Penanganan anak berkebutuhan khusus di masa pandemi Covid-19 tidak optimal. Hal itu membuat mereka makin rentan mengalami gangguan belajar dan gangguan emosi lantaran layanan terapi dan pendidikan terhenti.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 menjadi pukulan berat bagi anak-anak berkebutuhan khusus dan orangtua mereka. Selain rentan tertular penyakit itu, proses tumbuh kembang anak-anak tersebut terhambat karena layanan terapi terhenti dan proses pembelajaran jarak jauh sulit dilakukan.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) termasuk rentan tertular Covid-19. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, misalnya, salah satu klinik tumbuh kembang anak mewajibkan siswa dan terapis menjalani tes usap (swab) sebelum membuka kembali kelas terapi secara tatap muka. Hasilnya, 17 dari 24 anak positif Covid-19. Beberapa terapis terinfeksi virus korona baru pemicu Covid-19.
Selain itu, program pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus tidak berjalan. Pembelajaran jarak jauh sulit dilakukan, termasuk di sekolah khusus anak penyandang disabilitas ganda. ”Karena tidak ada kegiatan, anak tantrum atau menyakiti diri sendiri,” kata Budi Prasojo, Kepala SLB Ganda Rawinala, Jakarta.
Juli Gracia, pemilik AGCA Center, sekolah khusus ABK, mengatakan, pendampingan terhadap ABK harus dilakukan satu anak satu guru dalam ruang bersirkulasi udara bagus. ”Penerapan protokol kesehatan amat ketat mutlak ditempuh karena ABK rentan, kebanyakan memiliki penyakit bawaan,” katanya.
Kondisi itu membuat sejumlah penyedia layanan terapi bagi ABK menghentikan sementara layanan. ”Sudah enam bulan kegiatan terapi anak saya terhenti. Padahal, ia harusnya mengikuti terapi perilaku, terapi wicara, dan okupasi,” kata Maria (25), ibu dari anak dengan autisma yang tinggal di Banjarmasin.
Di Kota Bandung, Jawa Barat, Gita Pratiwi (30), ibu dari ABK dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), kesulitan mencari pusat terapi yang beroperasi saat pandemi. Lebih dari empat pusat terapi yang didatanginya, hanya ada satu yang buka. Ia mengaku belum dapat memberikan terapi secara mandiri terhadap Abam (4), anaknya, yang cenderung hiperaktif.
Kesulitan berbeda dihadapi Adelheid Irene M (38), ibu dari ABK dengan gifted diskroni terlambat bicara. Selama pandemi, Matthew (8), anaknya, mengikuti sekolah rumah. Selain bekerja dari rumah, Irene menjadi guru dan pendamping bagi anaknya.
Mengalami gangguan
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak Penyandang Disabilitas mendefinisikan anak penyandang disabilitas adalah anak yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, proporsi anak penyandang disabilitas berusia 5-17 tahun mencapai 3,3 persen. Data Badan Pusat Statistik tahun 2019 menyebut, tingkat partisipasi sekolah di anak penyandang disabilitas cukup rendah.
Ketua Satuan Tugas Ikatan Psikolog Klinis Indonesia untuk Penanggulangan Covid-19 Annelia Sari Sani mengatakan, anak berkebutuhan khusus semakin rentan selama masa pandemi. Kerentanan itu terutama terkait gangguan dalam belajar dan gangguan pada emosi.
”Sebelum pandemi, anak berkebutuhan khusus sudah rentan. Kondisi ini semakin berat di masa pandemi. Untuk itu, berbagai kerentanan ini perlu segera disadari dan diatasi. Jika terlambat, anak terancam mengalami gangguan kesehatan mental dan psikologis,” ujarnya di Jakarta, Minggu (13/9/2020).
Sebelum pandemi, anak berkebutuhan khusus sudah rentan. Kondisi ini semakin berat di masa pandemi.
Anne mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia pada 4.366 anak berkebutuhan khusus, terdapat lima persoalan yang paling banyak dialami selama pandemi. Itu meliputi kesulitan belajar, stres, kecemasan, masalah suasana hati (mood), serta kekerasan fisik dan verbal.
”Masalah lainnya adalah potensi untuk menyakiti diri sendiri. Hal ini cukup menonjol pada anak berkebutuhan khusus selama pandemi. Selain itu, mereka makin kesepian. Padahal, anak berkebutuhan khusus ini paling rentan mengalami isolasi sosial,” katanya.
Dokter spesialis anak konsultan tumbuh kembang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Bernie Endyarni Medise, menuturkan, anak berkebutuhan khusus makin terbatas mengakses layanan kesehatan, baik layanan rutin maupun khusus. Pada layanan rutin, seperti imunisasi dan pemeriksaan, untuk penyakit ringan.
Di masa pandemi, sebagian orangtua ragu untuk membawa anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan. ”Kendala lainnya, sejumlah layanan terapi ditutup karena keterbatasan sumber daya di masa pandemi. Sebagian layanan terapi lain yang buka juga terbatas karena harus menjaga jarak waktu antarpasien,” ujarnya.
Karena itu, Anne menilai, peran orangtua sangat penting untuk menangani anak berkebutuhan khusus. Kapasitas setiap orangtua harus ditingkatkan agar penanganan yang diberikan juga bisa optimal.
Pemerintah harus segera menerbitkan modul khusus untuk peningkatan kapasitas orangtua dalam pengasuhan anak berkebutuhan khusus. Koordinasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, serta Kementerian Kesehatan perlu dibangun untuk membuat modul ini.
Menurut Anne, selama ini koordinasi dari pemerintah pusat masih kurang dalam upaya peningkatan kapasitas orangtua dengan ABK. Padahal, penanganan anak berkebutuhan khusus perlu panduan dan arahan yang jelas.
”Jika kondisi ini tidak diatasi secara cepat dan serius, bangsa kita bisa mengalami lost generation (kehilangan satu generasi). Kerugiannya akan jauh lebih besar di masa depan. Dampak pandemi ini juga bisa memengaruhi kesehatan mental anak dalam jangka panjang jika tidak diantisipasi sejak dini,” katanya.
Dalam penanganan ABK, pemerintah berpedoman pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak Penyandang Disabilitas disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. ”Isu penyandang disabilitas perlu koordinasi dengan berbagai pihak,” kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar.
Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial Eva Rahmi Kasim menyatakan, saat pandemi Covid-19, pihaknya mengeluarkan pedoman layanan untuk ABK, termasuk bagi pendamping di lapangan. Jika ada kasus Covid-19 yang menimpa ABK, tim Kemensos mendatangi lembaga itu,
”Anak yang terpapar Covid tidak disarankan untuk perawatan di Wisma Atlet tetapi perawatan mandiri dalam Panti Rawinala agar ABK nyaman berada di dekat orang yang sudah dikenal sebelumnya. Selain itu, ABK membutuhkan bantuan orang lain untuk aktivitas sehari-hari,” ujar Eva. (TAN/SON/MED/JUM/MEL/BRO)