Dukungan Orang Sekitar Penting Bagi Penderita Gangguan Jiwa
Kemampuan untuk memahami kesehatan mental diri hingga bisa memberi dampak positif dan peduli pada orang lain harus dimiliki siapapun, tanpa pandang umur atau latar belakang apapun.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Terbatasnya akses layanan kesehatan jiwa membuat masyarakat berperan besar dalam menjaga kesehatan jiwa bersama. Ikatan sosial masyarakat yang tinggi bisa jadi modal untuk memperkuat kesehatan mental. Namun kurangnya pengetahuan dan keterampilan membuat niat membantu itu justru bisa makin melukai penderita gangguan jiwa.
Untuk 270 juta penduduk, Indonesia hanya memiliki 1.053 psikiater dan 2.800-an psikolog klinis yang terkumpul di kota besar hingga Oktober 2020. Selain itu, hingga 2019, baru ada 48,1 persen atau 247 kabupaten/kota yang memiliki puskesmas mampu melayani kesehatan jiwa, 43 rumah sakit jiwa (RSJ), dan enam provinsi tidak memiliki RSJ.
"Padahal, setiap orang pasti pernah mengalami pergumulan dalam hidupnya yang membuat mereka butuh bantuan tenaga profesional atau dukungan masyarakat sekitar," kata Sandersan Onie, penulis buku Indonesian Mental Health First Aid Booklet, Panduan Pertolongan Pertama Kesehatan Jiwa Indonesia dalam peluncuran daring bukunya di Jakarta, Sabtu (6/11/2021).
Dukungan itu tak hanya diperlukan bagi mereka yang sudah mengembangkan gangguan kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi, namun bagi siapapun yang tengah menghadapi berbagai persoalan hidup. Mereka yang kesulitan ekonomi, relasi sosial tidak harmonis, atau kelelahan akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai, semua butuh dukungan orang lain.
Pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun, Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebut ada 9,8 persen atau lebih dari 20 juta orang terkena gangguan mental emosional, 6,1 persen atau sekitar 12 juta orang mengalami depresi, dan 450.000 pengidap skizofrenia (psikosis). Dari seluruh penderita depresi, diperkirakan hanya satu juta orang yang dapat pertolongan medis.
Sandersan menambahkan, meminta bantuan kepada tenaga kesehatan jiwa profesional sangat penting guna menegakkan diagnosis. Namun, interaksi dengan psikiater atau psikolog klinis dengan pasien atau klien itu umumnya hanya satu sampai dua jam per minggu. Sisanya, dukungan keluarga dan orang sekitar menjadi penopang utama keberhasilan penanganan kesehatan jiwa.
"Namun, niat baik membantu mereka yang mengalami tekanan atau gangguan jiwa saja tak cukup. Pengetahuan dan keterampilan dibutuhkan sehingga bantuan yang diberikan bisa bermanfaat dan tidak malah memperburuk keadaan," katanya.
Karena itu, lanjut Sandersan, semua orang perlu peduli dan waspada dengan gangguan jiwa. Bukan hanya mereka yang sakit atau mengalami gangguan, keluarga atau orang di sekitarnya pun perlu paham. Tanpa pengelolaan kesehatan jiwa yang baik, mereka yang semula sehat dan mendampingi penderita gangguan jiwa, juga bisa mengalami gangguan jiwa akibat kelelahan dan stres berkepanjangan.
Jika diri kita tidak sehat, maka akan sulit membantu yang lain
"Jika diri kita tidak sehat, maka akan sulit membantu yang lain," tambahnya. Jika setiap individu memiliki jiwa yang sehat, maka lingkungan sekitar pun akan sehat dan bangsa yang sehat mentalnya pun bisa terwujud.
Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Indria Laksmi Gamayanti mengatakan, seseorang dikatakan memiliki jiwa yang sehat jika mereka menyadari kemampuannya, tahu kelebihan atau kekurangannya, serta bersedia mengembangkan potensi yang dimiliki dan memperbaiki kekurangannya.
Dengan kondisi itu, mereka akan mampu beradaptasi dan melenting saat menghadapi tekanan di sepanjang kehidupan mereka. Dengan demikian, mereka bisa menjaga produktivitasnya, termasuk yang bersifat non-material, serta berkontribusi pada kelompok atau lingkungannya hingga mereka bisa lebih sejahtera.
Untuk menjadi manusia yang sehat jiwanya, lanjut Indria, dukungan lingkungan sangat penting. "Manusia membutuhkan interaksi yang melibatkan seluruh pancaindera, baik dengan manusia maupun alam di sekitarnya," katanya. Dengan terbatasnya tatap muka langsung selama pandemi, kebutuhan atas interaksi yang melibatkan seluruh indera menjadi tidak optimal.
