Kehamilan remaja menjadi salah satu persoalan besar yang harus diatasi Indonesia. Karena kompleksnya persoalan ini, upaya mengatasinya harus sistemik dan melibatkan banyak pihak.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Ketika seorang remaja perempuan hamil, kehidupan saat ini dan masa depannya berubah drastis dan jarang sekali perubahan itu menjadi lebih baik. Kehamilan remaja menjadi beban fisik, perkembangan, dan sosial, serta menghancurkan haknya akan transisi yang sukses menuju kedewasaan.
Aspek kesehatan, pendidikan, dan peluang mendapatkan pekerjaan yang layak seorang remaja yang hamil terganggu dan risiko untuk jatuh miskin pun semakin berlipat. Sebagian kecil kehamilan remaja mungkin atas dasar pilihan, tetapi mayoritas terjadi akibat minimnya pilihan dan kesempatan.
Di tingkat global, kehamilan remaja menjadi permasalahan baik di negara berkembang maupun negara maju. Menurut data Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) tahun 2016, sekitar 16 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 19 juta remaja di tahun 2035.
Sementara di Indonesia, Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 memperlihatkan, dua dari tiga perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun hamil pertama kali di usia sebelum 18 tahun. Sementara menurut Indeks Pembangunan Pemuda Indonesia 2018, persentase remaja yang hamil 16,67 persen.
Kehamilan remaja adalah persoalan sistemik. Oleh karena itu, solusinya pun harus sitemik.
Hasil studi Kisara Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali di Denpasar, Bangli, dan Jembrana tahun 2016 dan 2019 menyajikan sedikit gambaran mengapa kehamilan remaja kerap terjadi. Studi ini menyatakan bahwa mayoritas remaja memiliki pengetahuan yang baik terkait pubertas. Namun, hanya sedikit yang paham soal proses reproduksi, seperti dorongan seksual ataupun kehamilan. Selain itu, remaja yang paham risiko perilaku seksual juga sedikit.
Studi itu juga mengungkap tiga alasan utama perilaku seksual berisiko remaja, yaitu keinginan bersama, rasa ingin tahu, dan diajak pasangan.
Kehamilan di kalangan remaja yang tinggi tidak bisa dilepaskan dari tingginya perkawinan anak. Laporan ”Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Unicef, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia yang diluncurkan tahun 2020, menyebutkan, pada 2018 Indonesia berada dalam daftar 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.
Dalam laporan tersebut disebutkan, satu dari sembilan anak perempuan menikah di Indonesia. Perempuan berumur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 orang.
Pandemi Covid-19 ternyata tidak dapat mengerem perkawinan anak. Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, sepanjang tahun 2020 jumlah permohonan dispensasi kawin yang masuk di pengadilan agama di seluruh Indonesia mencapai 64.000 permohonan. Angka ini naik dibandingkan pada 2019 sebanyak 24.865 permohonan.
Baik menikah atau tidak, kehamilan remaja memicu risiko berbahaya. Contohnya, remaja yang hamil di bawah umur 15 tahun memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia lain untuk mengalami robekan plasenta, gangguan persalinan, bahkan kematian. Remaja yang hamil lebih berisiko menjadi miskin dan memiliki asupan nutrisi serta kondisi kesehatan yang lebih buruk dibandingkan dengan sebayanya yang tidak hamil. Hal tersebut pada gilirannya meningkatkan risiko kematian janin, perinatal, dan ibu, serta kecacatan sebesar 50 persen (Black et al, 2008).
Selain itu, remaja yang hamil juga menghadapi stigma sosial, termasuk penolakan dan pengucilan oleh keluarga, putus sekolah, dan kekerasan. Kehamilan remaja juga sangat mungkin berakhir dengan aborsi jika dilakukan secara ilegal oleh tenaga tidak terlatih dengan prosedur tidak steril. Tindakan ini potensial berujung pada kemandulan, kecacatan, juga kematian.
Dalam diskusi virtual pada Jumat (20/8/2021), Kader Kelompok Kerja Posyandu Remaja yang juga anggota Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Lombok, Nusa Tenggara Barat, Haekal Ardyansyah, menyampaikan, banyak kasus kehamilan remaja terjadi di desa. Di tahun 2020, ada 22 kehamilan remaja di Lombok yang separuhnya adalah kehamilan tidak diinginkan.
Pemahaman remaja soal kesehatan reproduksi dan bahaya kehamilan remaja yang rendah serta stigma masyarakat bisa berujung kematian. Haekal bercerita, hal ini terjadi pada seorang remaja di Lombok yang ketahuan berhubungan seksual dan kemudian dinikahkan. Ketika hamil, ia tak tahu bagaimana merawat kehamilannya, apalagi masyarakat mengucilkan dirinya. Remaja itu juga tidak berani memeriksakan kehamilannya ke puskesmas. Ia meninggal karena kondisi kesehatannya memburuk.
Menurut Haekal, remaja harus mendapat pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif, termasuk infeksi menular seksual dan lain-lain, tidak hanya pengenalan organ reproduksi dan fungsinya. Keluarga dan masyarakat juga seharusnya menjadi pihak yang terus memberikan dukungan (support system) pada remaja yang hamil.
Riki Ramdani, Field Officer Power to You(th) Rutgers WPF Indonesia, di Lombok, mengatakan, remaja di desa kurang memiliki wadah kreativitas untuk menyalurkan potensinya. Ketika menghadapi persoalan, mereka juga bingung mencari pihak untuk bercerita. ”Konselor sebaya di desa masih minim,” ujarnya.
Ni Luh Eka Purni Nastiti, Manajer Program Get Out and Speak Up PKBI Bali, menegaskan, ”kehamilan remaja adalah persoalan sistemik. Oleh karena itu, solusinya pun harus sistemik.” Artinya, mengatasi persoalan kehamilan remaja tidak cukup dengan hanya mengedukasi remaja tanpa mengadvokasi isu ini kepada masyarakat dan pengambil kebijakan.
Selain rendahnya pengetahuan remaja soal kesehatan reproduksi, tidak memadainya layanan kesehatan reproduksi remaja yang ada dan tekanan sosial terhadap remaja yang hamil terutama sebelum menikah juga menjadi dasar mengapa solusi sistemik harus ditempuh.
Menurut Eka, dari sisi regulasi, sebenarnya kebijakan terkait kesehatan reproduksi sudah ada. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Perlu pengarusutamaan kesetaraan jender di masyarakat, misalnya. Kemudian sumber daya manusia di layanan juga harus memiliki pemahaman dan penjiwaan yang sejalan sehingga tidak memberikan stigma. Tidak hanya dinas kesehatan, dinas pendidikan pun mesti terlibat dalam edukasi.
Perlu upaya lebih keras untuk mengatasi persoalan kehamilan remaja yang kompleks. Meski di lapangan kemajuannya lambat, upaya tetap harus dilakukan agar remaja bisa terus menggapai cita-citanya.