”Body shaming” seperti yang dialami atlet angkat besi nasional Nurul Akmal bukan hal remeh. Ejekan seolah candaan itu bisa berdampak buruk bagi psikolgi dan prestasi siapa pun korbannya.
Oleh
Angger Putranto
·4 menit baca
Atlet angkat besi nasional Nurul Akmal yang baru saja berlaga di Olimpiade Tokyo 2020 mendapat perlakuan tidak mengenakkan berupa body shaming setibanya di Tanah Air. Olokan yang mungkin berupa candaan tersebut bisa berakibat fatal bagi seseorang.
Peristiwa itu terjadi saat upacara penyambutan kedatangan para atlet di Bandara Soekarno-Hatta Kamis (5/8/2021). Saat nama lifter nasional itu disebut dan Nurul Akmal muncul, tiba-tiba ada suara celetukan seorang lelaki yang mengomentari tubuh Amel, panggilan Nurul Akmal.
”Yang paling kurus,” ujar sosok pria itu mengomentari lifter yang turun di nomor + 87 kg.
Tak hanya atlet, para pesohor nan jelita, yang terkenal, superkaya, punya seabrek prestasi, juga pernah mengalami body shaming. Beberapa di antaranya mendapat perakuan body sahming dari warganet.
Selena Gomez pernah mendapat celaan karena ada bekas jahitan operasi di perutnya. Model Gigi Hadid dicela karena tubuhnya terlalu kurus, padahal saat itu ia sedang sakit. Peraih Oscar, Jennifer Lawrence, dicela karena tubuhnya dianggap punya kelebihan beberapa kilogram.
Psikolog klinis Darjanti Kalpita Rahajuningrum menyebut, body shaming yang dialami Amel dan beberapa orang mungkin berawal dari saling bercanda. ”Namun kenapa itu kerap terjadi dan terus berulang? Itu karena banyak yang tidak paham bahwa candaan itu bagi orang tertentu sangat menyakitkan dan berdampak buruk bagi korbannya,” tuturnya ketika dihubungi Kompas Jumat (6/7/2021).
Apabila korban menerima kondisi fisiknya dan menganggap celetukan itu sebagai candaan, lanjut Darjanti, mungkin tidak akan menjadi masalah. Self esteem (pemahaman kekuatan dan kelemahan diri) seseorang sangat mempengaruhi bagaimana seseorang menanggapi celetukan tersebut.
Menurut Darjanti, apabila seseorang bisa memaknai citra dirinya sendiri, yakin dengan kemampuan dirinya sendiri, dan tidak peduli dengan perkataan orang lain, tentu celetukan tersebut tidak akan berdampak. ”Terserah orang mau bilang aku sejelek apa, aku yakin bahwa aku baik-baik saja dan aku tidak seburuk yang dibilang orang,” ujar Darjanti mencontohkan.
Namun, ini justru akan menjadi masalah bagi orang yang tidak siap dengan celetukan bernada negatif tersebut. Mereka yang tidak siap ini, lanjut Darjanti, karena memiliki pandangan role model kesempurnaan fisik.
Paparan iklan di televisi atau majalah dan anggapan masyarakat itulah yang memunculkan role model kesempurnaan fisik. Hingga akhirnya seolah ada patokan bahwa kecantikan selalu diidentikkan dengan wanita bertubuh langsing, berkulit putih bersih, dan berambut lurus.
Menurut Darjanti, orang yang memiliki role model kesempurnaan fisik saat mendapat perlakuan body shaming berpotensi mengalami tekanan.
”Dampak yang dialami beragam, mulai dari yang ringan hingga berat. Dampak ringan, misalnya, malu bertemu orang hingga kehilangan kepercayaan diri. Dampak yang lebih berat bisa menimbulkan gangguan kecemasan sosial, bahkan hingga bunuh diri karena merasa tidak berharga,” ujarnya
Hal senada disampaikan Reni Kusumowardhani, anggota Ikatan Psikologi Olahraga Indonesia. Kendati celetukan itu tidak bisa dibenarkan, seorang atlet seperti Amel umumnya memiliki mental yang kuat untuk menghadapi celetukan seperti itu.
Dampak yang lebih berat bisa menimbulkan gangguan kecemasan sosial, bahkan hingga bunuh diri karena merasa tidak berharga.(Darjanti Kalpita Rahajuningrum)
Psikolog yang kerap mendampingi para atlet di sejumlah gelaran nasional dan daerah itu mengungkapkan, body shaming kerap diterima para atlet sebelum, saat, maupun seusai pertandingan. Ketika kelompok waktu itu memiliki dampak yang berbeda-beda.
”Body shaming atau ejekan yang diterima sebelum pertandingan kadang membuat atlet yang tidak diunggulkan akan bermain lepas tanpa beban. Namun, pada atlet-atlet unggulan, kondisi ini biasanya justru akan memengaruhi penampilannya,” tutur Psikolog yang juga menjadi pengurus KONI Cilacap tersebut.
Sementara ejekan saat kompetisi, lanjut Reni, biasanya berupa perang urat syaraf (psywar) dari lawan maupun penonton. Sedikit banyak hal ini tentu memengaruhi pertandingan yang sedang dihadapi.
Adapun ejekan setelah pertandingan, seperti yang dialami Amel, tidak akan banyak berpengaruh pada penampilannya. Kendati demikian, tetap harus dipantau apabila atlet tersebut akan berkompetisi dalam waktu dekat.
”Saat mendapat body shaming atau ejekkan, seorang atlet membutuhkan coping. Coping ialah proses adaptasi psikologi dalam merespons suatu situasi yang tidak nyaman. Ini penting dimiliki oleh seorang atlet,” ungkap Reni.
Coping, lanjut Reni, membuat seorang atlet bisa mengolah dan menghadapi situasi yang tidak nyaman sehingga ia tidak terpengaruh dengan situasi tersebut. Bahkan ada beberapa atlet yang justru menjadikan situasi tidak nyaman tersebut sebagai pelecut semangat.
Lantas apa yang dibutuhkan Amel dan mereka yang kerap menjadi korban body shaming? Reni dan Darjanti sepakat, korban body shaming perlu pendampingan. Ini dilakukan agar korban tidak merasa sendirian.
”Mereka butuh pedampingan. Kuncinya ada pada upaya untuk mengembalikan kepercayaan diri. Khusus bagi atlet, jangan sampai faktor psikologi menganggu performanya. Selama ini mungkin para atlet dilatih teknik dan fisik, tetapi jangan lupa mental psikologi juga penting bagi seorang atlet,” tutur Reni.