Menjaga Kesehatan Jiwa agar Bisa Melewati Normal Baru
Sesuai peringatan Organisasi Kesehatan Dunia, pandemi Covid-19 dapat memicu gangguan kesehatan jiwa. Penanganan yang tepat dibutuhkan agar kesehatan jiwa terjamin di masa normal baru.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gangguan kesehatan mental akibat pandemi Covid-19 nyata dirasakan oleh banyak orang. Gangguan mental ini dipengaruhi, antara lain, oleh jumlah penderita dan kematian akibat Covid-19, keharusan karantina dan menjaga jarak fisik dengan orang lain hingga kesulitan ekonomi sebagai dampak pandemi.
Warga Jawa Tengah yang kini bermukim di Bali, Dimas (25), mengalami ”puncak” gangguan kejiwaan saat pandemi Covid-19. Pandemi membuatnya tertekan karena tidak bisa bersosialisasi dan mengalihkan pikiran. Ia terpaksa mengisolasi diri di kamar indekos sambil menghadapi pikiran-pikiran negatif.
”Pandemi membuatku sangat emosional. Aku bisa menyerap kesedihan orang-orang sekitar, termasuk teman-temanku. Ketika aku berjalan keluar dan melihat warga mengenakan masker, aku sangat sedih. Begitu sampai di indekos, aku langsung menangis,” kata Dimas saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (30/6/2020).
Sembari menghadapi tantangan emosional tersebut, Dimas masih harus memenuhi kewajiban sebagai pengajar di sebuah sekolah swasta. Hal itu diakuinya sulit dilakukan. Di sisi lain, ia pun sedang berjuang sembuh dari penyakit hernia.
Kesehatan jiwa yang terganggu tersebut turut memengaruhi kondisi fisik Dimas. Ia didiagnosis menderita GERD (gastroesophageal reflux disease) atau penyakit asam lambung. Penyakit itu diduga merupakan gangguan psikosomatis.
Beban emosional dan fisik tersebut menguras tenaga Dimas. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menemui psikiater. Ia diberi obat anti-depresan dan obat tidur. Ia juga diberi sesi konseling selama 10 menit, tetapi hal itu dinilai tidak efektif untuk menyelesaikan masalahnya.
Pandemi membuatku sangat emosional. Aku bisa menyerap kesedihan orang-orang sekitar, termasuk teman-temanku. Ketika aku berjalan keluar dan melihat warga mengenakan masker, aku sangat sedih.
”Suatu malam, ponselku mati dan aku tidak bisa menghubungi teman-temanku. Itu membuatku sangat cemas. Napasku jadi pendek-pendek dan pandanganku kabur. Aku pikir aku akan mati saat itu. Lalu, aku sadar bahwa ini adalah manifestasi dari berbagai kecemasan yang lama terpendam. Akhirnya aku memutuskan untuk menemui psikiater,” ujarnya.
Adapun mahasiswi Yogyakarta, Dhani (19), juga merasakan dampak negatif pandemi terhadap kesehatan jiwanya. Sesi konseling rutin dengan psikolog terpaksa dialihkan menjadi konseling virtual. Hal itu membuatnya cemas dan takut.
”Aku memang rutin menemui psikolog sejak sebelum pandemi. Sekarang, konseling kami terpaksa dilakukan melalui panggilan video. Cara ini berat karena aku tidak bisa merasakan feel-nya. Beberapa kali pula aku merasakan koneksi internet yang buruk selama konseling. Ini malah membuat tambah stres,” kata Dhani.
Krisis
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi peringatan akan krisis kesehatan mental akibat pandemi pada pertengahan Mei 2020. Gangguan mental ini dipengaruhi, antara lain, oleh jumlah penderita dan kematian akibat Covid-19, keharusan karantina, dan menjaga jarak fisik dengan orang lain, kesulitan ekonomi, ditambah rasa takut dan gelisah karena situasi yang serba tidak menentu (Kompas, 15/5/2020).
”Isolasi, ketakutan, ketidakpastian, kekacauan ekonomi dapat menyebabkan tekanan psikologis,” ujar Direktur Departemen Kesehatan Mental WHO Devora Kestel seperti dikutip dari Reuters.
Isolasi, ketakutan, ketidakpastian, kekacauan ekonomi dapat menyebabkan tekanan psikologis.
Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia (APKI) Eunike Sri Tyas Suci berpendapat, ada beberapa faktor yang mengganggu kesehatan jiwa individu selama pandemi. Pertama, publik yang panik karena belum ada obat untuk menyembuhkan Covid-19. Kedua, kegiatan harian yang berubah total. Banyak individu yang terpaksa beraktivitas dari rumah. Padahal, belum tentu kondisi rumah tangga seseorang dinyatakan sehat.
”Stay at home berpotensi menambah konflik yang lebih besar jika sebelumnya sudah ada konflik di rumah tangga itu. Jika tidak bisa menghadapinya, individu akan stres. Stres dapat menurunkan imunitas sehingga risiko terpapar Covid-19 lebih besar. Potensi gangguan jiwa pun bisa terjadi,” kata Eunike.
Faktor ketiga ialah kesulitan manusia beradaptasi dengan pembatasan sosial. Sebab, manusia adalah makhluk sosial sehingga sulit bertahan lama tanpa kontak sosial dan sentuhan fisik.
Keempat, individu dihadapkan pada pilihan sulit; pergi bekerja dengan risiko terpapar virus atau diam di rumah lalu kelaparan. Kelima, adanya infodemik akibat banjir informasi di ruang daring. Eunike menyebutkan masih ada banyak faktor lain yang menyebabkan kesehatan jiwa terganggu selama pandemi.
Beberapa tanda gangguan tersebut ialah kecemasan yang berlebihan, sulit konsentrasi, sulit tidur, tidak produktif di kehidupan sehari-hari, emosi tidak stabil, dan sulit menikmati kondisi normal baru.
Konseling
Eunike mengatakan, APKI membuka jasa konseling gratis. Namun, tidak ada klien yang menghubungi APKI untuk konseling selama beberapa minggu terakhir. Eunike menduga, masyarakat kini punya banyak pilihan untuk mengakses jasa konseling gratis.
Adapun pemerintah melalui Kantor Staf Presiden (KSP) meluncurkan layanan bantuan konseling bertajuk ”Sejiwa” pada April 2020. Layanan ini dibuat untuk mengantisipasi tekanan psikologis pada warga selama pandemi.
Sementara itu, aplikasi layanan kesehatan Halodoc kini membuat kanal khusus terkait kesehatan jiwa. Layanan ini melibatkan lebih dari 500 psikolog dan psikiater.
Vice President Marketing Halodoc Felicia Kawilarang melalui keterangan tertulis mengatakan, kanal khusus Kesehatan Jiwa ini telah lebih dari dua minggu diluncurkan. Halodoc mencatat ada peningkatan jumlah akses pengguna sebesar 400 persen di kanal itu. Keluhan yang paling banyak dikonsultasikan antara lain depresi, kecemasan, dan stres.