Jangan Tunda Investasi Kesehatan Jiwa
Pandemi Covid-19 menunjukkan rapuhnya kesehatan jiwa kita. Rendahnya kesadaran dan terbatasnya layanan membuat masalah ini akan berdampak besar bagi ekonomi dan kesejahteraan kita di masa depan.
Pandemi Covid-19 berdampak pada semua orang, tanpa pandang bulu. Meski hanya sebagian orang terpapar virus SAR-CoV2, kesehatan jiwa semua orang terdampak oleh pandemi. Namun, rendahnya pengetahuan, kuatnya stigma, dan terbatasnya layanan membuat banyak penderita gangguan jiwa tak mendapat perawatan memadai.
Tidak ada sehat tanpa kesehatan jiwa. Jauh sebelum Covid-19 menyebar ke seluruh dunia, ahli kesehatan jiwa lebih dulu mengkhawatirkan menyebarnya kecemasan akibat masifnya penyebaran informasi tentang Covid-19, baik itu berbasis ilmiah maupun hoaks. Saat pandemi nantinya dinyatakan selesai, dampaknya bagi kesehatan mental masyarakat diprediksi masih ada hingga 15-20 tahun berikutnya.
Sepanjang hampir dua tahun pandemi, kita semua bergumul dengan kekhawatiran yang besar atas Covid-19. Meski sudah melaksanakan protokol kesehatan dengan ketat, kadang malang tak bisa ditolak. Kekhawatiran terpapar korona dengan segala dampaknya sekarang dan di masa depan bagi diri dan keluarga membuat kita tertekan dan stres.
Mereka yang terpapar Covid-19 dan sudah sembuh pun punya kecemasan sama. The Lancet Psychiatry, 6 April 2021, menyebut setelah enam bulan sembuh, satu dari tiga penderita Covid-19 mengalami gangguan psikiatrik dan masalah neurologis, seperti kecemasan, depresi, dan perubahan suasana hati (mood) hingga mengembangkan stroke, demensia, dan psikosis.
Gangguan mental emosional orang muda ini akan mengurangi produktivitas dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa.
Bagi yang tidak terpapar, hilangnya pekerjaan, berkurangnya pendapatan, pembatasan wilayah dan berkurangnya interaksi sosial, hingga pengalihan semua kegiatan di luar rumah menjadi daring membuat jiwa kita mengalami kelelahan luar biasa. Orang dewasa, anak, remaja, dan kaum lansia, semua dituntut untuk beradaptasi dengan cepat walau itu tidak mudah.
Bukan hanya pembelajaran daring dan isolasi yang membuat anak dan remaja stres. Seperti dikutip di The Psychology Today, 23 Desember 2021, mereka juga mengalami kelelahan, perundungan via media sosial, hingga pengabaian orangtua. Semua tekanan itu terjadi saat otak dan kemampuan berpikir mereka belum matang. Namun, stres yang juga dialami orangtua membuat tekanan mental anak sering terabaikan.
Tekanan besar itu juga dialami tenaga kesehatan yang menjadi garda depan penanganan Covid-19. Besarnya risiko tertular penyakit, ketegangan berkepanjangan, beban kerja dan jam kerja berlebihan, kehilangan rekan seperjuangan, hingga sering dituduh memanfaatkan Covid-19 untuk kepentingan sendiri membuat mereka juga mengalami kelelahan mental yang sangat besar.
Berbagai tekanan mental itu akhirnya memengaruhi hubungan antarindividu dalam keluarga dan masyarakat. Kekerasan dalam rumah tangga, pertengkaran dan konflik sosial, turunnya kepuasan terhadap pernikahan dan pernikahan anak, semuanya meningkat. Kasus gangguan cemas, kesepian, depresi, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, serta keinginan untuk mati dan pikiran bunuh diri juga naik hingga memengaruhi kesejahteraan dan produktivitas kita.
Layanan terbatas
Vaksinasi dan pelaksanaan protokol kesehatan yang baik membuat penyebaran Covid-19 mampu dikendalikan. Sejak Juli 2021, saat Indonesia memasuki puncak gelombang kedua Covid-19 hingga kini, jumlah mereka yang terpapar Covid-19, menjalani perawatan di rumah sakit, dan meninggal makin turun. Sekarang, kehidupan pun mulai normal. Namun, perjuangan demi menciptakan jiwa yang sehat terus berlanjut.
Beberapa orang sadar dengan gangguan jiwa yang dialaminya dan mencari pertolongan kepada tenaga profesional. Masalahnya, layanan kesehatan jiwa sangat terbatas di negeri ini. Setahun sebelum pandemi, Kementerian Kesehatan menyebut baru 48,1 persen atau 247 kabupaten/kota yang memiliki puskesmas yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa.
Selain itu, hanya ada 34 rumah sakit jiwa (RSJ) milik pemerintah, 9 RSJ swasta, dan 1 RS ketergantungan obat untuk 270,2 juta jiwa rakyat Indonesia. Semua RSJ itu tersebar di 28 provinsi. Artinya, enam provinsi tidak memiliki RSJ, yaitu Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat.
Jumlah tenaga kesehatan jiwa pun terbatas. Hingga Oktober 2020, ada 1.053 psikiater, 2.800-an psikolog klinis, dan 7.000-an perawat jiwa komunitas yang umumnya terkumpul di kota besar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut rasio ideal jumlah psikolog klinis dan psikiater di suatu negara adalah satu banding 30.000 penduduk, tetapi di Indonesia mencapai satu banding 70.000 penduduk.
