Menyoroti Tantangan Prakarsa Sabuk dan Jalan China
Megaproyek Prakarsa Sabuk dan Jalan China di berbagai negara mendapatkan aneka pertanyaan dari berbagai sisi. Namun, kerap kali pertanyaan-pertanyaan itu berujung kebuntuan karena tidak mendapatkan jawaban memuaskan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Pemerintah China dan Pemerintah Iran, Sabtu (27/3/2021), menandatangani ”pakta kerja sama strategis” selama 25 tahun ke depan. Bagi Beijing, kerja sama itu sekaligus menandai bahwa megaproyek global Prakarsa Sabuk dan Jalan terus berjalan di tengah pandemi Covid-19. Teheran menyatakan pakta kerja sama itu bagian dari komponen politik, strategi, dan ekonomi kedua negara.
Pakta kerja sama China dan Iran tersebut pertama kali diusulkan Beijing dalam kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Teheran pada Januari 2016. Xi dan mitranya dari Iran, Hassan Rouhani, kemudian setuju menetapkan peta jalan untuk ”investasi timbal balik di bidang transportasi, pelabuhan, energi, industri, dan jasa”.
”Kami yakin dokumen ini bisa sangat efektif untuk memperdalam hubungan Iran-China,” kata Saeed Khatibzadeh, jubir Kementerian Luar Negeri Iran.
Kontroversi sempat mencuat, Juli tahun lalu. Mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menuduh negosiasi yang diadakan Teheran-Beijing untuk ”perjanjian baru 25 tahun dengan negara asing” tanpa sepengetahuan rakyat Iran. Kala itu, bahkan, Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif dicemooh di parlemen ketika dia meyakinkan anggota parlemen bahwa ”tidak ada rahasia” dalam kesepakatan yang diusulkan itu.
Seperti halnya di Iran, sudah kerap kali proyek-proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) China di berbagai negara mendapatkan aneka pertanyaan dari sisi, misalnya, bagaimana proses kesepakatan disusun dan apa saja isi kandungan kesepakatan itu. Publik melihat, latar belakang dan proses kesepakatan-kesepakatan antara negara tempat proyek BRI direncanakan dengan Pemerintah China susah diakses. Jika toh ada, informasinya sangat terbatas.
Padahal, publik ingin memastikan sejauh mana proyek-proyek itu bermanfaat bagi publik dan apakah ada hal-hal yang harus diantisipasi publik atas proyek-proyek itu. Misalnya, terkait efek secara sosial dan lingkungan hidup, jangan sampai kemudian, jika ada, efek-efek negatif itu tidak terantisipasi.
Publik tidak ingin mengalami gejala jebakan utang melalui proyek-proyek seperti BRI. Kekhawatiran publik soal jebakan utang itu perlu diperhatikan. Andai kekhawatiran itu jadi kenyataan, bukan hanya fungsi proyek-proyek itu bisa dirasa tidak optimal dan tidak menjawab kebutuhan warga, warga sebagai pembayar pajak harus ikut menanggung beban pembiayaannya di kemudian hari.
Publik ingin memastikan sejauh mana proyek-proyek itu bermanfaat bagi publik dan apakah ada hal-hal yang harus diantisipasi publik atas proyek-proyek itu, misalnya terkait efek secara sosial dan lingkungan hidup.
Melihat secara saksama—mulai dari latar belakang, proses negosiasi, perencanaan, hingga pelaksanaan—proyek- proyek BRI itu mengemuka dalam pelatihan lokakarya bertajuk Reporting the Environmental and Social Impacts of Chinese Investment in Indonesia. Lokakarya itu digelar secara virtual selama dua hari, Senin (29/3/2021) dan Selasa (30/3).
Acara tersebut digelar lembaga China Dialogue, Earth Journalism Network, dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ). Pembicara hadir dari dalam dan luar negeri dengan aneka latar belakang, mulai dari jurnalis, peneliti, aktivis, hingga pengajar.