Saat berinteraksi dengan sesama, setiap orang pasti memiliki kebutuhan berbeda. Karena itu sebelum menjalin relasi sosial, setiap orang perlu memahami kebutuhan diri dan berdamai dengan keadaan yang ada. Jika pemahaman diri itu sudah terbentuk, maka mereka akan lebih mudah peduli dan memahami orang lain.
"Jaga kesehatan mental kita dulu. Kalau tidak, kita akan sulit memberi perhatian tulus kepada orang lain," katanya. Orang yang terluka jiwanya, tanpa mereka sadari, juga bisa melukai jiwa orang lain.
Kemampuan untuk memahami kesehatan mental diri hingga bisa memberi dampak positif dan peduli pada orang lain harus dimiliki siapapun, tanpa pandang umur atau latar belakang apapun. Namun, literasi tentang kesehatan jiwa di Indonesia masih sangat kurang.
Penulis lagu dan musisi yang banyak membawakan lagu rohani Sydney Mohede yang besar di Amerika Serikat mengatakan, kesehatan mental belum menjadi perhatian di Asia, khususnya Asia Tenggara. Kesehatan jiwa juga masih tabu dibicarakan di ruang publik. Namun, justru banyak orang justru meluapkan keluh kesah dan persoalan pribadinya di media sosial.
Padahal, menceritakan persoalan pribadi, khususnya yang menyangkut kesehatan jiwa, di media sosial justru bisa membahayakan mereka. Alih-alih mendapat simpati, banyak orang yang menyampaikan isi hatinya di media sosial justru mengalami perundungan. Karena itu, penting menceritakan persoalan yang kita hadapi pada orang-orang tertentu yang bisa dipercaya.
Namun, kini makin banyak anak muda kesulitan memiliki teman di dunia nyata. "Keterhubungan dengan internet dan media sosial banyak memunculkan kesepian pada generasi muda. Mereka sulit membangun hubungan yang bermakna di dunia nyata," katanya.
Karena itu, Sydney yang lebih banyak membawakan lagu-lagu rohani berusaha untuk menuliskan lagu yang memiliki makna dan bisa berdampak positif pada orang yang mendengarkan lagunya. Musik sebagai bahasa yang universal seharusnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebaikan dengan orang lain.
Sementara itu, Pendiri Sekolah Lentera Kasih Tedja Widjaja dan Linda Lesmana mengatakan, pentingnya pengetahuan tentang kesehatan mental dalam proses pendidikan anak. Setiap anak memiliki keunikan sendiri dan kondisi kesehatan jiwa mereka akan berkembang sesuai bertambahnya umur mereka. Karena itu, sekolah, guru, maupun orangtua perlu memahami kondisi itu.
Menurut Linda, setiap orang memiliki tujuan hidup sendiri sehingga setiap anak tidak bisa dibanding-bandingkan. Untuk itu, anak perlu dididik untuk bisa belajar memahami kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki hingga mereka bisa mencapai cita-cita yang mereka kehendaki. Jika mereka paham kondisi kesehatan jiwanya, mereka akan lebih tahan dan punya daya lenting saat menghadapi masalah.
Tedja menambahkan, kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah dan menghadapi tantangan yang mereka hadapi sendiri penting karena hidup pasti akan ada masalah dan orangtua tidak akan mungkin menemani anaknya terus menerus. Karena itu, pengalaman berbuat salah atau menghadapi hal tak mengenakkan bermanfaat juga bagi anak.
"Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang diproteksi secara berlebihan dan dituntut untuk selalu berhasil akan menjadi anak yang tidak elastis saat menghadapi kegagalan karena mereka tidak siap untuk gagal," katanya.
Karena itu, penting bagi siswa untuk peduli dengan kesehatan jiwa mereka, bisa rendah hati, peduli, serta bisa membangun hubungan dengan orang lain. Dengan kemampuan tersebut, anak bisa membantu sesamanya. Saat membantu orang lain, sejatinya mereka sedang menolong diri mereka untuk tetap sehat secara mental.
Namun kesehatan mental bukanlah sesuatu hal yang intuitif, tetapi harus dipelajari. Karena itu, selain dibangun di sekolah, kepedulian tentang kesehatan jiwa juga harus dibangun di dalam keluarga maupun komunitas. Masyarakat seharusnya sadar bahwa materi tidak akan menyelesaikan semua persoalan anak, tetapi materi bisa memberi pilihan kepada anak untuk membuat mental mereka tetap sehat.