Di tengah merebaknya penyebaran varian Omicron, kewaspadaan terhadap penularan Covid-19 perlu ditingkatkan. Itu seiring memburuknya sejumlah indikator penanggulangan penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA/AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah penyebaran varian Omicron yang terus meluas ke sejumlah negara, penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia menunjukkan sinyal kuning. Hal itu ditandai dengan tren negatif beberapa indikator penanggulangan penyakit itu di tengah meluasnya penyebaran varian Omicron.
Selain kasus aktif serta tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit dan Wisma Atlet meningkat, mobilitas masyarakat juga naik serta ada penurunan kepatuhan protokol kesehatan dan laju vaksinasi.
”Meski jumlah kasus pekan ini turun, kasus aktif naik empat hari berturut-turut. Bahkan, kasus aktif di Jawa-Bali meningkat enam hari berturut-turut pada 23-28 November 2021,” kata Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (2/12/2021).
Wiku menambahkan, jumlah keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit meningkat dari 1,76 persen pada 7 November 2021 menjadi 2,2 persen pada 28 November 2021. Peningkatan BOR menjadi indikasi kenaikan kebutuhan layanan bagi pasien bergejala sedang dan berat.
Meski jumlah kasus pekan ini turun, kasus aktif naik empat hari berturut-turut. Bahkan, kasus aktif di Jawa-Bali meningkat enam hari berturut-turut pada 23-28 November 2021.
Angka reproduktif aktif (Rt) yang jadi tanda tingkat penularan kasus di suatu wilayah juga meningkat. Jika angka reproduktif aktif 1, artinya satu orang yang positif Covid-19 bisa menularkan kepada satu orang lain. Tingkat Rt lima pekan terakhir naik dari 0,96 menjadi 0,99.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian karena tingkat mobilitas warga makin tinggi. Perjalanan dengan kereta naik dari 100.000 perjalanan pada Juli 2021 menjadi 600.000 perjalanan pada November lalu. Perjalanan dengan pesawat pun naik 350 persen lima bulan terakhir.
”Idealnya, peningkatan aktivitas diikuti peningkatan kepatuhan protokol kesehatan. Namun, data menunjukkan sebaliknya terkait dengan kepatuhan penggunaan masker dan jaga jarak,” kata Wiku.
Penguatan protokol kesehatan harus terus dilakukan disertai pelacakan, pemeriksaan, dan layanan kesehatan optimal. Cakupan vaksinasi Covid-19 perlu dikejar demi memaksimalkan proteksi warga.
Pengaturan penutupan pintu masuk yang dilakukan dengan menangguhkan pemberian visa kepada warga negara asing tersebut dikecualikan kepada pemegang visa diplomatik dan dinas.
Selain itu, pengecualian berlaku bagi pejabat asing setingkat menteri ke atas, rombongan yang melaksanakan kunjungan resmi atau kenegaraan dengan skema travel corridor arrangement, serta delegasi negara anggota G-20. Bagi warga negara asing (WNA) yang mendapat pengecualian ini tetap menerapkan sistem bubble dan protokol kesehatan secara ketat.
Bagi warga negara Indonesia (WNI) yang berasal dari negara atau wilayah yang terkonfirmasi adanya varian Omicron tetap dapat memasuki wilayah Indonesia dengan dilakukan tes ulang RT-PCR saat kedatangan dan diwajibkan menjalani karantina selama 14 hari.
Sementara itu, WNA dan WNI dari negara lain bisa masuk ke Indonesia, tetapi wajib menjalani karantina selama 7 hari. Sebelumnya, pelaku perjalanan internasional yang masuk ke Indonesia hanya wajib menjalani karantina selama 3-5 hari.
Varian Omicron
Terkait dengan kewaspadaan pada varian Omicron, pemerintah menutup sementara pintu masuk dari negara yang ditemukan kasus varian baru virus SARS-CoV-2 itu.
Warga negara Indonesia dari negara yang ada kasus varian Omicron bisa memasuki Indonesia dengan tes ulang RT-PCR saat kedatangan dan wajib menjalani karantina 14 hari. Adapun WNA dan WNI dari negara lain bisa masuk ke Indonesia, tetapi wajib karantina 10 hari. Sebelumnya, pelaku perjalanan internasional yang masuk ke Indonesia hanya wajib menjalani karantina 3-5 hari.
Pada hari Kamis, India melaporkan telah mendeteksi keberadaan varian ini. Dua pria di negara bagian Karnataka, India Selatan, telah dites positif untuk varian Omicron setelah kembali dari luar negeri. Sebelumnya, Rabu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, 23 negara di dunia telah melaporkan kasus varian Covid-19 Omicron. Terbaru adalah Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.
Sementara kasus Covid-19 di Afrika Selatan, yang melaporkan temuan varian Omicron, naik hampir dua kali lipat dalam sehari. Data di worldometers.info menunjukkan, ada 8.561 kasus baru Covid-19 pada Rabu (1/12/2021). Sehari sebelumnya ada 4.373 kasus sehari.
Epidemiolog di Griffith University, Dicky Budiman, memaparkan, lonjakan kasus dan positivity rate terutama terjadi di Provinsi Guateng, Afrika Selatan, yang menjadi episenter awal ditemukannya varian baru Omicron. ”Lonjakan kenaikan kasus jauh lebih tinggi ketimbang saat ada lonjakan kasus disebabkan varian Delta dan Beta,” kata Dicky.
Penyebaran Omicron juga terus bertambah. ”Setidaknya 23 negara di lima dari enam wilayah WHO kini telah melaporkan kasus Omicron dan kami memperkirakan jumlah itu terus bertambah,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam keterangan pers, Rabu (1/12/2021), di Geneva, Swiss.
Dampak pada tes PCR
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama mengatakan, dengan melihat perkembangan terkini Omicron, Indonesia mesti meningkatkan kewaspadaan dengan pendekatan risiko dan mitigasi berlapis.
Tjandra mengatakan, dampak Omicron amat luas, termasuk pada pemeriksaan tes PCR (reaksi rantai polimerase). ”Mutasi spike protein (protein paku) di posisi 69-70 pada Omicron menyebabkan terjadi fenomena ’S gene target failure (SGTF)’ di mana gen S tidak akan terdeteksi dengan tes PCR lagi. Hal ini disebut juga drop out gen S,” ujarnya.
Meski ada masalah di gen S, ada gen-gen lain yang bisa dideteksi sehingga secara umum PCR masih dapat berfungsi. Justru tidak terdeteksinya gen S pada pemeriksaan PCR dapat dijadikan indikasi awal kemungkinan yang diperiksa adalah varian Omicron, yang perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS)” untuk memastikannya.
Tjandra mengutarakan, dengan keterbatasan kemampuan WGS, Indonesia bisa memanfaatkan fenomena SGTF untuk menyaring mana yang prioritas dilakukan WGS. Faktor lain untuk penapisan dini adalah dengan melihat kasus berat, kluster, atau ada kasus yang tidak wajar perburukan gejala klinisnya.