Isu dan tantangan
Wang Yan, konsultan lepas di bidang iklim, energi, dan keuangan berkelanjutan yang juga mantan juru kampanye energi dan iklim kelompok Greenpeace, menyatakan bahwa kerangka BRI mencakup sejumlah prinsip. Proyek-proyek BRI, misalnya, sejalan dengan prinsip-prinsip Piagam PBB dan terbuka pada terjalinnya kerja sama antara China dan negara tempat proyek BRI dilaksanakan. Selain itu ditegaskan bahwa proyek harus bersifat inklusif, sejalan dengan pasar, serta saling menguntungkan.
Namun, sejumlah isu dan tantangan disebut Wang memang mengiringi BRI. Mulai dari pendanaan dan investasi proyek-proyek rendah karbon, manajemen lingkungan hidup, transparansi dan akuntabilitas, hingga model pendanaan yang berkelanjutan. ”Kepatuhan terhadap hukum lingkungan negara penerima, kebijakan regulasi, dan standar telah diwajibkan sebagai bagian dari kebijakan terkait BRI. Namun, negara penerima kerapkali memiliki kebijakan dan standar lingkungan yang berbeda, dan beberapa bisa saja memiliki persyaratan yang lebih lemah daripada di China,” kata Wang.
Dalam hal transparansi dan akuntabilitas, Wang melihat upaya Pemerintah China untuk terus memastikan dan memperbaikinya. Regulator sekuritas China telah mereformasi pasar modalnya untuk mendukung BRI. Sejak 2014, China Securities Regulatory Commission (CSRC) telah mengambil langkah-langkah untuk memfasilitasi merger dan akuisisi perusahaan yang terdaftar.
Komisi tersebut telah mempersingkat persetujuan merger dan akuisisi. Otoritas CSRC juga telah mereformasi mekanisme penetapan harga, menambah jumlah instrumen pembayaran untuk merger dan akuisisi, serta memperkuat pengawasannya.
Laporan Statistik Investasi Langsung di Luar China 2019 menunjukkan, total investasi China di negara-negara tempat proyek BRI berlangsung mencapai 117,31 miliar dollar AS. Hingga akhir 2019, lebih dari 27.500 investor China telah mendirikan 44.000 perusahaan investasi langsung di 188 negara dan wilayah tempat proyek BRI berada.
Hingga akhir 2019, Pemerintah China telah menandatangani lebih dari 198 kesepakatan dengan 137 negara dan 30 lembaga internasional sejak peluncuran BRI tahun 2013. Perdagangan barang antara China dan negara-negara yang menjadi lokasi BRI mencapai lebih dari 7,5 triliun dollar AS.
Merujuk pada buku bertajuk Belt and Road Through My Village yang disusun dan diterbitkan koalisi LSM Asia pada akhir tahun 2020, energi terbarukan dan pembangunan jalan merupakan proyek yang paling disambut baik oleh warga di tujuh negara Asia. Namun, kurangnya komunikasi dan transparansi, terutama dengan masyarakat di lokasi proyek, praktik ketenagakerjaan yang tidak adil, serta dampak sosial dan lingkungan adalah di antara keluhan yang paling sering diajukan warga. Konektivitas antarmasyarakat didorong menjadi visi utama BRI, di samping konektivitas kebijakan, konektivitas infrastruktur, konektivitas perdagangan, dan konektivitas keuangan.
Jessica Liao dari North Carolina State University melihat faktor permintaan dan penawaran tergambar dalam BRI. Negara-negara membutuhkan investasi—termasuk secara langsung dan dari investor asing—di berbagai bidang. Tawaran investasi dari China dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan. Jika dirasa cocok, investasi itu dapat diterima.
Liao menyoroti kecenderungan kebijakan Pemerintah China dalam kerja samanya dengan pemerintah-pemerintah di dunia. Sifat kerja samanya dapat berlangsung dari atas ke bawah (top down) maupun dari bawah ke atas (bottom up), seperti pada proyek-proyek yang diarahkan pemerintah, termasuk pembiayaannya.
Seperti Wang, Liao melihat tantangan-tantangan mengemuka, bahkan setelah kesepakatan satu negara dengan China, sebagai sponsor BRI, tercapai. ”Tantangan itu antara lain meliputi akuisisi lahan, perencanaan, pendanaan, penganggaran, hingga tekanan terhadap utang,” kata Liao.