Umumkan Jutaan Nama yang Terpental dari Kepesertaan BPJS Kesehatan
Ombudsman RI menemukan jutaan nama terpental dari daftar kepesertaan BPJS Kesehatan. Kementerian Sosial beserta dinas sosial provinsi dan kabupaten/kota diminta mengumumkan nama-nama tersebut berikut alasannya.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Ombudsman Republik Indonesia meminta Kementerian Sosial dan dinas sosial provinsi dan kabupaten/kota untuk mengumumkan jutaan nama yang terpental dari daftar kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan berikut alasannya. Proses bisnis pun diharapkan dapat diringkas dan tidak birokratis sehingga mempercepat proses pengaktifan kembali bagi masyarakat yang memenuhi syarat untuk direaktivasi.
”Teman-teman juga silakan mengecek status kepesertaan teman-teman. Jangan-jangan juga ada di antara kita yang terpental dari daftar yang ada. (Hal ini) Karena per 1 Oktober kemarin ada cukup banyak, jutaan secara nasional, para peserta BPJS Kesehatan terpental. Ini terkait dengan data yang ada di dinas sosial di pemerintahan daerah maupun DTKS di Kementerian Sosial,” kata anggota Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng, di Jakarta, Senin (15/11/2021).
Robert mengatakan, Kementerian Sosial sebaiknya membuka atau mengumumkan secara transparan siapa saja yang terpental, serta alasan mereka terpental. ”Jangan kemudian ketika sudah sakit, berurusan dengan rumah sakit, baru ketahuan kalau sesungguhnya bapak ibu itu sudah berhari-hari, berminggu-minggu, atau berbulan-bulan sudah terpental daftarnya,” ujarnya.
Robert mengatakan hal ini saat memberikan pidato kunci pada diskusi isu aktual yang mengusung tema ”Update Publik Hasil Pengawasan Pelayanan Bidang Kepegawaian dan Jaminan Sosial”. Pemapar pada acara diskusi tersebut adalah pelaksana tugas Kepala Pemeriksaan Laporan Keasistenan Utama VI Ombudsman Republik Indonesia Ahmad Sobirin.
Robert menuturkan terpentalnya sejumlah peserta, terutama penerima bantuan iuran (PBI), bukan karena kemauan sendiri itu menjadi salah satu isu dari kepesertaan. ”Dikeluarkanlah, kalau bahasa sederhananya. Dikeluarkan dari daftar yang ada. Ini penting karena kami juga cukup banyak mendapatkan telepon dari para peserta, tadinya (peserta), (yang) kemudian dia tidak dapat mengakses itu,” katanya.
Di sesi tanya jawab, Robert menuturkan dia bulan lalu pergi ke Jawa Tengah. ”Dan, mendapatkan informasi ada sekitar 8.000 warga yang kemudian, dalam bahasa kita, terpental dari daftar. Dan itu (data) kasar nasional jutaan tuh, kalau enggak salah 8 juta peserta. Dan kemudian laporan dari kantor-kantor perwakilan Ombudsman, seperti dari NTT, Bangka Belitung, dan sebagainya juga muncul problem yang sama,” katanya.
Untuk ke depan, menurut Robert, Ombudsman RI meminta pihak terkait menyampaikan secara terbuka daftar kepesertaan. Hal ini karena hingga hari ini, umumnya, masyarakat baru mengetahui dia tidak ada lagi dalam daftar kepesertaan setelah yang bersangkutan mengurus ke fasilitas kesehatan atau ke layanan.
”Artinya, dia tidak tahu. Publik tidak mendapatkan informasi. Di sini soal transparansi informasi; apakah dari dinas sosial ataupun Kementerian Sosial di pusat, untuk menyampaikan daftar (nama) yang memang sudah tidak lagi menjadi bagian dari daftar kepesertaan. Kemudian, kedua, jelaskan kenapa itu terjadi? Apa alasannya?” ujar Robert.
Transparansi ini penting untuk menghindarkan masyarakat baru tahu namanya tidak ada lagi di daftar setelah berurusan dengan pihak rumah sakit atau layanan kesehatan.
Menurut Robert, transparansi ini penting untuk menghindarkan masyarakat baru tahu namanya tidak ada lagi di daftar setelah berurusan dengan pihak rumah sakit atau layanan kesehatan.
Di sisi lain, laporan dari NTT maupun Bangka Belitung, pengaktifan kembali sangat birokratis. ”Dari peserta yang bersangkutan, kemudian apakah puskesmas atau rumah sakit, baru kemudian akan disampaikan ke dukcapil—dinas terkait kependudukan—ini soal identitas kependudukan. Kemudian dari dukcapil itu naik ke dinas sosial. Dari dinsos baru kemudian ke BPJS. Ini proses yang sangat panjang,” katanya.
Namun, ada pula proses tersebut dipotong sehingga dari fasilitas kesehatan puskesmas itu langsung dia tidak lagi naik melalui berbagai tahapan tadi, melainkan langsung ke ujungnya.
”Nah, di sini kemampuan dinas sosial dalam memverifikasi atau memvalidasi juga jadi isu krusial. Ketidakmampuan atau ketidaktahuan mereka dalam memverifikasi memvalidasi data menyebabkan masyarakat yang kemudian terkena (menjadi) korban,” katanya.
