Orangtua perlu berperan lebih aktif dalam mengasuh dan mendampingi anak mereka yang berkebutuhan khusus. Hal itu untuk menyiasati keterbatasan layanan terapi di masa pandemi Covid-19.
Oleh
DEONISIA ARLINTA DAN SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Layanan kesehatan yang dibutuhkan oleh setiap anak semakin terbatas akibat pandemi Covid-19. Keterbatasan tersebut terutama dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus. Peran orangtua pun kian penting untuk mengatasi persoalan tersebut sehingga upaya peningkatan kapasitas sangat diperlukan.
Ketua Satuan Tugas Ikatan Psikolog Klinis Indonesia untuk Penanggulangan Covid-19 Annelia Sari Sani mengatakan, anak berkebutuhan khusus (ABK) semakin rentan selama masa pandemi. Kerentanan itu terutama terkait gangguan dalam belajar dan gangguan pada emosi.
”Sebelum pandemi, anak berkebutuhan khusus sudah cukup rentan. Kondisi ini semakin berat di masa pandemi. Untuk itu, berbagai kerentanan ini perlu segera disadari dan diatasi. Jika terlambat, anak akan teramcam mengalami gangguan kesehatan mental serta kesehatan psikologis,” ujarnya, di Jakarta, Minggu (13/9/2020).
Berdasarkan survei yang dilakukan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia pada 4.366 anak berkebutuhan khusus, terdapat lima persoalan yang paling banyak dialami selama masa pandemi. Kelima persoalan itu adalah kesulitan dalam belajar, mengalami stres, masalah kecemasan, masalah suasana hati (mood), serta kekerasan fisik dan verbal.
”Masalah lainnya adalah potensi untuk menyakiti diri sendiri. Hal ini cukup menonjol pada anak berkebutuhan khusus selama masa pandemi. Selain itu, mereka juga semakin merasa kesepian. Padahal, anak berkebutuhan khusus ini paling rentan mengalami isolasi sosial,” katanya.
Khawatir tertular
Dokter spesialis anak konsultan tumbuh kembang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Bernie Endyarni Medise menuturkan, anak berkebutuhan khusus juga semakin terbatas untuk mengakses layanan kesehatan, baik layanan rutin maupun khusus. Pada layanan rutin seperti imunisasi dan pemeriksaan untuk penyakit ringan.
Sebelum pandemi, anak berkebutuhan khusus sudah cukup rentan. Kondisi ini semakin berat di masa pandemi.
Di masa pandemi, sebagian orangtua ragu untuk membawa anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini membuat kebutuhan kesehatan anak menjadi terkendala. Untuk itu, protokol kesehatan di fasilitas kesetan harus terjamin sehingga dapat meyakinkan orangtua bahwa layanan imunisasi tetap bisa diberikan dengan aman.
”Kendala lainnya adalah pada layanan terapi. Sejumlah layanan terapi kini terpaksa ditutup karena keterbatasan sumber daya di masa pandemi. Sementara, sebagian layanan terapi lain yang buka juga terbatas karena harus menjaga jarak waktu antarpasien,” ucapnya.
Untuk mengatasi persoalan ini, Bernie menyampaikan, sejumlah layanan bisa dilakukan secara daring. Orangtua juga bisa melakukan konsultasi melalui telepon. Meski begitu, layanan ini tetap memiliki keterbatasan, terutama untuk layanan terapi yang memerlukan tatap muka secara langsung.
Anne, yang juga melayani konsultasi di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, menuturkan, layanan terapi bagi anak berkebutuhan khusus kini semakin dibatasi. Jika biasanya dalam sehari ada 10 terapis yang bertugas, di masa pandemi hanya ada sekitar tiga terapis.
Setiap terapis pun dibatasi hanya melayani lima pasien. Sebelum pandemi, terapis bisa menangani sekitar 10 pasien. ”Sekarang ini layanan paling tidak hanya 30 menit. Jarak antarklien pun dibatasi sekitar 30 menit untuk deinfeksi. Sebelumnya juga harus ada temu janji,” katanya.
Protokol tersebut harus dijalankan untuk mencegah adanya penularan Covid-19. Akibatnya, layanan pun menjadi terkendala, bahkan tidak sedikit anak yang harus menunggu waktu terapi yang cukup lama.
Pembelajaran pun terkendala selama pandemi seperti terjadi di sekolah khusus anak disabilitas ganda seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) Ganda Rawinala. Di sekolah tersebut para siswa menghadapi berbagai kendala. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) tak maksimal karena anak-anak disabilitas, apalagi ganda (memiliki disabilitas lebih dari satu jenis) saat berada di rumah butuh pendampingan khusus, dan selalu harus dalam pengawasan.
Peran orangtua
Jika tidak ada pendamping dari keluarga atau orangtua di rumah, anak disabilitas ganda dipastikan tidak akan ada kegiatan yang menantang. Karena itu, orangtua harus mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan untuk mendampingi serta meluangkan waktu dalam PJJ serta penggunaan media sosial.
“Yang kami lakukan adalah melalui program guru kunjung atau home visit, sehingga anak tetap mendapatkan hak untuk belajar. Tentunya tetap memperhatikan protokol kesehatan. Jadi gurunya yang harus datang ke rumah secara berkala,” ujar Budi Prasojo, Kepala SLB Ganda Rawinala, Jakarta.
Salah satu tantangan yang dihadapi saat pandemi Covid-19 adalah program pendidikan tidak berjalan. Kondisi tersebut menyebabkan kemandirian ABK di SLB Rawinala menurun. SLB Ganda Rawinala memiliki 56 siswa. “Karena tidak ada kegiatan anak cenderung tantrum atau menyakiti diri sendiri,” kata Budi.
Sementara orangtua sendiri tidak berdaya menghadapi kondisi pandemi Covid-19. Ketika ABK diminta pulang ke rumah, orangtua tidak siap karena biasanya anaknya tinggal di asrama. “Selama ini (orangtua) selalu mengandalkan sekolah, apalagi anak-anak tinggal di asrama sebulan ,sekali baru pulang. Jadi saat di rumah anak stres, orang tua juga stres,” kata Budi.
Saat pembelajaran jarak jauh berlangsung, menurut Budi, para guru yakni memberikan pembelajaran terhadap sekaligus memberikan pengetahuan dan ketrampilan dengan orang tua atau pendamping. Para guru harus mempersiapkan orang tua untuk mendampingi anak dalam proses pembelajaran di rumah dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Anne menilai, peran orangtua menjadi sangat penting untuk menangani anak berkebutuhan khusus. Kapasitas setiap orangtua harus ditingkatkan agar penanganan yang diberikan juga bisa optimal.
Terkait hal itu, pemerintah harus segera menerbitkan modul khusus untuk peningkatan kapasitas orangtua dalam pengasuhan anak berkebutuhan khusus. Koordinasi dari Kementerian Pendididkan dan Kebudayaan, Kemeterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan perlu dibangun untuk membuat modul ini.
Menurut Anne, selama ini koordinasi dari pemerintah pusat masih kurang dalam upaya peningkatan kapasitas orangtua dengan anak berkebutuhan khusus. Padahal, penanganan anak berkebutuhan khusus perlu panduan dan arahan yang jelas.
“Jika kondisi ini tidak diatasi secara cepat dan serius, bangsa kita bisa mengalami lost generation (kehilangan satu generasi). Kerugiannya akan jauh lebih besar di masa depan. Dampak pandemi ini juga bisa memengaruhi kesehatan mental anak dalam jangka panjang jika tidak diantisipasi sejak dini,” ungkapnya.