Pemahaman tentang Pandemi di Masyarakat Masih Perlu Dibangun
Pemahaman masyarakat terhadap Covid-19 dinilai belum menyeluruh akibat infodemi. Ruang diskusi publik dan penanganan hoaks tentang Covid-19 jadi penting agar masyarakat lebih mawas diri menghadapi pandemi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman yang menyeluruh tentang pandemi Covid-19 masih perlu dibangun di tengah masyarakat. Pemahaman itu kemudian diolah menjadi pengetahuan baru untuk mengantisipasi potensi penyakit di masa depan.
Hal ini mengemuka dalam diskusi daring buku Memahami Krisis dan Kemelut Pandemi Covid-19 oleh Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Sabtu (19/6/2021). Buku itu ditulis mantan penasihat sistem kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (WHO-SEARO) Ilsa Nelwan dan pengajar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Noer Fauzi Rachman.
Fauzi mengatakan, salah satu kendala mengatasi pandemi adalah banjir informasi atau yang disebut WHO sebagai infodemi (information pandemic/infodemic). Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat ada 1.642 temuan hoaks soal Covid-19 pada periode 23 Januari 2020 hingga 14 Juni 2021. Hoaks menyebar, antara lain, melalui media sosial.
Selain itu, kesadaran bahwa seseorang berisiko menjadi penyebar virus atau bahkan pasien Covid-19 mulai diabaikan. Padahal, kesadaran itu yang membuat seseorang mawas diri menghadapi pandemi.
”Belum ada pengetahuan yang memadai tentang asal usul penyakit, bagaimana virus bekerja, dan bagaimana penularannya. Selain protokol kesehatan dan vaksinasi, kesadaran manusia (tentang Covid-19) yang bisa menghentikan penyebaran (virus),” kata Fauzi.
Menurut dia, selain pencegahan dan pengendalian Covid-19, edukasi dan komunikasi risiko penyakit kepada masyarakat perlu dilakukan. Penanganan hoaks soal Covid-19 dan vaksin juga perlu ditangani. Jika tidak, hal itu bisa memengaruhi masyarakat dalam menghadapi pandemi dan menerima vaksin.
Ilsa Nelwan mengatakan, publik perlu aktif mencari informasi yang valid. Budaya membaca pun perlu ditingkatkan. Ia tidak menyarankan publik mempercayai sumber tunggal untuk mendapat informasi, misalnya figur publik. Jurnal dan artikel ilmiah bisa dijadikan rujukan informasi.
Belum ada pengetahuan yang memadai tentang asal usul penyakit, bagaimana virus bekerja, dan bagaimana penularannya. Selain protokol kesehatan dan vaksinasi, kesadaran manusia (tentang Covid-19) yang bisa menghentikan penyebaran (virus).
”Sumber informasi harus berimbang. Mencari informasi yang sahih jadi penting di tengah infodemi. Selanjutnya, (materi-materi di) buku ini akan kami jabarkan dalam bentuk infografis,” ucap Ilsa.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah mengatakan, komunikasi risiko pandemi dari berbagai aspek ke publik menjadi penting. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk menghadapi pandemi pun penting.
Sementara itu, kasus Covid-19 terus meningkat. Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19, per Jumat (18/6/2021), ada tambahan 12.990 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia. Adapun rasio kasus positif sebesar 45,8 persen.
Kerusakan alam
Pandemi Covid-19 dinilai sebagai tanda kerusakan alam. Patogen penyakit zoonosis atau penyakit yang berasal dari hewan melompat ke manusia karena beberapa hal, salah satunya eksploitasi sumber daya alam dan konsumsi satwa liar. Adapun virus korona baru diyakini berasal dari kelelawar liar.
Menurut Fauzi, risiko penyakit akibat kerusakan alam masih ada. Itu sebabnya pemerintah dan masyarakat perlu memikirkan kembali tata kelola alam untuk saat ini dan masa depan.
”Kita perlu memikirkan dan reorientasi strategi pembangunan ekonomi, baik dari pemerintah maupun swasta, dengan mempertimbangkan risiko ekologi, sosial, hingga epidemiologi,” kata Fauzi yang juga peneliti agraria.
Sebelum pandemi Covid-19, dunia mengenal epidemi dua virus korona, yaitu sindrom pernapasan akut parah akibat virus korona (SARS-CoV) dan sindrom pernapasan Timur Tengah akibat virus korona (MERS-CoV). SARS-CoV berasal dari kelelawar dan musang sawit sebagai inang perantara, sedangkan inang perantara MERS-CoV adalah unta (Kompas.id, 28/2/2020).
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Ristek Hilmar Farid, pandemi merupakan pengingat untuk mengoreksi cara hidup manusia, termasuk cara mengelola lingkungan. Perbaikan tata kelola alam perlu dimulai dari sekarang.