Mengakses layanan kesehatan mental juga tidak semudah menjangkau layanan kesehatan fisik. Hanya puskesmas dan rumah sakit tertentu yang memberikan layanan kesehatan jiwa. Selain itu, saat puncak pandemi, banyak fasilitas dan tenaga kesehatan fokus menangani Covid-19 sehingga mereka yang tidak mengalami kedaruratan, termasuk gangguan jiwa, disarankan tidak mengunjungi fasilitas kesehatan.
Kabar gembiranya, layanan kesehatan jiwa daring berkembang pesat selama pandemi, baik berbayar maupun gratis. Meski layanan psikolog dan psikiater makin mudah dijangkau dan bisa diakses termasuk dari daerah dengan layanan kesehatan jiwa terbatas, untuk mendapat layanan tenaga kesehatan jiwa tertentu bisa antre beberapa minggu.
Baca juga : Menjaga Kewarasan Masyarakat dengan Memanfaatkan Teknologi
Kesadaran masyarakat, khususnya anak muda, terhadap kesehatan jiwa juga membaik. Kesehatan jiwa tak lagi ditabukan untuk dibicarakan di kalangan anak muda. Namun, maraknya informasi kesehatan mental juga mendorong swadiagnosis yang bisa membahayakan diri.
Meski demikian, rendahnya literasi, stigmatisasi, penghakiman sepihak, perundungan, hingga diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa masih jadi persoalan besar. Pandangan orang dengan masalah kesehatan jiwa sebagai orang yang lemah, penakut, pemalas, ambisius, mudah putus asa, dan tidak punya iman masih kuat tertanam di pikiran masyarakat.
Padahal, masyarakat yang memahami kesehatan jiwa bisa jadi solusi atas keterbatasan layanan ataupun dukungan bagi penderita gangguan jiwa. Dukungan masyarakat penting karena gangguan jiwa tidak bisa diterapi dengan obat-obatan saja seperti umumnya penyakit fisik. Pendekatan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual harus dilakukan bersama demi memperoleh hasil optimal.
Keberpihakan
Karena itu, saat ini adalah momen terbaik untuk mendongkrak investasi kesehatan mental. Jika terus ditunda, risikonya terlalu besar bagi produktivitas, kesejahteraan, dan ekonomi negara.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan ada 20 juta orang yang mengalami gangguan mental emosional, 12 juta orang depresi, dan 450.000 pengidap skizofrenia di Indonesia. Sementara secara global, satu dari tujuh penduduk bumi mengalami gangguan mental. Kerugian dunia akibat depresi dan kecemasan per tahun mencapai 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 14.000 triliun.
Selain itu, struktur penduduk Indonesia saat ini yang didominasi oleh penduduk muda dan produktif memberi kerentanan tersendiri. Risiko anak muda mengalami gangguan mental emosional lebih besar dibandingkan penduduk dewasa. Perkembangan teknologi yang serba memudahkan turut memperlambat kematangan emosi anak muda. Gangguan mental emosional orang muda ini akan mengurangi produktivitas serta memperlambat pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa.
Untuk itu, keberpihakan kebijakan dan anggaran pemerintah sangat diperlukan. Walau Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, hingga kini belum ada aturan turunannya hingga UU itu belum bisa dijalankan.
Program pembiayaan kesehatan jiwa juga sangat rendah. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia 2021 menunjukkan, anggaran kesehatan jiwa hanya 1 persen dari total anggaran kesehatan pemerintah sebesar 5 persen dari belanja negara.
Anggaran kesehatan jiwa Indonesia itu lebih rendah dari rata-rata anggaran kesehatan jiwa negara-negara lain sebesar 2 persen. Meski menurut WHO dari setiap 1 dollar AS yang diinvestasikan untuk penanganan depresi dan kecemasan akan diperoleh hasil 5 dollar AS, nyatanya kepedulian negara masih rendah.
Investasi itu bukan hanya untuk membangun RSJ, tetapi juga melatih tenaga kesehatan jiwa serta mendorong peningkatan jumlah dan penyebaran psikiater dan psikolog klinis ke seluruh Indonesia. Penguatan keluarga juga menjadi isu penting karena selama ini keluarga yang memiliki penderita gangguan jiwa dipaksa berjuang sendiri. Padahal, mendampingi penderita gangguan jiwa tidak mudah, butuh pengorbanan tenaga, perasaan, waktu, dan biaya yang besar.
Baca juga : Dukungan Orang Sekitar Penting bagi Penderita Gangguan Jiwa
Selain itu, investasi kesehatan jiwa yang memadai juga akan menekan berbagai persoalan sosial yang berdampak besar bagi kesejahteraan dan ekonomi bangsa. Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berbasis jender, perundungan, tawuran, penggunaan narkoba dan obat terlarang, hingga korupsi akan bisa ditekan jika masyarakat sehat jiwa dan raganya.
Kini, saatnya kita berubah. Kesehatan jiwa bukanlah isu abstrak yang tidak terjamah, bukan persoalan yang terkait makhluk gaib serta bisa ditangani secara medis dan psikologis. Semua orang dari semua umur rentan mengalami gangguan mental emosional. Hanya kepedulian bersama pemerintah dan masyarakatlah yang akan menjaga jiwa kita tetap sehat sehingga semua orang bisa produktif, sejahtera, dan bermartabat.