Utamakan Pengembangan Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus
Kendala akses ke teknologi digital dan jauh dari guru bisa membuat pembelajaran siswa berkebutuhan khusus terhenti di masa pandemi ini. Kerja sama guru dan orangtua penting untuk menjaga perkembangan mereka.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 berdampak tidak proporsional pada peserta didik dengan disabilitas yang sudah mengalami ketidakberuntungan sosial dan pendidikan. Mereka menghadapi hambatan yang lebih besar dalam mengakses pembelajaran jarak jauh dan risiko lebih besar untuk putus sekolah. Pandemi ini diperkirakan memperburuk ketertinggalan mereka.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) paling tidak mungkin mendapatkan manfaat dari solusi pembelajaran jarak jauh. Kendala mereka bukan sekadar akses ke teknologi digital dan internet. Bagi ABK dengan kesulitan belajar yang ringan sekalipun, seperti attention deficit disorder (ADD), yaitu gangguan mental yang menyebabkan anak sulit memusatkan perhatian, akan sulit belajar dengan menggunakan teknologi digital.
Selain belajar, kehilangan rutinitas harian yang disediakan sekolah menambah kesulitan yang signifikan bagi ABK yang peka terhadap perubahan, seperti anak dengan gangguan spektrum autisme. Dengan keragaman disabilitas, pembelajaran pun tidak bisa seragam pada semua ABK.
Survei Jaringan Disabilitas Indonesia (JDI) secara daring yang melibatkan 1.683 responden dari 32 provinsi pada 10-24 April 2020 menunjukkan, 67,97 persen anak dengan disabilitas sulit mengikuti pembelajaran daring. Anak dengan disabilitas intelektual merupakan kelompok yang paling rendah tingkat aksesibilitasnya terhadap pembelajaran daring.
Padahal, pembelajaran tatap muka paling tidak dimungkinkan pada siswa di sekolah luar biasa (SLB) saat ini meski beberapa SLB yang sudah menyelenggarakan tatap muka. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, dari 2.254 SLB, dengan jumlah siswa sebanyak 142.760 orang, sekitar 93 persen belum bisa menyelenggarakan pembelajaran tatap muka.
Pemerintah melalui surat keputusan bersama empat menteri pun menetapkan SLB paling akhir dibuka. Hambatan untuk menerapkan langkah-langkah perlindungan dasar seperti cuci tangan dan menjaga jarak membuat ABK dan juga penyandang disabilitas pada umumnya lebih berisiko tertular Covid-19.
Ketidakmampuan mengikuti pembelajaran jarak jauh, dan juga pembatasan sosial yang membuat ABK terkendala bersosialisasi dan melakukan terapi, berdampak pada perkembangan ABK. Mereka, kata Ketua Forum Komunikasi Keluarga Anak dengan Kedisabilitasan Kota Bandung, Jawa Barat, Nur Hasanah, mengalami kemunduran terutama pada perilaku dan emosinya (Kompas, 8/9/2020).
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Samto mengakui tidak mudah bagi ABK untuk mengikuti pembelajaran daring. Kalaupun ada akses ke teknologi digital dan internet, tidak semua ABK mempunyai kemampuan mengoperasikan gawai ataupun laptop atau komputer.
Pembelajaran untuk mereka melalui home visit (guru kunjung) tentu dengan protokol kesehatan dan didampingi orangtua.
Penyandang tunagrahita, keterbatasan mental, intelektual, juga emosional, misalnya, tidak bisa mengikuti pembelajaran daring. ”Pembelajaran untuk mereka melalui home visit (guru kunjung) tentu dengan protokol kesehatan dan didampingi orangtua. Home visit ini dimungkinkan karena jumlah siswa satu kelas di SLB (sekolah luar biasa) biasanya tidak banyak, hanya 5-6 anak,” kata Samto ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (10/9/2020).
Kecakapan hidup
Dengan didampingi orangtua, kata Samto, pembelajaran untuk ABK di masa pandemi difokuskan pada kecakapan hidup, yaitu melatih dan mengembangkan kemandirian mereka, bukan pada capaian akademis. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan mereka kepada orang lain dalam melakukan kegiatan rutin sehari-hari.
Fokus pembelajaran, menurut Yanti Kusumawardhani, Spesialis Perlindungan Anak Save the Children Indonesia, sebaiknya lebih pada meningkatkan aktivitas kegiatan harian (activity of daily learning) dengan prioritas pada kemampuan pengetahuan kesehatan. Survei JDI menunjukkan hanya 60,55 persen responden yang memeroleh informasi memadai mengenai Covid-19 dan protokol pencegahannya.
”Informasi sudah banyak, tetapi masih banyak dalam format yang belum dapat diakses penyandang disabilitas. Belum ada poster dengan huruf braille untuk penyandang tunanetra atau informasi yang dicetak dengan font besar untuk penyandang low vision,” kata Yanti, Senin (7/9/2020).
Anak berkebutuhan khusus merupakan kelompok yang rentan terpapar Covid-19. Secara umum, mereka pun memiliki persyaratan kesehatan yang lebih tinggi. Mereka lebih rentan terhadap kondisi sekunder dan penyakit penyerta (komorbid), seperti masalah paru-paru, diabetes, penyakit jantung, dan diabetes, yang dapat memperburuk hasil infeksi Covid-19.
Karena ABK membutuhkan pendekatan dan pendampingan khusus untuk dapat tetap belajar selama masa pandemi, maka orangtua pun perlu diberi panduan untuk melakukan itu. ”Hingga kini beberapa orangtua masih kesulitan dalam proses adaptasi pembelajaran anak mereka,” kata Yanti.
Buku panduan untuk orangtua dengan ABK, kata Nur Hasanah, sudah ada. Namun, kemampuan orangtua untuk mendampingi anak-anak berbeda-beda. Ketidakmampuan orangtua mendampingi dan membimbing anak pada akhirnya berdampak pada anak, pembelajarannya menjadi terhenti.
Di sini peran guru menjadi sangat penting untuk membangun komunikasi yang efektif dengan orangtua. Endang Saeful Munis, Widyaiswara Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-kanak dan Pendidikan Luar Biasa Kemendikbud, mengatakan, berperan orangtua ABK perlu ditingkatkan di masa pandemi ini.
Namun, ”masih banyak guru SLB kesulitan berkomunikasi dengan orangtua. Mereka tahu pentingnya peran orangtua, tetapi sering kali orangtua juga tidak mudah diajak kerja sama membangun anak-anak mereka,” kata Endang dalam diskusi daring yang diselenggarakan Save the Children, Kamis (10/9/2020).
Komunikasi guru dan orangtua penting untuk menyelaraskan pola asuh di sekolah dan di rumah. Meski tidak seoptimal pembelajaran tatap muka, paling tidak ini akan menjaga perkembangan ABK dan mengembangkan kemandiriannya selama penutupan sekolah.