Tergantung Kemampuan, Tidak Semua Bisa Ikut Vaksinasi Gotong Royong
Harga vaksin yang ditetapkan pemerintah di luar ekspektasi pengusaha. Dengan suplai terbatas serta pertumbuhan industri yang belum merata lintas sektor, tidak semua perusahaan mampu mengakses vaksinasi gotong royong.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan vaksinasi Gotong Royong akan segera dimulai dengan mengutamakan sektor manufaktur yang bersifat padat karya. Namun, karena bertumpu pada kemampuan keuangan perusahaan, tidak semua pekerja dapat diikutsertakan dalam program tersebut. Sektor usaha yang belum pulih dari dampak Covid-19 juga berpotensi sulit mengakses vaksin.
Selasa (18/5/2021) ini, ada 18 perusahaan manufaktur yang akan melakukan vaksinasi Gotong Royong, dengan target alokasi untuk kepada 40.000 orang pekerja. Umumnya, mereka berasal dari industri padat karya, seperti sektor tekstil, pengolahan tembakau, makanan dan minuman, perkebunan sawit, dan lain-lain.
Beberapa di antaranya, Unilever Indonesia (3.000 dosis), Mayora (5.000 dosis), Kalbe Farma (3.000 dosis), Toyota (3.000 dosis), Coca Cola Bottling Indonesia (2.000 dosis), Pan Brothers (1.000 dosis), Astra Otoparts (1.000 dosis), United Tractors (1.000 dosis), Gunung Sewu Kencana (3.000 dosis), dan HM Sampoerna (1.000 dosis).
Mengacu pada peta risiko penyebaran Covid-19 per Senin sore, perusahaan-perusahaan yang umumnya berskala besar ini memiliki kantor pusat yang berlokasi di wilayah dengan zona penularan Covid-19 berisiko sedang (zona jingga) dan berisiko rendah (zona kuning).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sanny Iskandar, Senin (17/5/2021) berharap, dengan program vaksinasi Gotong Royong, dunia usaha bisa membantu mempercepat pemulihan ekonomi. Untuk kesempatan pertama, sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja akan diprioritaskan. Vaksinasi akan diadakan hingga tiga tahap.
“Ini sukarela ditawarkan kepada perusahaan yang bisa membiayai sendiri. Harapannya, kondisi usaha dan ekonomi bisa lebih cepat kembali normal,” kata Sanny saat dihubungi di Jakarta.
Sanny menambahkan, program ini memang bergantung pada kemampuan finansial perusahaan. Namun, menurut dia, tidak semua perusahaan yang ikut berskala besar. “Tidak semua besar, ada perusahaan berskala menengah juga. Perusahaan memang punya anggaran untuk kesehatan karyawannya,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan, karena bergantung pada kondisi kemampuan perusahaan, tidak semua pekerja bisa mendapat vaksin. “Memang akhirnya tergantung kondisi. Ada yang mampu yang membeli untuk semua pekerjanya. Namun, ada juga yang tidak mampu, sehingga tidak semua didaftarkan,” katanya.
Di luar ekspektasi
Firman mengatakan, harga vaksin yang diatur pemerintah dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021 di luar ekspektasi pengusaha. “Awalnya, ekspektasi kami tidak sampai Rp 500.000 untuk satu dosis per orang. Awalnya kami mengira ada di kisaran Rp 180.000 sampai Rp 250.000 per orang,” ujarnya.
Berdasarkan Kepmenkes, harga pembelian vaksin adalah Rp 321.660 dengan tarif maksimal pelayanan vaksinasi Rp 117.910. Harga itu merupakan harga tertinggi vaksin per dosis dan sudah termasuk margin atau keuntungan 20 persen dan biaya distribusi (franco/ditanggung penjual) kabupaten/kota, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dengan demikian, estimasinya, untuk satu kali dosis per orang, dibutuhkan biaya sekitar Rp 500.000. Untuk dua kali dosis, perusahaan harus mengalokasikan Rp 1 juta untuk satu orang pekerja.
Firman mengatakan, awalnya, dari survei internal Aprisindo, 40 persen dari total tenaga kerja di sektor alas kaki bisa didaftarkan di program vaksinasi Gotong Royong. Namun, dengan penetapan harga terbaru itu, kemungkinan ada perubahan. Meski sektor alas kaki mulai mengalami pertumbuhan di awal tahun ini, keuangan perusahaan belum sepenuhnya pulih.
Lepas dari penetapan harga yang di luar ekspektasi, vaksinasi Gotong Royong diharapkan bisa membantu mendorong pemulihan ekonomi lebih cepat. “Dalam kondisi sekarang ini, dengan ekspor yang sedang tumbuh, kita harus kembali bekerja dengan kapasitas penuh. Dengan adanya vaksin, industri padat karya bisa terbantu,” kata Firman.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, di tengah keterbatasan anggaran, tiap perusahaan punya pertimbangan untuk memilih pekerja yang berhak mendapatkan vaksin. Namun, menurut dia, jatah vaksin sebaiknya diutamakan untuk pekerja yang lingkungan kerjanya berisiko tinggi karena berdesakan dengan banyak orang.
Selain itu, diprioritaskan juga untuk pekerja yang rutin berhadapan dengan konsumen. "Intinya, yang lebih berisiko tertular Covid-19 itu yang harus didahulukan. Tetapi, itu memang kembali lagi pada preferensi masing-masing perusahaan, siapa yang mereka daftarkan,” ujar Hariyadi.
Kadin mencatat, sejak Februari-Maret 2021 sudah terdapat 17.832 perusahaan yang mendaftar untuk mendapatkan vaksin. Jumlah pekerja yang didaftarkan dari perusahaan sebanyak itu mencapai hampir 8,6 juta orang. Adapun sejauh ini, pemerintah sudah mengalokasikan 1 juta dosis vaksin Sinopharm dari total komitmen pengiriman 7,5 juta dosis vaksin.
Juru Bicara Vaksin dari PT Bio Farma Bambang Heriyanto mengatakan, vaksin yang akan digunakan untuk vaksinasi Gotong Royong gelombang pertama ini adalah Sinopharm. “Vaksin Cansino saat ini masih sebagai alternatif, Sputnik juga masih berproses. Untuk vaksin Moderna, tidak jadi dilanjutkan karena ada keterbatasan suplai dosis,” kata Bambang.
Dengan suplai yang terbatas serta pertumbuhan industri yang belum merata, tidak semua perusahaan mampu mengaksesnya. Sektor usaha yang saat ini belum pulih karena terdampak Covid-19 justru berpotensi tidak bisa mendapat jatah vaksin.
Sekretaris Jenderal DPP Organisasi Angkutan Darat (Organda) Ateng Aryono mengatakan, dengan kondisi sektor transportasi yang masih terpuruk akibat dampak Covid-19, perusahaan angkutan umum masih kesulitan untuk mengakses vaksin Gotong Royong.
Ia berharap, pekerja lini depan di sektor yang masih terpuruk dan rentan terhadap dinamika pandemi dapat menjadi prioritas untuk mengikuti program vaksinasi pemerintah. Saat ini, ada beberapa pekerja transportasi yang memang sudah mendapat akses vaksinasi gratis dari pemerintah, tetapi jumlahnya masih jauh dari harapan.
“Harapan kami, stimulus dari pemerintah tidak hanya dalam bentuk pajak atau keringanan kredit, tapi juga akses vaksinasi untuk pekerja, khususnya yang frontliner (lini depan),” kata Ateng.