Pastikan Rehabilitasi Anak Korban Kekerasan Seksual Tuntas
Korban kekerasan seksual perlu menjalani rehabilitas hingga tuntas sehingga anak dapat kembali pulih dan bangkit dari keterpurukan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak korban kekerasan seksual perlu dipastikan menjalani rehabilitasi hingga tuntas. Dengan rehabilitasi, korban dapat melanjutkan hidup dan kembali ke kehidupan sosial.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Divisi Monitoring dan Evaluasi, Jasra Putra, mengatakan, sesuai kajian dan survei KPAI di 23 provinsi pada 2018, hampir 60 persen anak korban kekerasan seksual tidak direhabilitasi hingga tuntas.
”Kendala secara umum adalah soal anggaran. Sumber daya manusia (untuk rehabilitasi korban) tidak maksimal karena anggaran daerah tidak mencukupi. Ada juga kendala manajemen kelembagaan. Sebagian SDM bekerja secara sukarela sehingga kita tidak bisa menuntut kinerja tinggi dari mereka,” kata Jasra saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (15/12/2021).
Hampir 60 persen anak korban kekerasan seksual tidak direhabilitasi hingga tuntas.
Hal serupa ditemukan pula dalam penelitian KPAI pada 2019. Penelitian dilakukan terhadap 119 responden di 23 provinsi. Responden adalah pimpinan dan pelaksana rehabilitasi dari, antara lain, lembaga masyarakat, lembaga bantuan hukum, rumah sakit umum daerah, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Penelitian itu menyatakan bahwa hak rehabilitasi anak korban kekerasan seksual yang dilaksanakan hingga tuntas hanya 48,3 persen. Penyebabnya, antara lain, korban pindah domisili, keluarga korban menolak rehabilitasi, dan anggaran lembaga terbatas (Kompas.id, 19/2/2020).
”Persoalan lainnya adalah keluarga ingin melakukan rehabilitasi secara mandiri. Jika tidak didampingi, hasil rehabilitasi tidak akan maksimal,” kata Jasra.
Adapun rehabilitasi korban kekerasan seksual penting agar anak dapat kembali pulih dan bangkit dari keterpurukan. Kendati trauma tidak dapat hilang sepenuhnya, setidaknya korban dapat kembali melanjutkan kehidupan dan kembali ke kehidupan sosial.
Sementara itu, psikolog klinis anak dan remaja Arijani Lasmawati mengatakan, penanganan korban kekerasan seksual mesti hati-hati, terutama jika korbannya anak-anak. Saat korban dimintai keterangan, misalnya, orang dewasa mesti menjaga nada bicara agar tetap tenang dan tidak mendesak korban. Jika tidak, anak rentan merasa terintimidasi, cemas, hingga menjadi korban kekerasan berulang.
Orangtua, keluarga, atau orang dekat korban juga perlu menjaga emosi di depan korban. Jika tidak, anak dapat berpikir bahwa dirinya turut bersalah atas kekerasan yang dialaminya.
”Anak-anak perlu diyakinkan bahwa dirinya disayangi. Orangtua perlu memberi pemahaman bahwa anak akan tetap dicintai terlepas dari apa pun yang terjadi,” kata Arijani.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mendorong pemerintah daerah untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak secara komprehensif. Ia juga menekankan pentingnya pencegahan kasus serupa.
”Melihat kasus-kasus belakangan ini, monitoring dan evaluasi menjadi penting,” kata Bintang melalui keterangan tertulis. ”Kasus-kasus seperti ini hulunya yang harus kita selesaikan sehingga pencegahan menjadi penting,” ujarnya.
Sebelumnya, ada sederet kasus kekerasan seksual kepada anak di sejumlah daerah di Indonesia. Polres Depok menangkap guru mengaji yang melakukan kekerasan seksual kepada 10 murid perempuan berusia 10-15 tahun. Ada pula kasus pemerkosaan oleh Herry Wirawan (36) terhadap 13 murid di pondok pesantrennya di Bandung. Pemerkosaan berulang juga terjadi kepada anak 14 tahun yang dilakukan oleh ayah kandungnya.
Lembaga pendidikan
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat Agung Kim Fajar Wiyati Oka menyatakan, pemberian izin lembaga pendidikan perlu diperketat. Setelahnya, evaluasi dan pemantauan mesti dilakukan, khususnya di pesantren.
Korban juga didorong agar berani melaporkan kasus. Publik bisa menelepon nomor 129, yaitu hotline Sahabat Perempuan dan Anak (Sapa) dari Kementerian PPPA. Publik juga bisa mengakses nomor Whatsapp 08111-129-129.
Arijani menambahkan, pola asuh demokratis dibutuhkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri anak dan penghargaan diri pada anak. Hal ini mendorong anak untuk kritis terhadap hak dan kewajibannya sebagai individu. Modal ini dibutuhkan untuk mengajarkan pendidikan seksual.