Kemampuan adaptasi kebiasaan masyarakat yang berdisiplin menjalani protokol kesehatan akan menjadi faktor penting dalam melanjutkan pemulihan ekonomi yang lebih solid.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Sudah 18 purnama, alias 1,5 tahun, pandemi Covid-19 berjangkit di Indonesia. Wabah ini berdampak negatif terhadap sektor ekonomi. Daya beli masyarakat terutama golongan bawah terus tergerus oleh pembatasan mobilitas yang terpaksa harus dilakukan demi memutus rantai penyebaran virus.
Babak awal drama pandemi selama enam bulan pertama, terhitung sejak adanya kasus Covid-19 pertama di Indonesia 2 Maret 2020, berakhir pada terperosoknya ekonomi ke dalam jurang resesi.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada triwulan III-2020, yang berakhir September 2020, mengalami kontraksi negatif 3,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Menjadi resesi karena merupakan kontraksi triwulanan kedua setelah pada triwulan II-2020 output ekonomi tumbuh negatif 5,32 persen secara tahunan.
Drama berikutnya diisi berjibakunya para pemangku kebijakan untuk menahan laju perlambatan pertumbuhan sekaligus memulihkan dan membangkitkan perekonomian. Upaya tersebut berujung pada lompatan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7,07 persen pada triwulan II-2021.
Sekilas, angka ini menjadi level pertumbuhan tertinggi secara triwulanan sejak 2004. Namun, semua perlu mawas diri agar tidak terlarut dalam ilusi lonjakan tersebut. Lompatan ekonomi pada triwulan II-2021 adalah pembalikan arah dari kinerja ekonomi pada periode sebelumnya yang terperosok hingga 5,32 persen.
Kendati demikian, tetap harus diakui upaya para pemangku kebijakandalam menjaga daya beli dan konsumsi domestik selaku motor pertumbuhan ekonomi nasional tidaklah sia-sia.
Sejumlah jurus pemerintah perlu diapresiasi karena disinyalir berhasil memperpanjang denyut daya beli masyarakat dari tekanan pagebluk. Salah satu kebijakan yang mungkin amat kentara dampaknya adalah perpanjangan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP) untuk transaksi sektor properti.
Stimulus tersebut semula akan berakhir 31 Agustus 2021. Belakangan insentif PPN-DTP diperpanjang hingga akhir tahun 2021. Perpanjangan akan memberikan peluang sektor industri properti berlari semakin kencang.
Sinyal dari keberhasilan Insentif PPN-DTP dalam mendorong investasi di sektor properti, terutama perumahan, kawasan industri, dan apartemen, terefleksi dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menyebutkan investasi sektor properti membukukan nilai investasi terbesar selama semester I-2021.
Di samping itu, pemerintah juga menguatkan dukungan untuk masyarakat yang terdampak pembatasan mobilitas melalui berbagai program perlindungan sosial (perlinsos), seperti percepatan pelaksanaan Dana Desa dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa, Bantuan Beras Bulog, Bansos Tunai, Diskon Listrik, dan program-program lain yang sudah berjalan.
Sepanjang 2020, pemerintah menyediakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp 695,2 triliun dan dari jumlah itu, yang terealisasi senilai Rp 579,8 triliun atau 83 persen. Pada tahun anggaran 2021, alokasi anggaran dana PEN ditingkatkan menjadi Rp 744,5 triliun, yang hingga Juli 2021, telah terealisasi sebesar Rp 305,5 triliun.
Namun sayang, di tengah akselerasi pemulihan ekonomi, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada kondisi melonjaknya angka penyebaran Covid-19 menjelang akhir semester I-2021 seiring kemunculan varian Delta.
Pada 3 Juli 2021, pemerintah merespons kondisi ini dengan menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga 20 Juli 2021. Selanjutnya PPKM terus diperpanjang hingga kini dengan level pembatasan yang cenderung menurun seiring melandainya laju penularan virus.
Idealnya, pelonggaran kebijakan tersebut dapat diimbangi dengan akselerasi vaksinasi Covid-19 serta penegakan protokol kesehatan agar tak menjadi bumerang di masa mendatang.
Fakta menunjukkan, orang yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin punya daya tahan yang lebih tangguh terhadap penularan virus korona atau relatif akan lebih cepat pulih kalaupun tertular.
Untuk melanjutkan kembali pemulihan ekonomi yang tertahan oleh lonjakan kasus, pada 2022 pemerintah memproyeksikan belanja negara pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar Rp 2.708,7 triliun atau 15,1 persen terhadap PDB. Anggaran kesehatan dialokasikan sebesar Rp 255,3 triliun atau setara 9,4 persen terhadap belanja negara. Sementara anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 427,5 triliun atau 15,8 persen terhadap belanja negara.
Pemerintah optimistis, pada tahun 2022 konsumsi masyarakat akan membaik berkat penguatan dan penyempurnaan program perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran. Dengan demikian, konsumsi masyarakat akan lebih optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, sebesar apa pun alokasi dana yang disiapkan pemerintah untuk mendongkrak konsumsi masyarakat, pandemi Covid-19 tetap akan memberikan ancaman dan ketidakpastian. Kemampuan adaptasi kebiasaan masyarakat yang berdisiplin menjalani protokol kesehatan akan menjadi faktor penting dalam melanjutkan pemulihan ekonomi yang lebih solid.
Jangan lupa, saat kekebalan komunal kelak sudah semakin terbentuk, pemulihan ekonomi juga tak akan optimal apabila pemerintah tidak melanjutkan reformasi dan transformasi ekonomi yang dapat menyediakan lapangan kerja yang lebih luas dan memberikan fondasi bagi pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan.