Kasus harian saat puncak gelombang Delta pada Juli 2021 mencapai 57.000 kasus. Jika pada gelombang Omicron diperkirakan 2-3 kali lipat Delta, maka kasus harian bisa mencapai 114.000 – 171.000 kasus.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia yang dipicu penularan varian Omicron tidak terhindarkan. Puncak gelombang penularan varian ini sudah di depan mata. Upaya untuk membendung dampaknya perlu dilakukan bersama. Bukan hanya oleh pemerintah dengan mengambil kebijakan pengetatan mobilitas, tetapi juga warga harus pula disiplin menjalankan protokol kesehatan agar penularan tidak semakin meluas.
Puncak gelombang Omicron diprediksi terjadi pada 2-3 minggu ke depan. Bahkan, kasus harian Covid-19 di DKI Jakarta, Banten, dan Bali sudah melewati puncak kasus varian Delta pada tahun lalu. Kondisi ini mengirimkan sinyal waspada ke provinsi lainnya.
Dengan tingkat penularan lebih tinggi, kasus melonjak tajam dalam waktu relatif singkat. Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Kamis (10/2/2022), terdapat penambahan 40.618 kasus baru dengan 74 orang meninggal. Kasus harian itu naik lima kali lipat dibandingkan dua pekan sebelumnya dengan 8.077 kasus.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, penularan yang sangat cepat tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Puncak kasus pada gelombang Omicron bisa mencapai 2-3 kali lebih banyak dari gelombang Delta.
“Tidak usah saling menyalahkan, panik, karena kasusnya memang akan lebih tinggi. Yang penting yang masuk rumah sakit dan wafat relatif lebih rendah. Ini yang sebenarnya harus kita jaga,” ujarnya dalam dalam bincang-bincang Satu Meja the Forum bertajuk "Jelang Puncak Omicron, Siapkah Kita?" yang disiarkan Kompas TV, Rabu (9/2/2022) malam.
Acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini menghadirkan narasumber lain, yakni mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama, Dewan Pakar Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra, dan Gubernur Bali I Wayan Koster.
Kasus harian saat puncak gelombang Delta pada Juli 2021 mencapai 57.000 kasus. Jika pada gelombang Omicron diperkirakan 2-3 kali lipat Delta, maka kasus harian bisa mencapai 114.000 – 171.000 kasus.
Budi menuturkan, jika berkaca dari kasus di negara lain, gelombang Omicron diperkirakan berlangsung 37-67 hari. Dengan begitu, diharapkan penurunan kasus akan terjadi lebih cepat. Puncak kasus diprediksi pada akhir Februari sampai Maret.
Meskipun kasus melonjak dengan sangat cepat, keterisian rumah sakit relatif lebih terkendali. Ini karena kasus didominasi oleh pasien tanpa gejala dan bergejala ringan sehingga cukup melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah atau tempat isolasi terpusat.
“Saat ini yang masuk rumah sakit sekitar 20.000-an orang. Padahal dulu (gelombang Delta) sempat 100.000 orang. Jadi, masih seperlimanya. Yang wafat juga lebih rendah,” ucapnya.
Meski begitu, laju penularan tetap perlu ditekan agar kasusnya tidak semakin banyak. Oleh sebab itu, pembatasan mobilitas harus ditegakkan agar risiko penularan dapat diminimalkan.
Pemerintah merespons lonjakan kasus tersebut dengan kembali memperketat pembatasan kegiatan di wilayah kota-kota besar, seperti aglomerasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), DI Yogyakarta, Bali, dan Bandung Raya. Wilayah itu menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3.
Kasus harian saat puncak gelombang Delta pada Juli 2021 mencapai 57.000 kasus. Jika pada gelombang Omicron diperkirakan 2-3 kali lipat Delta, maka kasus harian bisa mencapai 114.000 – 171.000 kasus.
Masifnya penularan Omicron berpotensi membuat pelacakan kontak tidak akan maksimal. Sebab, tingginya kasus membuat orang yang kontak erat dan harus diperiksa juga semakin banyak. “Tracing pasti akan ketinggalan karena kenaikan kasus tinggi sekali dan cepat. Banyak juga kluster rumah tangga yang terjadi. Untuk kasus tanpa gejala dan ringan akan isoman saja,” jelasnya.
Menurut Budi, terdapat empat strategi pengendalian pandemi. Tiga hal di sektor hulu yaitu disiplin protokol kesehatan, surveilans, dan vaksinasi yang mesti dijalankan secara berbarengan. Hal ini tak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga peran masyarakat luas.
Sementara hal terakhir adalah perawatan pasien yang menjadi strategi di hilir. “Sekarang kita dalam waktu dua pekan akan naik cepat dan tinggi. Jadi, saat ini tidak lagi bicara teori, tetapi praktik. Mana yang paling besar dampaknya secara praktis, itu yang dilakukan,” ujarnya.
Budi menambahkan, pemerintah akan fokus menegakkan protokol kesehatan dan mengejar vaksinasi. Sebab, sekitar 60-70 persen pasien bergejala berat yang dirawat di rumah sakit belum divaksin lengkap.
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengatakan, tiga langkah penting yang harus dilakukan untuk menahan laju penularan Omicron adalah pembatasan mobilitas, peningkatan tes dan pelacakan kontak, serta vaksinasi. Pembatasan mobilitas bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat.
“Tanggung jawab sosial masyarakat itu dengan disiplin memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan prokes (protokol kesehatan) lainnya. Ini harus segera diimplementasikan karena Omicron jauh lebih menular ketimbang Delta,” katanya.
Tjandra menyebutkan, masih ada orang yang kurang peduli untuk tes Covid-19 saat merasakan gejala penyakit itu. Salah satu alasannya adalah karena gejala yang dialami masih relatif ringan.
“Kalau yang terinfeksi masih muda mungkin akan baik-baik saja. Tetapi, saat pulang ke rumah dan bertemu orangtuanya, situasi tidak sesederhana itu,” ucapnya.
Oleh sebab itu, cakupan vaksinasi, termasuk booster (dosis penguat) harus dioptimalkan untuk meningkatkan imunitas. Kelompok rentan, seperti warga lanjut usia, anak-anak, orang dengan komorbid perlu mendapat proteksi lebih kuat.
Dewan Pakar IAKMI Hermawan Saputra menuturkan, tingginya penambahan kasus membutuhkan ketersediaan tenaga pelacakan kontak yang memadai. Identifikasi kasus sangat penting agar dapat segera dilokalisir sehingga tidak semakin menyebar.
“Kampanye kesukarelawanan perlu dilakukan lagi. Bantuan dari TNI/Polri yang membantu tracing harus dikembalikan sehingga pelacakan kontak lebih efektif,” katanya.
Gubernur Bali I Wayan Koster mengakui, protokol kesehatan di wilayahnya sempat mengendur semenjak kasus menurun beberapa bulan lalu. Namun, saat ini Pemerintah Provinsi Bali mulai kembali memperketat prokes dan memastikan pelayanan kesehatan dikelola dengan baik sehingga perawatan pasien lebih optimal.
“Kita akan mencapai puncak (Omicron). Tinggal menunggu waktunya, akhir Februari ini atau Maret. Tidak perlu panik, namun tetap waspada,” ujarnya.