Anak-anak berkebutuhan khusus kesulitan mengakses layanan kesehatan, termasuk layanan terapi yang spesifik. Situasi itu membuat proses tumbuh kembang mereka terganggu.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah sumber daya manusia yang melayani anak berkebutuhan khusus masih terbatas. Akses pada layanan kesehatan tersebut kini semakin terkendala di masa pandemi Covid-19.
Data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Kesehatan pada 2020 menunjukkan, jumlah fisioterapis di Indonesia berjumlah 6.484 orang. Sementara jumlah terapis okupasi berjumlah 464 orang dan terapis wicara sebanyak 473 orang. Seluruh sumber daya tersebut tersebar di seluruh Indonesia, tetapi sebarannya tidak merata.
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, Senin (14/9/2020), pandemi Covid-19 menghambat tumbuh kembang anak-anak berkebutuhan khusus. Selain layanan terapi terganggu, bahkan sebagian layanan terhenti, proses pembelajaran juga sulit dilakukan dengan baik.
”Sebaran sumber daya untuk layanan anak berkebutuhan khusus belum merata. Ada 49 kabupaten/kota yang tidak memiliki fisioterapis dan 389 kabupaten/kota tidak memiliki okupasi terapis dan terapis wicara,” ujar Direktur Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan Erna Mulati saat dihubungi di Jakarta, Minggu (13/9/2020).
Karena itu, peran pemerintah daerah dibutuhkan untuk menambah jumlah tenaga kesehatan yang diperlukan. Hal ini bertujuan agar anak tidak perlu mengantre mendapatkan layanan ke rumah sakit rujukan di tingkat provinsi ataupun rumah sakit rujukan nasional.
Sebaran sumber daya untuk layanan anak berkebutuhan khusus belum merata.
Keterbatasan ini kian bertambah selama masa pandemi Covid-19. Meskipun sejumlah fasilitas kesehatan tetap membuka layanan terapi, jumlah pasien yang bisa dilayani cukup terbatas, Hal ini bertujuan untuk mematuhi protokol kesehatan yang berlaku serta mencegah potensi penularan Covid-19.
Dokter spesialis anak konsultan tumbuh kembang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Bernie Endyarni Medise, menuturkan, anak berkebutuhan khusus (ABK) semakin terbatas untuk mengakses layanan kesehatan, baik layanan rutin maupun khusus. Layanan rutin yang terkendala antara lain imunisasi dan pemeriksaan untuk penyakit ringan.
Di masa pandemi, sebagian orangtua ragu untuk membawa anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini membuat kebutuhan kesehatan anak menjadi terkendala. Untuk itu, protokol kesehatan di fasilitas kesetan harus terjamin sehingga dapat meyakinkan orangtua bahwa layanan imunisasi tetap bisa diberikan dengan aman.
”Kendala lainnya adalah pada layanan terapi. Sejumlah layanan terapi kini terpaksa ditutup karena keterbatasan sumber daya di masa pandemi. Sementara, sebagian layanan terapi lain yang buka juga terbatas karena harus menjaga jarak waktu antarpasien,” ujarnya.
Untuk mengatasi persoalan ini, Bernie menyampaikan, sejumlah layanan bisa dilakukan secara daring. Orangtua juga bisa melakukan konsultasi melalui telepon. Meski begitu, layanan ini tetap memiliki keterbatasan terutama untuk layanan terapi yang memerlukan tatap muka secara langsung.
Pengaturan layanan
Erna menjelaskan, pelayanan bersifat rutin dalam penanganan ABK atau anak penyandang disabilitas telah dilakukan pengaturan, antara lain dengan menerapkan pendaftaran daring, temu janji, dan konseling melalui daring. Sejumlah layanan pun dilakukan melalui kunjungan rumah ataupun mekanisme lain yang sesuai.
”Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan kontrol untuk kasus tertentu tetap bisa dilakukan sesuai jadwal. Namun, pada kasus lainnya, bilamana sumber daya manusia kesehatan terbatas dan yang perlu dilayani cukup banyak, akan ada perpanjangan waktu dari jadwal,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan sejumlah pedoman khusus untuk penanganan anak berkebutuhan khusus. Pedoman itu meliputi buku Kesehatan Ibu dan Anak, Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita, Panduan Pelayanan Kesehatan Anak dengan Disabilitas bagi Keluarga, serta Pedoman Umum Perlindungan Kesehatan Anak Berkebutuhan Khusus.
Pedoman tersebut dapat menjadi acuan bagi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada anak berkebutuan khusus, baik di puskesmas ataupun di luar gedung puskesmas. Hal ini terutama untuk membina orangtua ataupun keluarga dalam membimbing anak dengan disabilitas, termasuk dalam memberikan asupan gizi dan stimulasi perkembangan yang dibutuhkan.
”Di masa pandemi, pemerintah juga mengimbau tenaga kesehatan dan orangtua untuk terus memelajari dan menerapkan panduan dalam pengasuhan anak berkebutuhan khusus melalui berbagai media, seperti pelatihan lewat webinar,” kata Erna.
Pemerintah daerah juga diharapkan semakin memerkuat kolaborasi dengan komunitas anak berkebutuhan khusus untuk memperluas informasi terkait cara memantau kesehatan anak selama berada di rumah serta mengenali tanda anak yang sakit.
”Kementerian Kesehatan telah menyediakan pedoman dan menyosialisasikan ke stakeholder terkait dalam kerangka perlindungan anak yang tertuang dalam kabupaten/kota layak anak. Kebijakan ini untuk menjadi acuan pemerintah daerah dalam mewujudkan pemenuhan hak anak termasuk anak disabilitas,” kata Erna.