Vaksin Gotong Royong Didahulukan untuk Pekerja Lini Depan
Vaksinasi yang tidak merata untuk seluruh pekerja berpotensi memunculkan kecemburuan dan kesenjangan. Kalaupun perusahaan harus memilih karena keterbatasan dana, pekerja lini depan yang berisiko harus diutamakan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Karena keterbatasan anggaran, tidak semua pekerja diikutsertakan perusahaannya dalam program vaksinasi gotong royong. Pekerja lini depan yang bekerja di lingkungan dengan risiko penularan Covid-19 tinggi serta mereka yang sehari-hari berhadapan dengan konsumen harus didahulukan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, Sabtu (15/5/2021), mengatakan, hanya perusahaan dengan kondisi keuangan yang baik atau yang mampu tumbuh positif selama pandemi yang mampu mendaftarkan semua pekerjanya untuk divaksinasi.
Sebagian besar perusahaan yang sekarang sudah terdaftar di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memilih memvaksinasi hanya sebagian pekerjanya.
”Di satu sisi, memang tidak diharuskan (membeli bagi semua pekerja). Ini, kan, bersifat opsional, tergantung kemampuan keuangan perusahaan. Dulu sempat diharuskan, tetapi kami protes karena perusahaan pasti akan memilih-milih dalam kondisi seperti sekarang,” kata Hariyadi saat dihubungi di Jakarta.
Akhir bulan ini, pelaksanaan vaksinasi gotong royong akan dimulai untuk perusahaan yang telah mendaftar ke Kadin.
Pemerintah mematok harga vaksin gotong royong Rp 500.000 per dosis sehingga perusahaan harus mengeluarkan Rp 1 juta per karyawan untuk dua dosis vaksin Covid-19. Hal itu diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021 yang diteken Menkes Budi Gunadi Sadikin per 11 Mei 2021.
Secara rinci, harga pembelian vaksin Rp 321.660 dan tarif maksimal pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910. Harga itu merupakan harga tertinggi vaksin per dosis dan sudah termasuk margin atau keuntungan 20 persen dan biaya distribusi (franco/ditanggung penjual) antarkabupaten/kota, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Untuk mencukupi kebutuhan program itu, pemerintah akan mengalokasikan 1 juta dosis vaksin Sinopharm dari total komitmen pengiriman 7,5 juta dosis dan menyiapkan vaksin CanSino sebanyak 5 juta dosis.
Kadin mencatat, sejak Februari-Maret 2021, sudah terdapat 17.832 perusahaan yang mendaftar untuk mendapat vaksin. Jumlah pekerja yang didaftarkan mencapai 8,7 juta orang.
Hariyadi mengatakan, di tengah keterbatasan anggaran, tiap perusahaan punya pertimbangan sendiri untuk memilih pekerja yang berhak mendapatkan vaksin. Menurut dia, jatah vaksin sebaiknya diutamakan untuk pekerja yang lingkungan kerjanya berisiko tinggi karena berdesakan dengan banyak orang. Selain itu, pekerja yang rutin berhadapan dengan konsumen.
”Intinya, yang lebih berisiko tertular Covid-19 itu yang harus didahulukan. Tetapi, itu memang kembali lagi pada preferensi masing-masing perusahaan, siapa yang mereka daftarkan,” ujar Hariyadi.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban khawatir vaksinasi gotong royong yang tidak diberikan merata untuk seluruh pekerja berpotensi memunculkan kecemburuan dan kesenjangan antarpekerja. Jika perusahaan harus memilih karena keterbatasan dana, Elly meminta agar pekerja lini depan dapat didahulukan.
Ia menyontohkan, para pekerja pabrik di industri manufaktur atau sektor padat karya lainnya. Tahun lalu, kluster pabrik merupakan salah satu titik penularan Covid-19 paling tinggi. Kementerian Perindustrian memperkirakan, pada September 2020 ada 4.000 buruh pabrik yang tertular. Jumlah itu setara dengan 2 persen dari total kasus Covid-19 saat itu.
”Yang paling berbahaya dan rentan itu pekerja di sektor padat karya, pabrik-pabrik manufaktur yang karyawannya banyak sekali,” kata Elly.
Ia meyakini vaksinasi akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Saat ini, banyak buruh yang masih khawatir untuk bekerja dengan jam normal karena takut tertular Covid-19. Perusahaan juga masih menerapkan pengurangan jam kerja, yang otomatis berdampak pula pada pengurangan upah buruh. ”Kalau sudah divaksin, seharusnya berbeda,” ujarnya.
Perlu kontrol
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, dengan biaya vaksinasi yang relatif besar, vaksinasi gotong royong berpotensi gagal menjangkau seluruh pekerja swasta. Konsekuensinya, akan ada kecemburuan dan ketimpangan antara pekerja yang divaksinasi dan yang tidak.
Terlebih, jika vaksinasi diserahkan kepada perusahaan sepenuhnya tanpa ada regulasi atau kontrol dari pemerintah. Oleh karena itu, menurutnya, meski vaksinasi gotong royong dibiayai oleh swasta dan bersifat sukarela, pemerintah tetap harus hadir.
”Jika tidak, pengaruhnya untuk mempercepat herd immunity, meningkatkan produktivitas dan memulihkan ekonomi tidak akan besar,” kata Timboel.
Juru bicara vaksinasi dari PT Bio Farma (Persero), Bambang Heriyanto, mengatakan, terkait dengan prioritas pemberian vaksinasi gotong royong, kata Bambang, Bio Farma akan berkoordinasi dan mengikuti arahan pemerintah.
”Sektor mana yang paling dulu divaksin tergantung arahan pemerintah, apakah nanti berdasarkan zona risiko, seperti di zona merah dulu atau di sektor tertentu dulu, seperti padat karya dan perusahaan dengan risiko penularan tinggi,” kata Bambang (Kompas, 12/5/2021).