Dua Pekan, Covid-19 Sebabkan Kematian 22 Warga Surabaya
Serangan Covid-19 varian Omicron tetap membawa dampak fatal. Sebanyak 22 warga Surabaya, Jawa Timur, meninggal kurun dua pekan terakhir sehingga menuntut penanganan, pengendalian, dan pencegahan yang komprehensif.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Sebanyak 22 pasien Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur, meninggal kurun dua pekan ini. Situasi itu menandakan serangan varian Omicron yang amat menular tidak bisa diremehkan. Penerapan protokol kesehatan secara disiplin menjadi mutlak untuk menekan risiko pandemi kian memburuk.
Menurut laman resmi Lawancovid-19.surabaya.go.id, Senin (14/2/2022), jumlah kematian pasien Covid-19 secara kumulatif atau sejak Maret 2021 sebanyak 2.585 jiwa, lebih tinggi 22 jiwa dibandingkan awal Februari 2022. Dengan demikian, rerata harian pasien meninggal 1-2 orang dalam dua pekan terakhir. Selain itu, jumlah pasien dirawat atau kasus aktif 3.633 orang atau naik 8-9 kali lipat dibandingkan dengan awal bulan yang 440 orang.
Masih secara statistik, dua pekan ini ada penambahan 14.089 kasus konfirmasi atau rerata harian 1.006 kasus baru. Kesembuhan tercatat 13.874 kasus atau rerata harian 991 kasus. Menurut asesmen situasi dari Kementerian Kesehatan dalam laman Covid19.go.id, kasus konfirmasi di Surabaya sudah tingkat 4 atau jauh melewati batas 150 per 100.000 penduduk per minggu.
Laju penambahan kasus masih di atas kesembuhan sehingga mempercepat pemenuhan fasilitas kesehatan. Rawat inap rumah sakit 23 per 100.000 penduduk per minggu atau tingkat 3 sehingga kian mendekati batas angka 30.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, daya tular Covid-19 amat tinggi sehingga diyakini merupakan dampak varian Omicron. Untuk mencegah penularan meluas, terutama di level komunitas, yakni keluarga dan rukun tetangga, pasien Covid-19 diminta menjalani isolasi terpusat di fasilitas yang disediakan, yakni Hotel Asrama Haji di Kompleks Asrama Haji Sukolilo dan RS Lapangan Tembak di Kedung Cowek.
”Selama ketersediaan tempat tidur masih memadai, kami secara persuasif meminta warga yang positif Covid-19, terutama bergajala ringan, untuk menjalani perawatan isolasi terpusat,” kata Eri. Di fasilitas, telah siap peralatan dan perlengkapan penanganan pasien, yang terutama tim kesehatan. Dengan isolasi terpusat, kondisi pasien lebih terpantau dan diharapkan mempercepat kesembuhan.
Eri melanjutkan, pada prinsipnya ia tidak melarang warga yang terjangkit, terutama tanpa gejala, untuk menjalani isolasi mandiri di kediaman atau di tempat lain secara berbiaya, misalnya hotel, losmen, atau gedung yang menimbulkan biaya. Warga amat disarankan tidak menjalani isolasi mandiri di rumah jika di kediaman terdapat anggota keluarga, terutama kelompok rentan, yakni warga lanjut usia dan anak-anak.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Nanik Sukristina mengatakan, sebagian warga yang positif Covid-19 tanpa gejala memang menjalani isolasi mandiri di rumah. Mereka rata-rata tidak berkenan dipindah ke isolasi terpusat.
Kediaman mereka memenuhi kriteria untuk isolasi karena dilengkapi perlengkapan dan atau peralatan kesehatan darurat dan bersedia terus berkoordinasi dengan tim kesehatan puskesmas terdekat dan pengurus Kampung Tangguh Semeru Wani Jogo Suroboyo.
”Pada prinsipnya, kami mendorong warga yang terjangkit untuk menjalani isolasi terpusat karena perkembangan kesehatan mereka akan lebih terpantau,” ujar Nanik.
Dalam isolasi mandiri, meski ada kemauan dari pasien untuk terus berkoordinasi dengan tim kesehatan dan pengurus kampung tangguh, tetapi masih dikhawatirkan ada risiko buruk. Misalnya, kondisi kesehatan mendadak memburuk dan terlambat diantisipasi atau ditangani tim kesehatan. Situasi ini, bahkan kematian warga yang isolasi mandiri karena tidak sempat tertolong, pernah terjadi dalam kurun Juni-Juli 2021 di saat ledakan kasus karena varian Delta.
Nanik mengatakan, meski Omicron belum berdampak fatal secara statistik dibandingkan dengan Delta, penambahan kasus kematian jangan sampai dianggap remeh oleh masyarakat. Covid-19 berisiko fatal terutama terhadap warga dengan penyakit bawaan dan belum vaksin. Dalam situasi inilah, pemerintah tetap mendorong penanganan pasien Covid-19 secara terpusat.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, mengatakan, peningkatan kasus yang signifikan sebulan terakhir atau sejak pertengahan Januari 2022 memperlihatkan protokol kesehatan tidak diterapkan dengan baik oleh masyarakat. Di sisi lain, situasi ini perlu menjadi cambuk bagi aparatur untuk meningkatkan kinerja dalam penegakan dan sosialisasi protokol.
Dorongan untuk menangani pasien Covid-19 secara terpusat, lanjut Windhu, sudah tepat untuk menekan risiko perburukan kondisi kesehatan warga secara mendadak yang berpotensi kematian. Isolasi terpusat akan mempercepat pemenuhan fasilitas kesehatan, tetapi selama masih memungkinkan lebih baik ditempuh untuk menekan risiko kematian.