Covid-19 varian Omicron tanpa gejala cenderung membuat orang yang terinfeksi merasa baik-baik saja. Namun, mereka tetap bisa menularkan kepada orang lain.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran Covid-19 varian Omicron yang semula berasal dari pelaku perjalanan luar negeri kini telah didominasi oleh transmisi lokal. Kasus tanpa gejala dan bergejala ringan cenderung membuat orang yang terinfeksi merasa baik-baik saja, tetapi tetap bisa menularkan virus SARS-CoV-2 kepada orang lain.
Meskipun fatalitas Omicron lebih rendah ketimbang Delta, varian tersebut tetap bisa memicu gejala berat jika menginfeksi kelompok rentan, seperti warga lanjut usia, orang dengan penyakit penyerta, orang yang belum divaksin Covid-19, dan anak-anak. Oleh sebab itu, varian Omicron tidak boleh diremehkan.
Epidemiolog di Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, mengatakan, di tengah gelombang Omicron saat ini, mobilitas masyarakat harus dikurangi untuk menekan risiko penularan. Pengabaian terhadap varian ini karena menganggap gejalanya tidak parah justru berbahaya saat berinteraksi dengan anggota keluarga di rumah.
”Mereka (orang yang mobilitasnya tinggi) akan menjadi risiko bagi keluarganya, terutama lansia, yang punya komorbid, dan anak-anak,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (12/2/2022).
Menurut Riris, upaya meminimalkan risiko penularan mesti dilakukan bersama-sama. Anak muda yang memiliki imunitas tinggi mengurangi mobilitas, sementara kelompok rentan mengikuti vaksinasi dan tidak beraktivitas di luar rumah.
Penerapan protokol kesehatan, seperti memakai masker, juga perlu diperketat. Masker efektif mencegah penularan yang terjadi melalui percikan. Selain itu, rutin mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak.
”Kalau ingin meningkatkan efektivitasnya, bisa pakai masker bedah dan kain (dobel). Tetapi, kuncinya harus proper dan konsisten,” katanya.
Riris menambahkan, cepatnya penularan Omicron membuat lonjakan kasus sulit dihindari. Namun, peningkatan kasus dapat dikelola dengan mengendalikan pasien yang membutuhkan perawatan sehingga beban fasilitas kesehatan tidak tinggi seperti gelombang Delta.
”Peningkatan kasus yang cepat dan hospitalisasi tinggi akan menekan layanan kesehatan dan berisiko kolaps. Ini tentu harus dicegah dengan menahan laju penularan dan menghindari bottleneck di rumah sakit seperti pada gelombang Delta,” jelasnya.
Mereka (orang yang mobilitasnya tinggi) akan menjadi risiko bagi keluarganya, terutama lansia, yang punya komorbid, dan anak-anak.
Mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menyebutkan, masih ada orang yang kurang peduli untuk tes Covid-19 saat merasakan gejala penyakit itu. Salah satu alasannya karena gejala yang dialami relatif ringan.
”Kalau yang terinfeksi masih muda, mungkin akan baik-baik saja. Tetapi, saat pulang ke rumah dan bertemu orangtuanya, situasi tidak sesederhana itu,” ucapnya.
Oleh karena itu, cakupan vaksinasi, termasuk booster (dosis penguat), harus dioptimalkan untuk meningkatkan imunitas. Kelompok lansia, anak-anak, dan orang dengan komorbid perlu mendapat proteksi lebih kuat.
Sasaran vaksinasi Covid-19 pada warga lansia di Tanah Air sebanyak 21,55 juta jiwa. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga Minggu (13/2/2022) pukul 12.00, cakupan dosis pertama mencapai 73,89 persen dan dosis kedua 50,36 persen. Sementara dosis ketiga atau penguat baru 4,84 persen.
Kecepatan penularan Omicron memicu lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir. Puncaknya diprediksi 2-3 kali lipat dibandingkan gelombang varian Delta pada tahun lalu.
Menurut data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, terdapat penambahan 55.209 kasus baru, Sabtu (12/2/2022). Padahal, pada 25 Januari, kasus harian masih 4.878 kasus. Dengan begitu, kasus naik 11,32 kali lipat dalam 18 hari.
Peningkatan kasus harian Covid-19 itu lebih cepat dibandingkan saat gelombang Delta terjadi pertengahan tahun lalu. Kasus tertinggi 2021 terjadi pada 15 Juli dengan 56.757 kasus. Sementara pada 1 Juni, jumlahnya masih 4.824 kasus. Jadi, kasus naik 11,76 kali lipat dalam 44 hari.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, orang terpapar Covid-19 tanpa gejala tetap bisa menularkan virus. Bahkan, mereka terkadang beraktivitas seperti biasa dan tidak menjalani isolasi mandiri.
”Hal ini berarti orang yang tampak sehat-sehat saja belum tentu terbebas dari infeksi Covid-19,” ujarnya.
Wiku menuturkan, kehati-hatian orang tanpa gejala cenderung lebih rendah dibandingkan jika kasusnya bergejala. Sebab, orang yang merasa sakit akan mengisolasi diri. Apalagi, tidak semua kasus positif dapat ditapis 100 persen.
”Sikap paling bijak yang dapat dilakukan bersama adalah menerapkan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) secara menyeluruh, baik untuk orang sehat maupun sakit,” jelasnya.