Kesenjangan Informasi, Masyarakat Tidak Menyadari Risiko Covid-19
Pemerintah diminta membuka data Covid-19 secara transparan, termasuk sebaran varian baru yang lebih menular. Itu bertujuan agar warga menyadari besarnya risiko penularan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus Covid-19 terus melonjak dan rumah sakit kewalahan, tetapi banyak warga masih abai dengan protokol kesehatan. Pemerintah diminta membuka data Covid-19 secara transparan, termasuk sebaran varian baru yang lebih menular, agar warga menyadari besarnya risiko penularan.
Tuntutan tentang transparansi data Covid-19 itu disampaikan Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan dalam temu media secara daring, Jumat (18/6/2021), di Jakarta. Pertemuan ini diikuti lima pemimpin organisasi profesi medis yang menyerukan agar pemerintah memberlakukan pembatasan sosial lebih menyeluruh dan serentak karena lonjakan jumlah kasus Covid-19.
Empat organisasi profesi lain yang turut dalam seruan ini adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi), Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin), serta Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (Perki).
Selain seruan kepada pemerintah, kelima organisasi profesi ini juga meminta masyarakat mewaspadai varian baru. Aman yang membacakan poin tentang hal ini mengatakan, ”Agar semua pihak lebih waspada terhadap varian baru Covid‐19 yang lebih mudah menyebar, mungkin lebih memperberat gejala, mungkin lebih meningkatkan kematian dan menghilangkan efek vaksin. Lakukan tracing (pelacakan) dan testing (pemeriksaan) kasus dengan lebih masif.”
Menurut Aman, transparansi data Covid-19 perlu dilakukan supaya publik memahami sepenuhnya risiko yang ada sehingga menjadi lebih waspada. ”Sebetulnya WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sudah mengingatkan, negara harus transparan. Data Whole Genome Sequence (WGS) varian baru juga harus dipaparkan dan diperbarui tiap minggu sehingga orang tahu, seperti Jakarta ada varian ini, Kudus juga begitu,” ujarnya.
WHO sudah mengingatkan, negara harus transparan. Data Whole Genome Sequence varian baru juga harus dipaparkan dan diperbarui tiap minggu.
Aman juga mengatakan, saat ini di masyarakat banyak beredar hoaks atau kabar bohong terkait Covid-19, termasuk tentang vaksin. Selama ini, penyebaran informasi ini dibiarkan sehingga memengaruhi persepsi masyarakat, termasuk di antaranya melemahkan penerimaan terhadap vaksin. ”Penyebaran informasi hoaks ini tidak pandang latar belakang pendidikan atau profesi,” katanya.
Anggota Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia, Erlina Burhan, juga meminta agar pemerintah memperbaiki komunikasi publik sehingga masyarakat memahami risiko dan mengambil langkah secara tepat. ”Seharusnya ada komunikasi efektif. Sekarang kita lihat komunikasinya tidak efektif, tidak selaras satu sama lain. Berbeda dengan negara lain yang mereka konsisten, selaras, dan saling mendukung,” katanya.
Kesenjangan informasi
Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Akmal Taher mengingatkan kegentingan situasi saat ini. Di tengah ancaman kolapsnya fasilitas kesehatan karena melonjaknya pasien, mobilitas masyarakat masih sangat tinggi dan sebagian abai protokol kesehatan.
”Penambahan pasien sangat cepat. Di RSCM sudah ada penambahan 40 bed dari 200-an bed dan sekarang sudah penuh lagi. Penambahan ini kan ada batasannya. Kalau penularan terus seperti sekarang, pasti kolaps juga,” kata Akmal, yang juga berpraktik di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo sebagai dokter spesialis bedah urologi ini.
Situasi penularan Covid-19 di komunitas dibandingkan yang ditemukan dan dilaporkan sangat jauh berbeda. Mengacu kajian Centre for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), kasus Covid-19 di Indonesia seperti puncak gunung es yang terus membesar karena penularan terus terjadi tanpa terdeteksi.
Sekalipun Jakarta memiliki cakupan tes tertinggi di Indonesia, orang yang terinfeksi 12 kali lebih tinggi dari yang ditemukan dan dilaporkan. Banyaknya orang tanpa gejala menyebabkan sulitnya pelacakan, selain karena keterbatasan tenaga pelacakan.
Kesenjangan informasi dengan kenyataan ini, menurut Akmal, turut menyebabkan masyarakat tidak memahami risiko sesungguhnya. Banyak orang tidak menyadari tingginya risiko tertular ataupun menularkan virus ke orang lain yang kemudian bisa menyebabkan kematian.
Laporan Satgas Penanganan Covid-19, kasus Covid-19 di Indonesia pada Jumat (18/6/2021) bertambah 12.990 orang dan 12.766 orang di antaranya positif berdasarkan pemeriksaan dengan polimerase rantai ganda (PCR). Sementara jumlah orang yang diperiksa dengan PCR sebanyak 27.830 orang. Ini berarti rasio tes positif mencapai 45,8 persen atau dari dua orang yang diperiksa satu di antaranya positif Covid-19.
Kesenjangan informasi juga terjadi dengan data kematian. Laporan kematian yang diumumkan Kementerian Kesehatan dinilai jauh lebih kecil dari kondisi di lapangan. Kajian dari Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington menyebutkan, kematian karena Covid-19 di Indonesia mencapai 118.796 orang hingga pertengahan Mei 2021, lebih dari 2,5 kali lipat yang dilaporkan pemerintah.