Lebih Murah Mencegah Pandemi daripada Menanganinya
Kita bisa membayar sekarang atau membayar jauh lebih banyak nantinya. Mitigasi pandemi memerlukan biaya dan itu lebih murah dibanding menangani pandemi seperti saat ini.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Studi komprehensif yang melibatkan sejumlah ahli epidemiologi, ekonomi, ekologi, dan biologi dari 21 institusi menunjukkan bahwa pandemi seperti Covid-19 yang kita alami saat ini bisa dicegah agar tidak terjadi berulang di masa depan. Itu bisa dilakukan dengan menginvestasikan sedikitnya seperduapuluh atau satu per dua puluh dari kerugian yang ditimbulkan sejauh ini akibat Covid-19.
Investasi itu dituangkan dalam langkah-langkah konservasi yang bertujuan membendung penyebaran kasus zoonosis atau penularan penyakit dari hewan/satwa liar kepada manusia. Komponen biaya ini termasuk program pendanaan untuk melatih lebih banyak dokter hewan, membuat database global genomik virus, serta mengakhiri deforestasi pada hutan tropis dan perdagangan satwa liar.
”Ternyata pencegahan benar-benar obat terbaik,” kata Stuart Pimm, Guru Besar Ekologi Konservasi Doris Duke dari Duke University, yang juga penulis utama studi tersebut dalam situs interenet kampus, Jumat (4/2/2022).
Kita bisa membayar sekarang atau membayar jauh lebih banyak nantinya. Ini menjadi kesimpulan dari studi Pimm dan kawan-kawan yang diterbitkan di jurnal Science Advances pada hari yang sama. Para peneliti membandingkan biaya untuk mencegah pandemi dengan dana yang dikeluarkan untuk upaya pengendalian dan penanganannya.
Intinya adalah jika kita tidak berhenti merusak lingkungan dan menjual spesies liar sebagai hewan peliharaan, daging atau obat-obatan, penyakit ini akan terus datang.
Studi tersebut menunjukkan tempat terbaik dan tepat untuk memulai upaya pencegahan tersebut ialah berinvestasi dalam program yang mendorong pencegahan kehilangan tutupan hutan ataupun deforestasi di hutan tropis serta menghentikan perdagangan satwa liar internasional. Hasil studi itu juga mendorong penghentian perdagangan daging satwa liar di China serta peningkatan pengawasan dan pengendalian penyakit pada hewan liar dan domestik di seluruh dunia.
Berbagai penyakit zoonosis oleh virus, termasuk penyakit korona, SARS, HIV, Ebola, dan sejumlah penyakit lain, muncul pada abad terakhir berasal dari tempat-tempat liar dan hewan liar sebelum menyebar ke manusia, catat para penulis riset ini. Areal pinggiran hutan tropis, tempat manusia telah menebang lebih dari 25 persen pohon untuk pertanian atau tujuan lain, merupakan sarang penularan virus dari hewan ke manusia ini, seperti juga pasar di mana hewan liar dijual, baik dalam keadaan mati maupun hidup.
”Intinya adalah jika kita tidak berhenti merusak lingkungan dan menjual spesies liar sebagai hewan peliharaan, daging atau obat-obatan, penyakit ini akan terus datang. Dan seperti yang ditunjukkan oleh pandemi saat ini, mengendalikannya sangat mahal dan sulit,” ucap Pimm.
Ia mengemukakan, sejak pandemi Covid-19 muncul sekitar 2 tahun lalu, obatnya relatif belum berhasil dan optimal untuk mengatasi penyakit menular ini. Pemberian vaksinasi tertatih-tatih meski itu pada negara maju seperti di AS yang mampu memproduksi ataupun membeli dan mendistribusikan kepada warganya. Apalagi pada negara-negara miskin dan berkembang yang hingga kini kesulitan mengakses vaksin sehingga menimbulkan ketimpangan.
Risiko dikurangi setengahnya
Dalam studi ini, para peneliti dari 21 institusi menghitung bahwa dengan menginvestasikan jumlah yang sama dengan hanya 5 persen dari perkiraan kerugian ekonomi tahunan yang terkait dengan kematian manusia akibat Covid-19 ke dalam perlindungan lingkungan dan pengawasan penyakit tahap awal, risiko pandemi zoonosis di masa depan dapat dikurangi hingga setengahnya. Itu bisa membantu menyelamatkan sekitar 1,6 juta nyawa per tahun dan mengurangi biaya kematian sekitar 10 triliun dollar AS per tahun.
”Kita berbicara tentang investasi puluhan miliar dollar setahun. Pemerintah punya uang sebanyak itu,” kata Pimm.
Salah satu rekomendasi utama dari studi baru ini ialah menggunakan sebagian dari dana ini untuk melatih lebih banyak dokter hewan dan ahli biologi penyakit satwa liar.
Rekomendasi kunci lainnya ialah membuat database global genomik virus. Ini dapat digunakan untuk menunjukkan dengan tepat sumber patogen yang baru muncul sejak awal untuk memperlambat atau menghentikan penyebarannya, dan pada akhirnya mempercepat pengembangan vaksin dan tes diagnostik.
”Kebutuhan untuk melakukan tindakan pencegahan sesegera mungkin semakin mendesak. Epidemi semakin sering terjadi, semakin besar, dan menyebar ke lebih banyak benua,” kata Andrew Dobson dari Princeton University.
Dobson dan Aaron Bernstein dari Rumah Sakit Anak Boston dan Pusat Iklim, Kesehatan dan Lingkungan Global di Harvard TH Chan School of Public Health, juga penulis utama studi ini bersama Pimm.
”Mencegah jauh lebih murah daripada mengobati,” kata Bernstein, menegaskan.
Dibandingkan dengan biaya serta gangguan sosial dan ekonomi yang terkait dengan upaya mengendalikan patogen setelah mereka menyebar ke manusia, mencegah epidemi sebelum menyebar adalah tawaran ekonomi utama.
Di Indonesia, sebagai bayangan kerugian akibat Covid-19 ini, setidaknya tampak pada pertumbuhan ekonomi negatif yang sempat terjadi saat awal pandemi terjadi. Pada triwulan ketiga 2020, produk domestik bruto (PDB) Indonesia terkontraksi negatif 3,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini menjadi resesi karena sebelumnya pada triwulan kedua 2020 tumbuh negatif 5,32 persen.
Kerugian ini tentu belum memasukkan dampak Covid-19 pada kehilangan kemunduran kualitas pendidikan (learning loss)yang dialami anak-anak sekolah ataupun kualitas kesehatan akibat potensi long Covid pada para penyintas.