Transparansi informasi
ORI meminta transparansi informasi terkait daftar kepesertaaan yang terpental serta alasan terpental dari dinas sosial maupun Kementerian Sosial. ”Di lapangan kita berharap, tidak hanya di Bangka Belitung tapi juga tempat-tempat lain, perlu meringkas proses bisnisnya yang hari ini masih sangat berbelit, bertahap-tahap, dari puskesmas, dukcapil, dinas sosial, ke BPJS. Ini dipotong sehingga kemudian dari puskesmas atau fasilitas kesehatan atau rumah sakit langsung ke proses di ujung sehingga masyarakat tidak menjadi korban,” ujar Robert.
Robert pun memberikan informasi untuk mendapatkan konteks tepat terkait penghapusan, penggantian, atau penambahan daftar. Ada Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. Peraturan tersebut memungkinkan penghapusan, penggantian, atau penambahan daftar.
”Jadi, memang ada regulasinya. Tetapi, ketika terjadi, apakah penghapusan, penggantian, atau penambahan alasan itu yang harus disampaikan kepada publik. Sementara ini, kan, dugaannya, penghapusan itu karena peserta PBI, ini yang terkait penerima bantuan iuran, bisa karena dia tidak memiliki NIK lagi. Ini juga soal, apakah orang yang sudah jadi peserta terpental, terhapuskan, itu karena NIK-nya bermasalah? Atau, mungkin yang bersangkutan tidak lagi masuk kategori sebagai kelompok miskin yang dapat subsidi? Nah, itu kan juga jadi beberapa hal yang diperkirakan juga jadi alasan. Hal-hal seperti ini yang harus disampaikan,” kata Robert.
Mengenai pengurangan jumlah peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan dari pemerintah, Ahmad Sobirin menuturkan bahwa Kementerian Sosial beberapa waktu lalu pernah menyebutkan mereka melakukan pemadanan data di DTKS terkait dengan data PBI JKN.
”Jadi, diduga ada peserta PBI-JK (penerima bantuan iuran jaminan kesehatan) yang selama ini jumlahnya sekitar 12 juta, itu tidak ada di DTKS. Dan itulah yang oleh Kementerian Sosial akan dikeluarkan karena memang di dalam peraturan, syarat untuk memperoleh program penerima bantuan iuran jaminan kesehatan itu adalah yang masuk dalam DTKS, data terpadu kesejahteraan sosial,” ujarnya.
Dari sekitar 12 juta tersebut, Ahmad Sobirin menuturkan, yang sudah disisir per 1 Oktober 2021 adalah 9 juta lebih dan ini masih berproses selanjutnya. ”Sehingga, data yang tidak ada di DTKS inilah mungkin akan dilakukan verifikasi dan juga akan diteliti kembali oleh Kementerian Sosial, menggunakan tangan dinas sosial. Kalau memang hasil verifikasinya dinyatakan layak, maka akan dimasukkan DTKS,” katanya.
Kita sarankan agar dilakukan pengecekan pada seluruh masyarakat. Apabila mengalami kendala, ada hal yang kira-kira menurut masyarakat kurang tepat, silakan lapor kepada pihak terkait; baik lapor ke kelurahan, kantor BPJS, dinas sosial.
Senada dengan Robert, Ahmad Sobirin menuturkan jangan-jangan masyarakat tidak tahu bahwa awalnya dia pemegang kartu JKN-KIS, tetapi tiba-tiba, ketika berubah, ternyata JKN-KIS miliknya tidak berlaku. ”Maka, kita sarankan agar dilakukan pengecekan pada seluruh masyarakat. Apabila mengalami kendala, ada hal yang kira-kira menurut masyarakat kurang tepat, silakan lapor kepada pihak terkait; baik lapor ke kelurahan, kantor BPJS, dinas sosial,” kata Ahmad Sobirin.
Seperti diberitakan Kompas, Senin (27/9/2021), pemerintah diminta mempertimbangkan kembali kebijakan terkait Jaminan Kesehatan Nasional yang mengeluarkan sekitar 9 juta rakyat miskin dari program tersebut. Menteri Sosial didesak segera mencabut Keputusan Menteri Sosial Nomor 92 Tahun 2021 tentang Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2021 yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat miskin.
Dalam keterangan pers, BPJS Watch mengungkapkan, berdasarkan Kepmensos tersebut, data fakir miskin dan orang tidak mampu berdasarkan data terpadu kesejahteraan sosial sebanyak 74.420.345 jiwa. Sementara data yang dilakukan perbaikan dengan menggunakan nomor induk kependudukan sebanyak 12.633.338 jiwa.
Jumlah peserta PBI per 1 September 2021 sebanyak 96,1 juta jiwa, dari kuota PBI yang dibiayai APBN sebanyak 96,8 juta jiwa sebagaimana diatur dalam Kepmensos No 1 Tahun 2021. Pembersihan data (cleansing data) biasa dilakukan Kemensos.
”Namun, sejak awal tahun 2021 ini hingga saat ini, proses cleansing data tidak dilakukan pada dua sisi, yaitu mengeluarkan dan mendaftarkan peserta baru di PBI. Yang ada hanya mengeluarkan masyarakat miskin sebagai peserta PBI, tanpa menambah lagi,” kata Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, Minggu (26/9/2021).
Ketika dikonfirmasi hal ini, Kepala Biro Humas Kemensos Hasim mengungkapkan tidak ada orang miskin yang dikeluarkan dari Program JKN. ”Seperti telah disampaikan Menteri Sosial bahwa tidak ada orang miskin yang dikeluarkan dari program JKN. Itu hanya karena banyak yang ganda dan tidak ada di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri,” kata Hasim, Minggu.