Hati-hati mengomentari tubuh atau penampilan seseorang. Mengomentari kekurangan seseorang—disebut body shaming—yang tadinya sekadar iseng bisa membawa pelakunya ke penjara. Duh, padahal selama ini sering kali mengejek teman tanpa bermaksud merundung ya, hanya bercanda. Namun, orang yang menjadi obyek ejekan bisa sakit hati dan tersinggung.
Komentar terkait fisik mungkin dianggap sebagai candaan ringan yang tak perlu diambil hati. Namun, jika terus berlanjut hingga bertahun-tahun, jelas bukan candaan lagi. Apalagi jika orang tersebut telah memperbaiki dirinya sehingga tampil menarik.
Ejek-mengejek terkait anatomi tubuh kini banyak menjadi kasus hukum. Bukan hanya teman dekat yang menjadi obyek ejekan. Pada era digital ini, para pesohor pun tak luput dari ejekan warganet di media sosial.
Para pesohor nan jelita, yang terkenal, yang superkaya, yang punya seabrek prestasi, yang tak lelah berkarya, atau tengah hamil pun pernah mengalami body shaming dari warganet. Selena Gomez setelah transplantasi ginjal mendapat celaan karena ada bekas jahitan operasi di perutnya. Model Gigi Hadid dicela karena tubuhnya terlalu kurus, padahal dia sedang sakit. Peraih Oscar, Jennifer Lawrence, dicela karena tubuhnya dianggap punya kelebihan beberapa kilogram. Celaan serupa menimpa selebritas lainnya, yakni Jennifer Lopez, Melissa McCarthy, Kelly Clarkson, dan aktris Jessica Simpson.
Ejekan itu ada yang sampai ke ranah hukum karena si obyek merasa terhina dan mengajukan delik aduan. Begitu masuk ke ruang hukum, ejekan bukan lagi bahan candaan kala bersenang-senang, melainkan telah menjadi perkara serius yang perlu diproses.
Ancaman penjara
Sayang, di Indonesia masih banyak orang tak sadar ada ancaman hukum bagi mereka yang sering mengejek. Padahal, masalah ini termasuk delik aduan. Ancaman pidana bagi mereka yang melakukan body shaming adalah penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 750 juta.
Body shaming merupakan tindakan mengejek atau menghina dengan mengomentari fisik, bentuk atau ukuran tubuh, serta penampilan seseorang. Pelakunya dapat dijerat dengan Pasal 27 Ayat 3 jo Pasal 45 Ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana diubah UU No 19/2016.
”Saya beruntung tidak pernah mengalami body shaming seperti itu di lingkungan rumah dan kampus. Di kampus, orang-orangnya lebih dewasa dan tak terlalu lagi peduli soal kekurangan fisik orang lain. Semua sibuk urusan kuliah dan mengerjakan tugas kuliah. Tidak ada waktu buat berkomentar jelek tentang orang lain,” kata Shinta Maristiani, mahasiswa Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Jakarta, Depok.
Namun, kala SMP Shinta pernah punya teman yang mengalami body shaming karena dia gemuk. ”Ada yang suka mengejek dia. Walau dari luar terlihat biasa-biasa saja, tidak ada yang tahu perasaan dia seperti apa. Tidak ada yang tahu apakah hatinya sakit dan sedih mendengar ejekan itu,” ujar Shinta.
Riyan Nurrahman, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), juga memiliki teman kampus yang mendapat ejekan karena obesitas. ”Meski dia sering mendapat body shaming, dia tak peduli,” ucap Riyan.
Melekat
Sering kali julukan yang berasal dari ejekan semasa sekolah atau kuliah itu terus melekat hingga lulus dan memasuki dunia kerja. Walaupun terjadi banyak perubahan, julukan dari ejekan itu telanjur menjadi nama si korban. Jika si korban tak marah dan tetap santai dengan julukan itu, akhirnya menjadi nama mahasiswa bersangkutan selamanya.
”Teman saat kuliah dulu kurus kering dan kini bertubuh gemuk, tetap saja kami panggil ’Cungkring’. Teman yang semula gemuk dan berhasil menurunkan berat badan juga tetap dipanggil ’Gendut’. Bukan bermaksud mengejek atau menghina, melainkan karena karena kami sudah akrab sekali,” ujar Kuntho Wibisono yang lulus dari Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Unsoed.
Psikolog Teman Hati Konseling, Ajeng Raviando, menjelaskan, komentar body shaming biasanya keluar dari orang yang mengalami kekurangan. Orang yang tak puas dengan dirinya cenderung melontarkan ejekan terkait fisik kepada orang lain.
Kecemburuan sosial dan iri memicu timbulnya body shaming. Misalnya, secara fisik A dan B memiliki banyak kesamaan, tetapi si A lebih pandai atau lebih disukai dalam pergaulan. Si B yang sulit menerima kondisi tersebut akan mulai melontarkan ejekan.
”Makanya orang-orang yang puas dengan dirinya sendiri, menghargai diri sendiri, pandai bersyukur, menyadari setiap orang punya kelebihan dan kekurangan, punya kekuatan dan kelemahan, biasanya tidak mengucapkan ejekan berupa body shaming. Mereka juga menghargai orang lain dan mengerti betapa tak ada gunanya aktif melontarkan body shaming kepada orang lain. Unfaedah kalau netizen bilang,” katanya serius.