Pandemi penyakit Covid-19 sejatinya adalah buah perilaku manusia yang mengeksploitasi satwa liar. Virus korona baru itu diyakini bersumber dari virus pada kelelawar liar yang dikonsumsi manusia.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Kemunculan penyakit baru Covid-19 yang kini menjadi pandemi merupakan buah perilaku manusia yang mengeksploitasi satwa liar. Kejadian yang luar biasa dan menjadi pekerjaan berat bagi dunia untuk menanganinya ini semestinya dapat menjadi pelajaran dan pengalaman berharga untuk melindungi habitat satwa liar ataupun menekan aktivitas terlarang pada satwa liar tersebut.
Penyakit akibat virus korona ini diyakini bersumber dari virus kelelawar liar yang dikonsumsi manusia. Para peneliti pun meyakini bahwa sangat mungkin inang lokasi virus ini berevolusi atau leluhur virus berasal dari trenggiling yang sering diselundupkan ke Tiongkok dari Indonesia. Trenggiling ini sebagai inang perantara yang dilalui virus tersebut sebelum menginfeksi manusia.
”Sekitar 75 persen penyakit zoonosis berasal dari fauna liar. Penyakit Covid-19 ini menunjukkan agar kita tidak mengganggu kehidupan mereka (fauna lair) agar patogen pada tubuh mereka tak berpindah pada manusia,” kata Tri Satya Putri Naiposos, Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan, pada Kementerian Pertanian, Jumat (27/3/2020), saat konferensi pers virtual yang diselenggarakan WWF Indonesia.
Ia mengatakan, kemunculan penyakit-penyakit zoonosis, seperti SARS, ebola, dan flu burung yang kini disusul Covid-19, merupakan alarm bahwa kondisi alam sedang tidak baik. Penyakit zoonosis atau penyakit yang bersumber dari hewan pada manusia ini muncul sebagai buah perilaku manusia dan lingkungan yang telah rusak.
Stimulus manusia atau peran antropogenik ini menyebabkan patogen dalam tubuh satwa liar tersebut cepat terpapar pada manusia. ”Penyebaran penyakit zoonotik terjadi apabila ada patogen dari spesies tertentu (tempat di mana patogen tersebut berevolusi) melompat ke inang barunya. Ini diperburuk dengan perdagangan satwa liar, kerusakan habitat, dan perubahan iklim,” katanya.
Perdagangan satwa liar ini terjadi akibat perburuan yang juga dipicu permintaan pasar. Karena itu, peran konsumen untuk menghentikan konsumsi hewan liar, memelihara hewan liar, ataupun memanfaatkan bagian-bagian dari tubuh satwa liar tersebut akan membantu menekan perburuan. Data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menunjukkan, industri perdagangan satwa liar global bernilai 7-23 miliar dollar AS.
Ia mencontohkan kasus epidemi dua virus sebelumnya, yaitu severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-Cov) dan middle-east respiratory syndrome coronavirus (MERS-Cov), juga dibuktikan berasal dari kelelawar dengan musang sawit sebagai inang perantara untuk SARS-Cov dan unta dromedari sebagai inang perantara untuk MERS-Cov.
Tri Satya Putri atau ”Tata” mengatakan, satwa liar merupakan reservoir penyakit meskipun satwa liar tersebut tampak sehat. Ia dapat menjadi sumber penyakit pada hewan lain ataupun manusia. Peristiwa ini terjadi apabila manusia berburu satwa liar atau merusak habitatnya sehingga virus dan patogen lain melompat antarspesies. Gangguan terhadap hutan alami yang didorong penebangan kayu, perambahan, dan pembangunan infrastruktur membuat orang kian dekat dengan spesies hewan liar.
Virus korona yang saat ini teridentifikasi diyakini merupakan puncak gunung es dengan potensi menyebabkan lebih banyak lagi kejadian zoonotik baru dan lebih berat di masa depan. Ini karena virus secara alami bermutasi, berekombinasi, serta berbagi komponen yang berbeda untuk menciptakan virus baru. Virus-virus zoonotik ini dapat melompati hambatan spesies dan menjadi berbahaya bagi manusia karena sistem imun manusia belum mengetahui cara memerangi virus baru tersebut.
Tri Satya Putri menyoroti pasar satwa liar, seperti yang terdapat di Tomohon, Sulawesi Utara, berisiko sebagai sumber ”evolusi” patogen. Di tempat itu, berbagai satwa liar ditempatkan bersama dan disembelih di permukaan yang sama akan bertindak sebagai tempat berkembang biak sempurna bagi patogen.
Satwa liar dalam kondisi stres itu bertukar kotoran dan juga virus-virus sebelum disembelih di tempat. Ini memungkinkan darah dan organ terpapar ke manusia dan meningkatkan risiko tertular. ”Semakin kita berburu satwa liar, semakin banyak kita kontak dengan lingkungan baru dan semakin meningkatkan kemungkinan kita terpapar virus dari satwa liar,” katanya.
Ia pun menekankan agar satwa liar tidak disalahkan sebagai penular penyakit. Ia pun mengecam pembunuhan satwa liar sebagai jalan keluar mengatasi penularan virus. Ia mengatakan, manusia yang memiliki akal dan pikiran yang seharusnya bisa memutus rantai penularan dengan menghentikan perburuan, konsumsi satwa liar, dan melindungi hutan alam yang menjadi habitat hewan liar.
Pelaksana Tugas CEO WWF Indonesia, Luka Adhyakso, pun mengatakan, musibah Covid-19 di seluruh penjuru dunia ini agar dimaknai dan menjadi pengingat bahwa ketidakseimbangan dan kesehatan bumi sudah sangat memprihatinkan. ”Tempat tinggal kita ini hanya satu, kita harus serius menyelamatkannya,” katanya.
Ia mengatakan, tugas manusia untuk menyelamatkan spesies yang terancam agar populasi pulih kembali dan merawat habitat yang menjadi tempat hidup satwa liar. Selain mencegah penularan penyakit zoonotik, hutan yang terjaga pun akan membawa beragam manfaat dasar bagi manusia, seperti sumber air dan oksigen.