwa mengkritik itu baik, tetapi sampaikan dengan bahasa yang baik, benar, dan bijak. Apabila itu tidak dilakukan, hati-hati, kita akan terjerumus ke dalam komunikasi yang warganet sebut julid. Jadi, mana yang akan Anda pilih dalam menyampaikan kritikan kepada seseorang atau lembaga: satire atau julid?
(Niknik M Kuntarto, Dosen Fakuktas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara)