Soal AS-China, Dunia Arab Harus Main Dua Kaki
Secara tradisional, dunia Arab lebih banyak terpapar dengan kepentingan Amerika Serikat. Namun seiring meluasnya pengaruh China, dunia Arab juga harus menyesuaikan diri terhadap dinamika baru itu.
Musthafa Abd Rahman, wartawan senior Kompas
Persaingan Amerika Serikat (AS)-China di tingkat global berikut dampaknya terhadap dunia Arab dan kawasan Timur Tengah semakin menjadi perhatian elit dan publik di dunia Arab.
Dewan Mesir untuk Urusan Luar Negeri atau The Egyptian Council for Foreign Affairs (ECFA) pada 28 Desember 2021 menggelar seminar tentang persaingan AS-China dan dampaknya terhadap kawasan Timur Tengah. ECFA adalah Lembaga independen yang didirikan pada 1999 dengan beranggotakan para mantan duta besar, akademisi, dan wartawan senior di Mesir. ECFA memberi masukan secara rutin sebagai bahan pertimbangan kebijakan resmi luar negeri pemerintah Mesir ke sejumlah lembaga terkait Di antaranya adalah Kementerian Luar Negeri Mesir dan Komisi Urusan Luar Negeri di Parlemen Mesir.
Dalam seminar yang digelar ECFA soal persaingan AS-China, salah satu pendapat yang berkembang adalah bahwa dunia Arab saat ini harus bermain dua kaki, yakni berhubungan baik dengan AS sekaligus China. Demi terus berkomitmen menjaga hubungan tradisionalnya dengan AS yang terjalin pasca perang dunia II, dunia Arab tidak mungkin tidak membangun hubungan erat dengan China. Dunia Arab harus sadar bahwa kini sangat butuh China untuk mengatasi krisis ekonomi atau menyukseskan reformasi ekonomi negara-negara kawasan.
Baca juga : Melalui Proyek Sabuk dan Jalan, China Kuasai Pasar Dunia Arab
Persaingan AS-China saat ini agak berbeda dengan persaingan AS-Uni Soviet pada era Perang Dingin pada 1950-an hingga 1980-an. Pada era Perang Dingin, dunia Arab terbelah antara blok AS dan blok Uni Soviet. Saat itu, dunia Arab harus memilih antara masuk blok AS atau blok Uni Soviet.
Saat ini, memilih antara AS atau China tidak lagi relevan. Dunia Arab harus membangun hubungan erat dengan kedua adidaya itu dalam waktu yang sama. Dunia Arab tidak bisa lepas dari AS maupun China. AS tidak bisa meninggalkan kawasan Timur Tengah sekaligus tidak dapat memaksa negara-negara Arab berpaling dari China.
Memang sempat muncul opini tentang kecenderungan AS yang mulai meninggalkan Timur Tengah untuk lebih konsentrasi menghadapi China di Asia Pasifik. Ini didasari atas langkah AS mundur dari Afghanistan pada Agustuss 2021. AS juga terus mengurangi jumlah pasukannya di Irak. Bahkan muncul wacana tentang tekad AS meninggalkan Irak, cepat atau lambat.
Akan tetapi secara politik, AS tidak mungkin mundur dari Timur Tengah karena kepentingannya yang besar di kawasan itu. AS misalnya berkepentingan besar untuk mengekspor produk senjatanya ke Timur Tengah. Pada 2020 saja, separuh dari total ekspor senjata AS adalah ke Timur Tengah. Selain itu, Timur Tengah bagi AS adalah kawasan strategis karena merupakan jalur perairan vital internasional yang menghubungkan Asia dan Eropa, yakni melalui Laut Merah dan Terusan Suez.
Baca juga : Arab Tak Mau Berkonflik Selamanya
Harian Mesir, Al Ahram memberitakan, Mesir dan 51 negara lainnya, termasuk AS, memulai latihan perang bersama dengan kode IMX/CE22 di Laut Merah pada Selasa lalu (8/2) yang akan berlangsung beberapa hari. Keterlibatan AS dalam kegiatan itu menunjukkan bahwa AS masih menganggap jalur perairan di Timur Tengah sangat vital.
AS harus melindungi pula keamanan negara-negara sahabatnya di kawasan Arab Teluk dalam menghadapi ancaman Iran dan loyalisnya. Komitmen AS tersebut bisa dilihat dari keputusannya mengirim pesawat tempur siluman generasi kelima AS, F-22 Raptor dan kapal perusak USS Cole untuk membantu Uni Emirat Arab mendeteksi dan menangkal serangan rudal balistik dan pesawat tanpa awak dari faksi-faksi loyalis Iran. Pada 17, 24, dan 31 Januari 2022, Kota Abu Dhabi mendapat tiga kali serangan rudal balistik dari kelompok Al-Houthi di Yaman. Kelompok itu merupakan loyalis Iran.
Keputusan AS mengirim F-22 Raptor dan kapal induk USS Cole ke UEA itu diambil dalam pembicaraan lewat telepon antara Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, dan Putra Mahkota Abu Dhabi yang merupakan penguasa de facto UEA saat ini, Pangeran Mohammed Bin Zayed Al-Nahyan (MBZ), Selasa 1 Februari.
Mantan Dubes AS untuk Suriah, Robert Ford dalam artikelnya di harian Asharq Al Awsat menegaskan, AS tidak akan meninggalkan Timur Tengah. AS masih akan terus mempertahankan pangkalan militernya di Kuwait, Bahrain, Qatar dan UEA. Ia juga menyinggung tentang China yang memiliki kekuatan ekonomi raksasa dan jumlah penduduk terbesar di dunia. Ia mengakui, kekuatan China dan juga Rusia membuat AS bukan satu-satunya kekuatan adidaya saat ini.
Baca juga : Menyoroti Tantangan Prakarsa Sabuk dan Jalan China
Bagi China, Timur Tengah juga merupakan kawasan sangat strategis sebagai bagian dari megaproyek Prakarsa Sabuk dan Jalan. Kehadiran ekonomi dan investasi China sudah sangat kuat di Timur Tengah saat ini. Neraca perdagangan China dan dunia Arab pada 2019 misalnya, mencapai 266,5 miliar dollar AS. Investasi langsung China di dunia Arab mencapai 1,4 miliar dollar AS.
Isu teknologi komunikasi, khususya teknologi 5,0, mengantarkan kehadiran China semakin kuat di Timur Tengah. Negara-negara Arab Teluk yang kaya, seperti Arab Saudi, UEA, dan Qatar, memilih berkiblat ke China dalam pengembangan teknologi 5,0. Iran bahkan telah menandatangani kerjasama strategis dengan China pada Maret 2021 untuk jangka waktu 25 tahun. Dalam upaya mengamankan kepentingannya di Timur Tengah, China telah membangun pangkalan militer di Djibouti.
Sejauh ini, AS yang jauh lebih dulu hadir di Timur Tengah, tidak protes atas semakin dekatnya hubungan China dengan negara-negara Arab sahabat AS. AS barangkali masih melihat hubungan dekat China dengan negara-negara Arab masih sebatas ekonomi, belum merambah kepada ranah keamanan dan militer.
AS menyadari bahwa ia tidak bisa mengisi atau mencegah ekspansi kekuatan ekonomi China di Timur Tengah. Kekuatan ekonomi China sudah terlalu besar untuk dibendung karena negara-negara Arab yang sebagian besar mengalami krisis ekonomi atau sedang melakukan reformasi ekonomi sangat butuh bantuan ekonomi dan investasi dari China.
AS menyadari bahwa ia tidak bisa mengisi atau mencegah ekspansi kekuatan ekonomi China di Timur Tengah.
Bahkan AS tidak bisa berbuat banyak saat melihat Israel, negara sekutu AS di Timur Tengah, terus menguatkan hubungan ekonominya dengan China. Investasi China di Israel merambah semua sektor. Israel misalnya, telah menyerahkan pengelolaan pelabuhan Haifa kepada China. Pelabuhan Haifa adalah pelabuhan terbesar di Israel.
Sejak 2014, China telah memiliki saham terbesar pabrik produk susu terbesar di Israel, Tnuva.
China kini tengah berusaha memiliki saham terbesar pada salah satu perusahaan asuransi terbesar di Israel, Phoenix, dan perusahaan telekomunikasi luar angkasa sipil Israel.
Jika terhadap Israel, AS tidak dapat mendikte terkait hubungan Israel-China saat ini, apalagi terhadap dunia Arab.
AS barangkali harus terpaksa rela berbagi peran dengan China di Timur Tengah. AS tetap memegang kontrol politik dan keamanan. Sementara China memegang peran ekonomi dan investasi. Pembagian peran ini harus sama-sama dipahami dan diterima oleh semua pihak, yaitu AS, China dan dunia Arab sendiri, jika ingin kawasan stabil, damai, dan semakin berkembang.
Pembangian peran tersebut merupakan garis merah bagi AS yang tidak boleh dilampaui oleh China maupun dunia Arab. Reaksi keras soal China yang membangun pangkalan militer di Pelabuhan Al-Khalifah dekat kota Abu Dhabi seperti dilansir harian The Wall Street Jounal pada pertengahan 2021, menunjukkan bahwa AS menolak keras keinginan China berperan dalam bidang militer dan keamanan di Timur Tengah.
Reaksi keras AS tersebut memaksa UEA menekan China agar tidak melakukan aktivitas militer di UEA. Rambu-rambu ini harus dipahami oleh AS maupun China, jika ingin terus sama-sama tetap berada di dunia Arab.
Sementara terkait pembangunan pangkalan militer China di Djibouti, AS tampaknya tidak terlalu ambil pusing. Sebab, Djibouti dianggap jauh dari wilayah vital di Timur Tengah yang menjadi kepentingan AS, seperti di kawasan Arab Teluk yang kaya minyak dan gas.